Di sebuah rumah makan di pinggir jalan. Aku melangkahkan kakiku sambil membawa amplop berwarna coklat di tanganku. Amplop itu berisi surat lamaran kerja. Yah! Waktu itu usiaku baru 15 tahun. Seharusnya aku berada di sebuah ruang kelas. Belajar. Tapi, itu hanya mimpi. Karena saat itu aku harus berjuang keras untuk bisa melanjutkan hidup.
Sejak ibu memutuskan untuk menjadi TKW di Negeri Jiran, sejak saat itulah aku dan kedua saudaraku harus belajar hidup mandiri. Dalam hal ini bukan hanya sekedar mandi sendiri saja. Tapi juga mencari makan sendiri. Bisa dibayangkan anak seusiaku harus mencari makan sendiri. Lalu kemana sang ayah? Hm… Ayahku masih ada. Tapi beliau sama sekali tidak bisa diandalkan. Entah karena beliau tidak bekerja sehingga tak mempedulikan kami, atau karena memang sebenarnya beliau sudah tidak peduli. Yang jelas kami sama sekali tidak pernah mengharapkan apa-apa dari beliau. Tapi, biar begitu beliau tetap ayah kami. Orang yang harus kami hormati.
Selama ini kakakku yang pertama, sebut saja Alya, yang membiayai hidup kami. Namun sekarang dia telah menikah dan harus berhenti kerja sejak melahirkan. Sedangkan Amel, kakakku yang kedua, sudah 1 tahun sejak dia dinyatakan lulus dari sekolahnya, dia belum juga bekerja. Bukan karena tidak mau bekerja. Tapi belum ada biaya untuk menebus ijazahnya. So, mau melamar kerja pakai apa?
Beda denganku. Dengan memakai slogan Bonek. Bondo Nekat, aku memalsukan ijazah temanku. Aku pakai namanya untuk melamar kerja di salah satu rumah makan cepat saji tak jauh dari rumahku. “Kebetulan kami membutuhkan pramusaji di sini. Jadi, adik saya terima kerja di sini”, begitulah kira-kira yang dikatakan kepala toko rumah makan itu padaku. “Alhamdulillah… Jadi kapan saya bisa mulai kerja, Pak?”, tanyaku. “Kalau adik siap, adik bisa mulai kerja hari ini”, kata kepala toko rumah makan HC yang ternyata bernama Heru. “Baik, Pak! Saya siap bekerja hari ini”, kataku penuh semangat. Terbayang sudah di mataku, aku bisa melanjutkan sekolah. Tak apa kalau aku harus berhenti dulu selama setahun. Toh tak ada kata terlambat untuk menuntut ilmu. Aku yakin tahun depan aku bisa melanjutkan sekolah. Seperti kata pepatah, berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian.
Aku segera menelepon kakakku Alya. Dia menangis ketika tahu aku benar-benar memutuskan untuk berhenti sekolah dan memilih bekerja di HC dengan penghasilan 400 ribu perbulan. “Maafin kakak ya… Harusnya ini menjadi tanggung jawab kakak. Karena kakak sebagai pengganti orangtua kamu. Tapi kakak janji! Hanya setahun kamu berhenti sekolah. Tahun depan kamu pasti bisa sekolah lagi. Kakak janji. Tahun depan kamu akan kembali mendapatkan kehidupan kamu”, kata Kak Alya. Aku berlinang air mata mendengar janji Kak Alya. Bagiku, dia adalah sosok malaikat yang dikirim Tuhan untuk menggantikan posisi ibu. “Iya, Kak! Nggak papa. Makasih!”. Sejak saat itu aku yakin. Aku pasti bisa berdiri di atas kakiku sendiri. Meski rasanya berat, mengingat tempat kerjaku sangat dekat dengan sekolah dimana teman-temanku belajar. Tapi aku yakin aku bisa menjalani ini semua. “Bismillahirrahmanirrahiim… Beri aku kekuatan ya Rabb…”
Tak terasa satu bulan sudah aku bekerja di rumah makan HC. Saatnya menerima gaji. Hm… Ini adalah gaji pertamaku. Hasil dari keringatku. Bekerja dari pagi hingga malam. Meski jumlahnya tak banyak. Tapi aku tetap bersyukur. Karena setidaknya dengan uang ini aku bisa membantu Dhe Ya. Orang yang merawatku sejak ibu pergi. Aku belikan kebutuhan dapur. Karena aku tahu gaji Dhe Ya yang hanya tukang cuci tidaklah seberapa. Apalagi dia harus memberi makan seluruh penghuni rumah. Aku, kak Amel, ayahku, dan anaknya yang bernama Silvi. Belum lagi untuk biaya sekolah anaknya. Setidaknya dengan aku bekerja akan sedikit mengurangi bebannya. Tak lupa kusisihkan sebagian untuk menabung. Aku tahu meski biaya sekolah sangat mahal, dan tidak akan mungkin bisa aku dapatkan hanya dengan menyisihkan 50 ribu sebulan. Tapi aku yakin, Tuhan tidak akan menutup mata dengan semua usahaku.
