Hidup itu seperti dance. Jika kita memiliki lantai yang besar, banyak orang yang akan menari di sana. Beberapa orang akan marah ketika terjadi perubahan ritme. Tetapi hidup akan terus berubah sepanjang waktu. Prinsip hidupku ialah, “SELAMA MASIH BISA IKHLAS, MENGAPA HARUS DENDAM?” Itulah prinsipku. Tidak mudah untuk menjadikannya lebih nyata dan hidup. Sebenarnya tidak ada yang sulit di dunia ini, karena Allah menciptakan hambanya untuk senantiasa tabah.
Tahun 2007 Pukul 22.45 di Bandung. Di sepinya malam, di sepanjang jalan trotoar aku mencari sinar rembulan. Dan aku mendengar suara jangkrik bernyanyi, aku berharap sang bulan tak terusik. Namun ternyata rembulan sama sekali tak bersinar. Aku teringat dengan tugas dari Ibu Srini, mapel Bahasa Indonesia. Nasib buku itu ternyata masih berada di tangan Ninot. Aku akui nama panjangnya ialah Pramudina Narundana. Sebutan Ninot hanya kuucapkan ketika kita sedang bertengkar ataupun hati kita sedang tidak bisa bersatu.
Aku berniat untuk datang ke rumahnya sekaligus mengapelinya. Tepat pukul 11 malam, terpaksa aku harus cepat-cepat menuju ke rumahnya. Aku melewati jalan yang tidak biasa aku lewati, aku hanya ingin memotong jalan dan segera sampai di rumahnya. Jalan raya ini begitu sepi dan tidak ada satupun suara binatang yang aku harap bisa sedikit menemani ketakutan di lubuk hatiku.
Masih beberapa meter dari rumah Ninot, aku dicegat oleh bebarapa orang yang juga mengendarai motor. Aku mencoba untuk mengamati wajahnya yang siapa tahu aku mengenalinya. Aku menjadi yakin kalau malam ini aku bernasib buruk, aku sama sekali tidak mengenali seorangpun dari mereka. Kemudian aku melihat salah satu dari mereka yang sedikit berjalan ke arahku. Aku menunggu apa yang ingin dia katakan kepadaku.
“Kamu anak mana?” Tanya orang itu.
Aku sungguh sama sekali tidak mengenali mereka, melihat wajahnya saja baru sekali ini. Akhirnya aku memilih diam, aku tidak ingin memberitahukan identitasku kepada orang yang sama sekali tidak aku kenal. Satu orang lagi berjalan mendekatiku, sepertinya dia juga ingin mengatakan sesuatu kepadaku. Dua lawan satu, bahkan mereka lebih dari dua. Meskipun aku dilahirkan berjenis kelamin jantan, tapi aku juga memiliki rasa takut.
“Jangan ngelawan kamu!”
Apa sedari tadi aku sudah mengucapkan sesuatu kepada mereka? Aku sungguh belum mengatakan apapun. Apa bentuk wajahku menggambarkan aku menantang mereka? Itu tidak mungkin, ini adalah wajah yang menunjukkan ketakutan. Kemudian aku melihat dia mengeluarkan sebuah benda yang dapat aku definisikan sebagai pisau daging yang besar. Dia terus berjalan ke arahku, kemudian aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya berteriak Astaghfirullahal’adzim berkali-kali. Padahal aku sudah menyerahkan seluruh isi tas yang aku bawa. Mereka juga meminta helmku yang masih aku pakai di kepala. Tapi mereka terus membantaiku. Aku mencoba menahan sakit, dan tanganku berusaha melindungi kepala. Aku sama sekali tidak merasakan pingsan, aku sadar ketika beberapa orang datang mengangkat tubuhku dan aku dimasukkan ke dalam sebuah mobil berwarna putih.
Di dalam mobil itu, aku masih dibawah kesadaran. Aku merasakan tangan kananku sama sekali tidak bisa digerakkan. Aku shock ketika melihat tulangnya sampai keluar, di dalam hati aku berkata, “Aduh bagaimana ini, aku nggak bisa breakdance lagi.”
