Terik matahari menyambar wajahku. Hari sudah semakin siang, pikirku. Aku terbangun dari tidurku. Kulihat arlojiku. Sudah pukul 6 pagi rupanya. Segera aku menuju kamar mandi untuk mandi. Masih ada waktu 1 jam lagi sebelum aku berangkat kerja. Kusambar roti tawar yang ada di meja kosanku dan kulahap dengan rakus meskipun tidak memakai selai maupun kismis. Lumayan untuk mengganjal perutku. Kutenggak secangkir teh sembari mengecek sms dari kolega maupun mitra kerja. Ada 1 sms. Ternyata dari temanku, Bowo. Bowo ini merupakan TKI yang dikirim ke Arab Saudi. Awalnya aku sudah membantu Bowo untuk bekerja di perusahaan tempatku bekerja. Namun, kentalnya Nepotisme dan rendahnya daya saing Bowo yang lulusan SMA membuat Bowo tersingkir. Sebuah pilihan berat untuk menjadi TKI terpaksa ia ambil lantaran beban hidup yang sudah menumpuk. Sudah 6 bulan lamanya Bowo bekerja sebagai TKI. Aku juga tidak tahu mengenai pekerjaannya sebagai TKI di sana hingga aku mendapat kabar dari temannya yang juga berprofesi sebagai TKI. Menurut penuturan temannya, Bowo bekerja sebagai buruh di perusahaaan minyak terkemuka di Arab Saudi. Kubuka sms dari Bowo. Isi pesannya cukup sederhana. Yaitu, “Tolong kamu hubungi saya sehabis pulang dari kerja. Saya tidak punya cukup pulsa untuk menelepon. Ada beberapa hal yang mau saya sampaikan.” Aku segera membalas sms tersebut, “Ok, sehabis kerja saya call lagi. Kira-kira jam 4 sore.” Aku kemudian memanaskan motorku dan bersiap untu pergi ke kantor tempatku bekerja. aku takut terlambat masuk kerja, maklum, Surabaya memang kota besar, sehingga macet merupakan suatu hal yang biasa. Setelah mengunci pintu kosan, aku segera pergi ke kantorku.
Di kantor, aku masih penasaran dengan sms dari Bowo. Apa gerangan hal yang ingin disampaikan Bowo? Aku menjadi tidak sabar untuk menunggu jam kerjaku selesai. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya shift kerjaku selesai. Saatnya bertukar shift dan aku segera menelepon Bowo. Aneh, ternyata hp-nya tidak aktif. Aku menelepon lagi dan akhirnya tersambung juga. “Halo, ini Irfan, apakah ini benar nomornya Pak Bowo?”, tanyaku. “Ya, dengan saya sendiri.”, jawabnya. “Kawanku, sudah lama kita tidak bicara. Bagaimana kabar kau di sana? Dan apa gerangan yang ingin kau sampaikan padaku?”, tanyaku. “Baik, tetapi saya masih merasa sedikit pusing lantaran sudah 2 bulan ini gaji saya belum dibayar pihak pabrik. Saya terpaksa bekerja sambilan untuk memenuhi kebutuhan hidup saya sehari-hari. Alhamdulillah, meskipun hidup pas-pasan, tetapi saya masih bisa menabung. Setiap real berhasil saya sisihkan. Rencananya saya akan pulang kembali ke Indonesia untuk membuka usaha.”, katanya. “Sungguh naas nasib kau, kawan. Semoga saja pihak pabrik segera mencairkan gajimu. Kalau kau butuh uang, pakailah dulu uangku. Terserah kau mau menggantinya kapan. Mengapa kau mau membuka usaha di Indonesia? Bukankah Arab memiliki peluang usaha yang lebih terjamin dibandingkan Indonesia?”, jawabku. “Kau benar, kawan. Peluang usaha di sini lebih terjamin. Permodalan mudah, pasar juga luas, bahkan fasilitas transportasi juga memadai, namun, apalah artinya bila tidak dapat berkontribusi untuk Indonesia. Saya tidak bisa mengabaikan tanah airku yang tercinta, Indonesia. Angka entrepreneur di Indonesia sangat rendah, tidak sampai 2 persen dibandingkan dengan jumlah penduduknya yang mencapai angkai lebih dari 250 juta. Lagipula keluargaku juga masih membutuhkanku.”, ungkapnya. Sungguh, penjelasan yang sangat hebat, pikirku. Meskipun ia tidak berada di Indonesia, tetapi masih ada rasa nasionalisme yang kuat di dalamnya. “Sayangnya, pemerintah kita kurang menyadari pentingnya wirausaha bagi kemajuan Indonesia. Padahal, banyak sekali manfaat dari entrepreneur. Mulai dari mengurangi pengangguran, menambah devisa negara, dan memajukan perindustrian Indonesia.”, ungkapku. “Kau benar, kawan. Makanya lebih baik menjadi wirausaha kecil-kecilan daripada menjadi seorang buruh di perusahaan terkemuka walaupun gajinya sama. Sudah dulu, ya kawan. Sebentar lagi saya akan berangkat ke Gurun Sahara. Perusahaanku rencananya akan membuka daerah pengeboran minyak di sana. Dan saya bersama beberapa orang buruh lainnnya disuruh untuk melakukan sweeping lokasi ke sana. Terimakasih kau sudah mau mendengar ocehanku.”, ungkapnya. Telepon pun ditutup. Aku segera pulang ke kosanku untuk beristirahat.