Sudah hampir 10 bulan aku bekerja. Banyak hal yang terjadi selama aku bekerja. Bertemu dengan teman SMP saat aku menjadi kasir. Hampir saja rahasiaku terbongkar. “Jadi, kamu pakai ijazah orang lain buat kerja disini?”, tanya Dewi. Customer sekaligus teman baikku waktu SMP. Aku mengangguk. “Lain kali kalau mampir kesini jangan panggil aku Isa. Tapi, Rina”, kataku sambil menunjuk name tag yang menempel di dadaku. Dewi tersenyum. “Kamu bener-bener gila. Tapi seru! Hidup kamu penuh warna, Sa! Eh, Rin! Hehehe…”, katanya di sela-sela obrolan kami. “Aku yakin kelak kamu akan jadi orang yang sukses!” “Aamiin…”, jawabku seraya menyerahkan struk pembayaran kepadanya.
Tahun ajaran baru dimulai. Aku begitu semangat menyambutnya. Aku mulai mencari informasi dimana kira-kira sekolah yang cocok untukku. Cocok di sini maksudnya yang sesuai dengan kantong. Maklum tabunganku hanya terkumpul 700 ribu. Karena sudah mondar-mandir kesana kemari akhirnya aku putuskan untuk melanjutkan ke sekolah eks Kak Amel dulu. Selain karena sudah kenal dengan beberapa gurunya, biayanya lebih murah dari sekolah swasta lainnya.
Formulir sudah di tangan. Tinggal melengkapi persyaratannya. Namun tiba-tiba Tuhan mengujiku lagi. “Kontrakan rumah berakhir bulan ini?”, kataku histeris. “Iya, Nduk… Kalau kita ndak bayar, kita bisa diusir. Bapakmu juga ndak bisa diharapkan. Padahal Bu Dhe udah ngasih tahu jauh-jauh hari”
Aku bingung. Lagi-lagi aku dihadapkan pada keputusan yang sulit. Membayar kontrakan rumah, atau membayar biaya pendaftaran sekolah? Oh Tuhan… Kenapa begitu berat cobaan yang harus aku hadapi di usia sedini ini? Tidak adakah jalan keluar yang lebih baik selain aku harus mengorbankan salah satu dari masalah ini? Kak Alya mendengar kabar ini. Lagi-lagi dia yang harus berpikir bagaimana caranya agar aku bisa tetap sekolah dan kontrakan rumah bisa segera dibayar. “Aku nggak mungkin menutup mata, melihat saudara-saudaraku terlantar di luar sana. Aku nggak mungkin menutup telinga, mendengar mereka menangisi nasib malang mereka. Izinkan aku kerja pa…”, ucapnya pada Kak Wisnu, suaminya. “Baiklah! Aku mengijinkan kamu kerja. Asalkan kamu bisa membagi waktu” Sungguh! Tuhan telah menjawab doa-doaku. Dia kirimkan lagi malaikat untukku. Dan lagi-lagi Kak Alya adalah malaikat itu. Dia diterima kerja sebagai Staff Accounting di salah satu perusahaan swasta. Dia menjanjikan aku bisa sekolah lagi tahun ini. “Uang yang ada sekarang kamu pakai untuk biaya daftar ulang. Sisanya akan kakak lunasi setelah kakak gajian. Kalau soal rumah biar nanti kakak yang bilang ke pemilik rumahnya untuk bisa kasih tempo sampai gajian berikutnya” Itulah yang dilakukan malaikat bernama Alya padaku. Dalam sekali hentakan dia bisa merobohkan dua pohon yang menghalangi langkahnya. Sesuai rencana, aku melanjutkan sekolah di eks sekolah Kak Amel. Kak Alya menemui pemilik rumah kontrakan untuk meminta tambahan waktu. Semua ini adalah rencana Tuhan. Rencana yang tidak akan bisa ditebak oleh siapapun. Dan yakinlah bahwa janji Tuhan itu pasti.
Kini aku duduk di bangku kelas XI. Selain sekolah kegiatanku yang lain adalah bekerja part time. Sepulang sekolah aku langsung bekerja. Menjaga sebuah stand makanan dengan upah Rp. 250.000,-/bulan. Setidaknya itu cukup lumayan untuk menambah uang sakuku. Sekolah sambil bekerja memang tidak mudah. Alhasil aku jadi tidak begitu berprestasi di sekolah.
Tak apa! Bukankah kebanyakan orang-orang yang sukses di luar sana adalah orang yang tidak memiliki prestasi akademik? Besar nilai rapor bukan jaminan besar gaji kan? Bahkan Eka Tjipta Widjaja, pendiri Sinar Mas Group, salah satu pengusaha finansial dan real estate di Indonesia hanya lulusan SD. Tapi sekarang dia masuk dalam urutan orang terkaya No. 3 dari 10 orang kaya di Indonesia. Hebat kan!
Begitupun aku! Suatu saat aku akan tunjukkan pada dunia bahwa aku pasti bisa sukses! Aku yakin aku bisa. Karena hanya dengan keyakinan aku bisa ada di sini dan menuliskan kisahku.
Semoga kisahku ini menjadi inspirasi buat teman-temanku agar lebih menghargai waktu. Karena waktu yang terlewat tidak akan pernah kembali. Jangan pernah menyesali waktu kemarin, karena kita masih bisa berbuat lebih baik di waktu esok! Semangat!
Cerpen Karangan: Septi Aya MU Facebook: Septi Aya Moment