Tahun 2014 di Bandung. “Luka ada di bagian badan, tangan, kepala dan telinga. Telinga kiri saya robek dan hampir putus, jari saya sekarang cuma sembilan setengah. Yang setengah itu putus di tempat, benar-benar putus. Untungnya pergelangan tangan saya masih bisa diselamatkan. Kata dokter kalau tangan tidak melindungi kepala, mungkin akan lebih parah dan akan banyak memori yang hilang.” “Kalau kami boleh tahu, berapa total jahitannya?” “Total ada 250 jahitan di seluruh tubuh. Alhamdulillah wajah saya nggak luka.” “Kamu dendam nggak sama mereka?” “Sama sekali nggak dendam. serius saya sendiri merasa aneh, kok bisa berlapang dada. Padahal, orangnya ketemu polisi ada 100 orang.” “Lalu tindakan polisi apa?” “Saya cuman bilang, biarin Tuhan aja yang bales. Saya sampai sekarang nggak ngerti kenapa. Ternyata saya punya rasa sabar dan ikhlas yang gede.” “Ini pertanyaan terakhir dari kami. Andai kata di depan kamu sekarang ada anak-anak geng motor yang terlibat, apa yang ingin kamu katakan kepada mereka?” “Kenapa harus ngelakuin itu sama saya? Saya nggak punya salah apa-apa sama kalian. Saya tidak bertindak aneh-aneh sama orang lain. Saya juga nggak pernah maki orang ataupun mukul orang.” “Terimakasih Bisma, karena anda sudah meluangkan waktu untuk mewakili sekolah anda menjadi peserta di acara Dance School ini. Semoga keahlian atau kelebihan positif yang ada di diri anda menjadi sebuah karya yang positif pula. Semoga anda tetap bisa berkarya dengan kemampuan dance anda. Beri tepuk tangan yang meriah untuk BISMA KARISMA dari SMAN 1 ANGKASA…!!!” PROK PROK PROK…!!! Suara riuhan tepuk tangan menggema memenuhi ruangan tersebut, Bisma yang tengah duduk menghadap seorang wanita yang berprofesi sebagai wawancara itu terus saja menampilkan senyum bahagianya. Bisma merasa sangat lega bisa berbagi pengalaman dengan orang lain.
Di sudut lain, terdapat seorang gadis yang sedari tadi pun tersenyum memandangi Bisma dari kejauhan. Dia duduk di bangku penonton paling belakang. Padahal Bisma yang sedari tadi wawancara di depan itu terus saja mencari keberadaan gadisnya. Pandangan Bisma mengitari setiap sudut ruangan tersebut, pada akhirnya Bisma menemukan seseorang yang sejak tadi ia cari.
“BISMA!” Seru seseorang dari kejauhan. Aku mendengar seorang wanita dewasa memanggil namaku, aku belum yakin kalau dia wanita dewasa. Ternyata itu mamaku, dia seorang wanita paruh baya yang sedang berjalan menghampiriku bersama dua orang di samping kanan-kirinya. Apa mereka berdua malaikat? Di samping kanan mama ada papa yang tentu saja dia adalah malaikat hidupku sejak aku lahir. Sedangkan di samping kirinya mama adalah seorang wanita muda yang seumuran denganku, dan tentu saja dia malaikat hatiku. “Mama sama papa ada di sini?” Tanyaku. “Oohh.. jadi kamu nggak tahu kalau mama sama papa datang ke sini?” Balas mama. “Bisma kan yang dilihatinnya cuma si Dina. Jadi mama nggak usah cemburu.” Ledek papa. “Lagian si Ninot nggak ngasih tahu kok, kalau mama sama papa mau lihat wawancara aku.” Aku membela. “Kamu nggak tanya kok.” Balas Dina. “Ya udah, malah berantem kan jadinya. Mending sekarang kita pulang saja.” Ajak papa kepada kami semua. “Mama sama papa duluan aja ya, katanya ninot laper, jadi Bisma sama ninot mampir ke Bober Cafe dulu.” Ucapku. Aku melihat ekspresi wajah Dina yang langsung berubah, aku sengaja berbohong karena aku ingin berdua saja dengannya. Aku jadi ingin mendengar rutukan di dalam hatinya, aku yakin sekarang dia berteriak-teriak di dalamnya. Apa aku masuk saja ke dalam hatinya? Tidak mungkin, sekarang aku hanya harus berdo’a semoga nantinya dia tidak memarahiku. “Ya sudah, mama sama papa duluan ya.” Ucap mama sambil berjalan beriringan dengan papa yang semakin menjauh dari tempat aku dan Dina berdiri tadi.