Sudah 2 bulan lamanya aku tidak mendapat kabar dari Bowo. Hp-nya juga tidak aktif. Aku termenung membayangkan nasib Bowo di sana. Berat pasti meninggalkan keluarga untuk bekerja ke luar negeri. Apalagi bekerja dengan keterbatasan yang ada. Lamunanku terganggu ketika pintu kosanku diketok oleh seseorang. Kubuka pintu kosku. “Maaf, pak. Apakah ini benar alamat rumahnya pak Irfan? Saya sudah ke alamat Bapak yang sebelumnya di jalan Kali Gendol No. 32 dan pemilik rumahnya bilang kalau babak sudah pindah ke sini.”, tanya orang tersebut. “Ya, saya memang sebelumnya indekos di sana, dan sekarang saya pindah ke sini. Ada gerangan apa?”, tanyaku. “Saya ini temannya Bowo, pak. Sekarang saya bekerja sebagai kurir surat. Ini ada sepucuk surat dari Bowo untuk Bapak.”, jawabnya sembari menyerahkan 1 buah amplop surat dari tasnya. “Oh, begitu. Bagaimana kabar Bowo? Apakah dia sehat-sehat saja? Sudah 2 bulan lebih saya tidak mendengar kabarnya.”, kataku. “Saya juga tidak tahu, pak. Mungkin saja beliau ingin memberitahukannya lewat surat ini. Sudah dulu, ya, pak. Saya masih banyak surat lagi untuk diantar.”, ucapnya. Aku melihat kurir surat itu berlalu dari pandanganku. Kuamati surat dari Bowo. Rupanya Bowo masih belum tahu mengenai alamat kosanku yang baru sehingga ia menuliskan alamat kosan lamaku. Kubuka amplop surat tersebut. Ternyata selain surat, ada 1 lembar cek dan pas foto Bowo memakai jas dan dasi yang rapi. Di belakang fotonya ditulis “Calon Entrepreneur Masa Depan”. Kubaca surat dari Bowo. “Sahabatku, Irfan. Mungkin kau bertanya-tanya mengapa aku mengirim surat kepadamu. Aku berhasil melobi perusahaanku untuk membayar tunggakan gajiku. Bersama surat ini, kutitipkan cek gajiku kepadamu. Tolong kau berikan kepada keluargaku di Desa Waringin sana. Mereka pasti lebih membutuhkannya dibandingkan aku. Maaf kalau aku merepotkanmu, kawan. Desa Waringin tidak memiliki fasilitas kantor pos maupun wesel. Jadi, kutitipkan padamu secuil harapan untuk keluargaku dan desaku. Dan akhirnya tabunganku sudah cukup untuk membeli tiket pulang ke Indonesia. Aku sudah membooking tiket pulangku. Sudah kuserahkan surat pensiunku ke perusahaanku. Dan diterima, meskipun pesangonnya baru cari 2 bulan mendatang. Aku berencana membuka usaha kuliner di Indonesia. Banyak sekali variasi kuliner Arab yang lezat dan dapat dijadikan sebagai suatu usaha kuliner. Aku berharap kau mau mengikuti jejakku sebagai wirausahawan. Wirausaha itu bebas. Bebas dari tekanan perbudakan. Bayangkan mereka yang bekerja di pertambangan sebagai buruh. Hanya diupah seadanya namun, hasil tambangnya diambil oleh perusahaan asing. Sudah di negeri sendiri dijajah, di negeri orang juga dijajah. Miris, kawan. Ayo, kita bangun negeri Indonesia menuju kesejahteraan dan bebas korupsi. Sudah dulu dari suratku. Kurang lebihnya saya mohon maaf. Terimakasih. Sahabatmu, Bowo.” Aku tertegun membaca suratnya. Tekad Bowo benar-benar kuat. Ia memiliki semangat wirausaha untuk membangun negeri. Aku yang bekerja sebagai karyawan di pabrik swasta saja merasa malu. Segera kukemasi barangku dan kubawa cek beserta surat dan foto Bowo ke dalam tas ranselku. Aku akan berangkat ke Desa Waringin untuk menyampaikan surat Bowo kepada keluarganya.
