Siang ini saya disambut dengan hamparan debu yang menyiksa penciuman, debu-debu itu seakan membuat saya sesak dengan aroma yang khas. Iya, kini saya telah sampai di sebuah pulau terpencil. Tepatnya di selatan Indonesia, dan saya mendedikasikan diri menjadi seorang guru di tempat ini. Langkah demi langkah saya lalui dengan sambutan anak-anak yang sedang bermain dengan sehelai kain lusuh. Mereka memandang saya seakan melihat sesuatu yang belum mereka lihat, padahal saya hanya memakai pakaian biasa berselimut jaket biru kesayanganku dan sebuah ransel dan koper besar yang saya tarik.
“akhirnya kamu datang juga?” wanita paruh baya itu mengejutkanku saat saya melewati (sebuah) rumahnya. “kamu pasti Rafly?” ucapnya lagi, namun nadanya seakan mengajakku untuk berbicara lebih dalam lagi “iya, saya Rafly? apa anda Ibu Asih?” beliau hanya menjawab “iya, kemarilah kau pasti sangat lelah” akhirnya saya menaiki 5 anak tangga yang menghubungkan ke teras. Saat itu saya sangat lelah, dan saya pun beliau adalah guru di pulau ini, iya.. beliau yang memperjuangkan kemerdekaan yang sederhana disini. Hari mulai larut malam, baterai smartphone saya akan habis tapi tidak ada aliran listrik disini. Saya mengambil sebuah jeruk dan mengisi baterai smartphoneku dengan lempengan kawat yang kulilitkan disana, dan cara itu berhasil.
Pagi menjelang, kini langkahku memasuki daerah sekolah. Dan kulihat ini seperti bukan sekolah, papan tipis yang digunakan mulai rapuh, atap-atap seakan ingin memakan mangsa dan suatu saat bangunan itu akan runtuh. Saya melihat beberapa dari mereka bermain bola. Tak terasa kini saya mulai mengajar di kelas yang mirip seperti sebuah gubuk.
“selamat pagi anak-anak” ucapku seraya meletakkan beberapa berkas di meja. Saya memperkenalkan diri dan mulai mengambil buku dari loker. Namun saya melihat tulisan disana tertera di cetak pada tahun 80an-90an, artinya mereka belum menyentuh KTSP dan K13, buku itu benar-benar rusak, banyak halaman yang hilang dan robek. “kalian belajar dengan buku ini? Lalu dimana buku kurikulum 2013 nya?” ucapanku membuat suasana hening, salah satu anak laki-laki mengangkat tangan kanannya “maaf pak, kami hanya mempunyai buku itu. Kurikulum itu apa pak? Kami belum tau, dan selama kami sekolah di sini hanya ada satu guru itu pun bukunya juga memakai buku yang dipegang bapak” saya merenung, kemudian saya berdiri di tengah “kurikulum adalah suatu materi yang disusun secara apik. Dan kurikulum ini sama seperti buku lainnya hanya saja sistem yang digunakan sedikit berbeda. Maksudnya materi di dalamnya lebih mendalam” kemudian anak laki-laki itu berkata “saya mau mencoba kurikulum, kenapa kami tidak pernah menerima buku baru sementara di kota-kota besar sudah banyak yang menerima” saya merasa lemah mendengar perkataan itu, namun saya tetap menjelaskan materi kurikulum agar mereka dapat merasakan apa itu kurikulum. Hari berganti sore, kini aku telah sampai di rumah Ibu Asih dan aku membuka klinik kecil disana. Saat waktu magrib ada seorang anak kecil yang mengetuk pintu.
“anda pasti pak Rafly, guru baru dari kota itu kan?” gadis itu menunjukan sebuah tulisan di genggamannya “iya saya Rafly, dan kenapa kamu menulis di selembar kertas putih ini?” dia menatap bibirku seakan ia membacanya, kemudian anak kecil itu menulis lagi “saya Qifa, maaf pak saya tuli dan bisu.. tapi saya ingin belajar dengan anda, saya ingin menjadi dokter” belum 3 hari saya disini, tapi air mata saya sangat lancar ketika melihat hal seperti ini. “ayo masuk, saya punya sebuah pudding coklat” dia duduk di sampingku, dia ingin menggapai impiannya tapi buku pun tidak ada. Ia memulai curhatnya betapa ia ingin menjadi dokter dan sekolah. “ibu dan ayahku tidak pernah menemaniku, hanya ada nenek yang selalu di sampingku. Orangtuaku terlalu sibuk sampai mereka tidak menemaniku” ia membicarakan semua penderitaannya.
Hari berganti siang, aku menghungi temanku. Aku ingin ia mengumpulkan buku sebanyak mungkin agar aku dapat membagikannya pada anak-anak disini. Beberapa hari berganti minggu. Saat ini setiap hari sabtu sore saya berkeliling dengan membawa buku dari temanku itu dan menunggangi kuda, terkadang saya terharu melihat saat mereka membaca. 27 tahun usia saya sekarang, dan saat ini ada sebuah olimpiade internasional yang diselenggarakan di Beijing. Dan saya memutuskan untuk memilih Marcus untuk mengikuti tes di Jakarta, karena ia sangat lihai di bidang sains. Dan saya mencoba menghubungi dinas terkait agar ia yakin kepada saya kalau Marcus bisa maju ke internasional. Setiap sore ia datang ke rumah saya sedangkan Qifa membantuku untuk merawat pasien yang sedang sakit, saya sudah memberi pengarahan kepadanya bagaimana menyusun obat dan memeriksa setiap orang, Qifa benar-benar sangat cerdas dalam hal kesehatan. “Qifa” sapaku “ada apa pak Rafly? Qifa salah memberi obat?” tulisan itu terpampang jelas di depanku “kamu jaga klinik dulu, saya mau mengajar Marcus” ia hanya menganggukan kepala dan melukis senyum.