Tidak hanya tampan dan memiliki banyak karya, Bisma Karisma atau yang akrab disapa Bisma itu ternyata juga mempunyai bisnis kuliner di Bandung. Yaitu Bober Cafe yang bertempatkan di Jl. R.E. Martadinata no 123, Bandung. Disela-sela kegiatan sekolah, Bisma meluangkan waktunya untuk mengurus kafe. Konsep kafe yang diusungpun begitu unik. Cocok sebagai tempat nongkrong yang positif bagi para remaja usai kegiatan sekolah. Kafe yang ia buat bukan sekedar menjual menu istimewa, tetapi juga memamerkan interior yang unik. Pria kelahiran asli bandung tersebut pernah menjelaskan di salah satu acara kuliner, bahwa bisnisnya itu adalah bisnis yang ia garap bersama rekan-rekannya.
Pukul 16.00 di Jl. R.E. Martadinata no 123, Bandung, Jawa Barat. Seingatku, sejak perjalanan dari studio wawancara tadi sampai detik ini, Dia belum mengucapkan sepatah katapun kepadaku. Seharusnya dia marah, karena aku sudah membawa dirinya dalam kebohonganku. Tapi ini apa? “Apa aku berbuat salah?” Aku bertanya. Kulihat dia menolehkan sedikit kepalanya ke arah wajahku. “Apa kamu benar-benar akan mengikuti kompetisi itu?” Balas Dina. Apa sedari tadi yang ada di dalam otak cantiknya itu hanya kalimat seperti itu? Berarti aku sungguh merasa bersalah karena sudah membuatnya terus berpikir sejak tadi. Aku akan mencoba menenangkannya. “Apa kamu takut akan kehilangan aku lagi?” Ucapku dengan nada bercanda. Dia masih diam, aku yakin sudah ada beberapa kata yang ingin ia ucapkan kepadaku. “Aku sungguh tidak ingin bercanda denganmu, Bisma. Apakah kamu yakin, kalau tanganmu sudah kuat untuk kamu buat headspin?” Ucapnya dengan nada khawatir. Sejujurnya dulu sebelum terjadinya tragedi geng motor yang menimpaku, aku sempat mengajarinya dan memperkenalkan beberapa gerakan dance berserta namanya. Kalau headspin, setahu aku Dina tidak terlalu bodoh dalam mapel bahasa Inggris, apa dia sudah lupa bedanya bahasa inggrisnya tangan dan kaki? Kamu terlalu polos sayang. “Untuk dibuat breakdance, memang sudah nggak terlalu maksimal lagi, karena masih sakit kalau buat nahan. Untungnya bagian tengah kepala nggak luka, jadi masih bisa kalau dibuat headspin. Di kompetisi itu enggak diwajibkan breakdance pakai tangan kok, jadi kamu nggak usah khawatir.” Kataku sambil tersenyum. Aku melihat perempuan yang sedari tadi berhadapan denganku ini langsung diam. Aku yakin sekarang dia sudah ingat, kalau head itu kepala, sedangkan tangan itu hand. Apa aku baru saja membuat gadisku malu? Tidak apa-apa, yang penting aku bisa melihat senyum manisnya. “Aku akan memesan makanan dulu, kamu jangan kemana-mana ya. Kalau kamu ingin ke toilet, ya silahkan.” Ucapku kepadanya. Aku melihatnya hanya menganggukkan kepala.