Tidak sampai setengah jam perjalanan darat menggunakan motor, akhirnya aku sampai di Desa Waringin. Tidak sulit untuk menemukan rumah keluarga Bowo. Rumah yang sederhana dihiasi dengan tanaman rambat dan pohon mangga yang belum berbuah. Dulu aku pernah ke sini saat mengantar Bowo mencari pekerjaan. Kuketok pintu rumahnya. Seorang wanita paruh baya yang membukakan. Dia adalah Hana, istrinya Bowo. “Pak Irfan, ada gerangan apa Bapak kemari? Suami saya belum pulang. Beliau rencananya pulang minggu depan, pak.”, kata Hana. “Ehmm, begitu. Ini ada sepucuk surat dan cek dari beliau. Tolong diterima.”, kataku sambil menyerahkan surat dan cek kepada Hana. “Waduh, untuk apa suamiku memberi cek ini? Bukankah dia yang memerlukan uang ini untuk pulang kampung?”, kata Hana dengan perasaan bimbang. “Kamu tidak perlu khawatir. Bowo adalah seorang pria yang tangguh. Dia pasti masih bisa pulang. Ini ada sedikit uang untuk merayakan kepulangan Bowo. Tolong kamu segera belanja agar suamimu melihat betapa cantik dan menawannya dirimu saat Bowo datang.”, kataku sambil menyerahkan beberapa lembar uang ratusan ribu. Sambil tersipu malu, Hana menjawab, “Aduh, tidak usah repot-repot, pak. Saya pasti akan berdandan yang terbaik untuk suamiku tercinta.” “Baguslah, kalau begitu saya permisi dulu, ya. Terimakasih.”, ucapku pada Hana. “Iya, pak. Terimakasih, ya, sudah jauh-jauh datang kemari.”, kata Hana. Aku berlalu meninggalkan Hana. Semoga saja Bowo benar-benar menepati janjinya untuk pulang ke Indonesia.
Dalam perjalanan pulang, tak henti-hentinya aku memuji akan tekad kuat dari Bowo untuk menjadi seorang entrepreneur. Sesampainya di kosan, aku kaget melihat selembar pas foto tergeletak di atas meja makan. Ya, itu adalah foto Bowo dan tulisan “Calon Entrepreneur Masa Depan” di belakangnya. Rencananya besok aku akan datang lagi ke Desa Waringin untuk memberikan foto ini. Kunyalakan televisi. Sudah lama aku tidak menonton berita. Dulu aku hanya menonton acara talkshow saja dan kadang-kadang nonton bola bareng dengan teman kosanku. Sekilas berita hanya menampilkan masalah banjir dan kasus korupsi. Bosan aku menyimaknya. Seakan sudah tidak ada topik lain yang lebih menarik untuk dibahas. Namun, aku terkejut ketika ada breaking news yang muncul. Beritanya, “Segerombolan teroris berhasil menduduki kilang minyak di Gurun Sahara, Arab Saudi. 4 orang TKI yang bekerja di sana ditemukan tewas. Diduga mereka dieksekusi oleh teroris tersebut.” Jantungku seakan mau copot. Benarkah Bowo merupakan salah seorang korban tewas akibat teroris itu? Jika iya, mengapa Bowo harus mengalami nasib seperti ini? Kucoba menghubungi Bowo. Sayangnya masih tidak aktif. Dan ketika aku melihat sekilas mengenai data-data korban, aku terkejut. Nama Bowo ternyata ada di daftar korban. Praditya Bowo Darjo. Sekujur badanku lesu. Mulutku kaku. Seakan tak percaya mengapa bisa terjadi hal seperti ini? Bowo hanyalah korban. Korban dari ketidakadilan. Menurut penjelasan reporter, jenazah korban sudah dikirimkan ke kampung halamannya oleh pihak Arab Saudi 3 hari yang lalu. Ternyata, Bowo sudah meninggal 3 hari yang lalu. Maklum, aku juga jarang menonton televisi dan di Desa Waringin jarang warganya yang memiliki televisi. Segera kupanaskan motorku. Lelah sehabis perjalanan tidak kuhiraukan. Kukenakan lagi tas ranselku. Dan aku sudah bersiap kembali lagi ke Desa Waringin. Ini adalah bentuk penghormatanku terakhir kepada si “Calon Entrepreneur”.
Sudah sebulan lamanya semenjak Bowo pergi meninggalkan kami. Namun, tekad kuatnya masih saya warisi hingga saat ini. Desa Waringin sekarang sudah banyak yang menjadi wirausahawan. Sekarang, hampir tidak ada warga Desa Waringin yang pengangguran. Kini, Bowo hanya tinggallah kenangan, tetapi, tekad kuatnya untuk membangun negeri akan aku wariskan ke generasi yang akan datang. Selamat jalan, Bowo. Terimakasih atas pengorbananmu selama ini. Tekadmu akan selalu berkobar di hati kami, calon entrepreneur masa depan.
TAMAT
Cerpen Karangan: Muhammad Dimasyqi Facebook: Muhammad Dimasyqi Saya adalah seorang penulis dadakan yang kadang senang bermain dengan kata-kata. Setidaknya saya masih berusaha mencari masa depan yang masih saya idam-idamkan. Penulis berdomisili di Bontang, kaltim.. penulis bisa dihubungi via FB, email, Line (konfirmasi dulu ke email)…