“pak, saya tidak yakin akan lolos” ucapnya (Marcus) pelan “ini kesempatan kamu, kamu buktikan kalau kamu bisa. Kita di sini bertemu dengan berbagai macam masalah” ucapku “tapi pak, saya tidak percaya diri” terangnya “kamu masih muda, kamu pandai di bidang sains. Kesempatan tidak akan datang dua kali Marcus” hanya diam, kini aku mulai menjelaskan beberapa materi untuknya. Hari itu kondisi saya sedikit memburuk “uhuk-uhuk.. uhuk” “pak Rafly kenapa? Apa anda baik-baik saja?” tanya Marcus, mungkin paru-paruku kambuh lagi -dalam hati “tidak, saya baik. Belajarnya sampai di sini dulu, besok kita sambung ya” ia menuruti saya, dan segera pulang begitupun Qifa. Saat ini saya berada di atas tempat tidur dan memikirkan sesuatu “saya harus yakin kalau Marcus bisa, tapi buku-buku ini serasa kurang”
3 bulan setelah itu, Marcus semakin pandai. Ia membuat suatu rumus baru, berbekal buku sumbangan dari teman-teman saya, Marcus sangat bersemangat untuk semua ini. Namun kondisi saya memburuk, tapi semangat saya untuk “memberi tahu” semua orang di dunia ini, kalau anak dari daerah terpencil juga sangat pandai.
Ibu Asih juga demikian, beliau membantu saya dalam banyak hal. Dan beberapa hari yang lalu, saya dan Ibu Asih membuat hidroponik sederhana di sekolah. Meski saya sakit, saya tidak akan menyerah.
Singkat cerita, saya dan Marcus di Jakarta. Saat itu, wajah saya tidak bisa lagi segar dan saya sangat lemas. Dan saya setiap hari harus merogoh kocek cukup dalam untuk menghubungi Ibu Asih, agar beliau dapat memberi kabar pada orangtua Marcus. 1 minggu berlalu, kini pengumuman tes telah di bacakan. Dan Marcus lolos dalam tes dan peraih nilai terbaik. Olimpiade mulai 2 bulan lagi, saya meninggalkan Marcus di asrama karena saya harus kembali mengajar di sekolah.
Singkat cerita, kini telah kembali mengajar di sekolah dan semua siswa menanyakan Marcus, itu membuat saya terasa termotivasi untuk memajukan anak-anak ini. Dengan kondisi saya yang sekarang, saya tetap belajar dan memberi materi, berkeliling untuk menjadi “pembawa buku”, membuka klinik, dan membuka ekstrakurikuler lingkungan hidup. Saya tidak menginginkan bayaran untuk semua ini, saya tidak ingin dipuji banyak pihak, tapi saya ingin memajukan negeri ini.
3 hari sebelum Marcus berangkat ke Beijing, saya sakit dan tidak berdaya. Qifa yang merawat saya sekarang begitu juga Ibu Asih, badan saya sangat panas bahkan untuk berdiri saya mual bahkan muntah. Namun saya tetap mengajar dengan cara mengoreksi tugas dari anak-anak, saya tidak mau karena saya sakit, mereka tidak bisa memahami materi.
“halo? Pak Rafly?” Saya mengangkat telepon dari Marcus “halo, bagaimana kabarmu? Apa kamu sudah siap?” tanyaku “saya siap, saya belajar banyak disini. Saya bertemu dengan guru-guru yang sangat baik seperti Pak Rafly? ” ujarnya dengan nada gembira “uhuk uhuk… semoga kamu sukses disana, saya dan teman-temanmu yang lain akan mendukungmu” suara saya lemas saat itu “bapak sakit?” “tidak, ingat pesan saya Marcus. Kita tidak bisa membuat gedung pencakar langit, tapi kita bisa membuat prestasi yang melebihi ketinggian gedung pencakar langit itu” saya terus asyik mengobrol dengannya. Sampai saat nya, kami melihat Marcus kembali dengan piala dan medali emas, serta senyumnya yang manis. Sekaligus melihat Qifa telah menolong sesamanya yang sedang sakit meski ia hanya membaca gerak bibir. Setiap hari saya hanya memakan 3 sendok nasi dan sebuah jeruk, serta membagikan apa yang saya punya.
Saat Marcus mulai bersekolah kembali, ia merasa sedih. Saya tidak mengajar di sekolah, karena saya telah meninggalkan mereka karena sakit. Saya menghembuskan nafas terakhir saat saya membaca sebuah ayat. Ketika saya sembahyang Tahajjud di rumah Ibu Asih. Namun, kemenangannya membuat teman-temannya tersenyum dan termotivasi. Akhirnya kini mereka adalah anak-anak yang pandai, dan mereka sering mengikuti olimpiade tingat provinsi maupun nasional. Saya berhasil membuat mereka pandai melalui Marcus dan Qifa yang pandai di bidang kesehatan.
“Kita tidak bisa membuat gedung pencakar langit, tapi kita bisa membuat prestasi yang melebihi ketinggian gedung pencakar langit itu”
Sekian & terima kasih!!
Cerpen Karangan: Annisa Rakhmawati Facebook: Annisa R Rakhmawati Seorang pelajar SMK kelas 10 jurusan pariwisata di SMKN 10 Surabaya yang kini sedang belajar menjadi cerpenis 🙂