5 menit kemudian… Bisma kembali dengan membawa dua gelas minuman dan beberapa cemilan ringan di tangannya. Memang, kebiasaan seperti itulah yang sering dilakukan oleh sepasang sejoli ‘Prabis’ ketika sedang berdua. Meskipun tidak ada sedikitpun tanda-tanda kegemukan yang muncul dalam tubuh dua insan tersebut. Tiga kata yang biasanya mereka ucapkan ketika mereka ditegur oleh teman-temannya, “MAKAN ITU WAJIB” tentu saja wajib, kalau haram mana mungkin sekarang manusia masih bisa hidup di bumi ini. Dan jelas saja kalimat itu ditanggapi oleh teman-temannya dengan ekspresi yang sangat sulit diartikan. “Sepertinya akan turun hujan.” Ucap Dina kepada Bisma. “Benarkah?” Sahut bisma. “Kalau begitu kita harus berlama-lama di tempat ini.” Lanjut Bisma lagi. “Justru kita harus segera pulang.” Balas Dina. “Baiklah, nanti kita bisa memotong jalan biar lebih cepat sampai ke rumah.” Ucap Bisma. “Kamu tidak takut kalau kamu lewat jalan itu?” Tanya Dina. “Apa tragedi tujuh tahun yang lalu akan terjadi lagi? Itu tidak akan mungkin. Ayo kita pulang.” Dina bergegas mengikuti pergerakan Bisma yang berjalan keluar kafe, kemudian menaiki motornya.
Ketika mulut dengan hati itu tidak singkron, maka dampaknya akan terjadi pada hati. Jika mulut itu mengucapkan sesuatu yang tidak sesuai dengan hati, maka hati akan terbebani. Itulah yang sekarang dirasakan oleh Bisma. Sepanjang perjalanan, Bisma tak henti-hentinya membayangkan tragedi tujuh tahun yang lalu. Masih mending jika Bisma sendiri yang terluka, sedangkan dia sekarang tengah bersama orang yang ia sayang. Bisma sudah berjanji tidak akan membuat Dina terluka. Bisma akan selalu melindungi orang yang ia sayang.
Hal yang sedari tadi ditakutkan oleh Bisma akhirnya terjadi, segerombolan anak muda mencegat mereka di tengah jalan raya yang memang kondisinya sangat sepi. Bisma dan Dina langsung turun dari motor untuk menghadap sekelompok geng motor itu. Dina terlihat begitu ketakutan, Bisma yang melihatnya bergegas menyembunyikan tubuh Dina di belakang punggungnya. “Apa yang kalian inginkan? Apa kalian ingin membuat jariku menjadi genap 9? Apa kalian belum puas dengan jariku yang 9,5 ini?” Kata Bisma dengan menunjukkan jarinya. Tidak ada sahutan sama sekali dari geng motor itu, mereka masih berdiam diri di tempatnya masing-masing. Dan itu membuat Bisma semakin geram akan ulah mereka. “Kenapa nggak ada satupun yang bicara? Apa kalian sedang mengicar gadis yang ada di belakang saya? Saya bersumpah tidak akan membiarkan kalian menyentuhnya! Lebih baik sekarang kalian bilang apa yang kalian inginkan?!” Ucap Bisma dengan intonasi yang lebih tinggi. Akhirnya salah satu dari mereka berjalan maju mendekati Bisma, ia seperti ketua dari geng itu. “Apakah pergelangan tanganmu masih sakit?” Ujarnya. Pertanyaan itu membuat Bisma mengernyitkan dahi pertanda bingung. “Apakah benar kepalamu tidak ada yang luka? Dan apakah telinga kamu benar-benar robek?” Tanya ketua geng motor itu lagi. Bisma semakin bingung dengan lontaran pertanyaan dari ketua geng itu. “Maksud dari pertanyaanmu itu apa?” Tanya Bisma. Ketua geng motor itu terus berjalan mendekati Bisma hingga tepat di hadapannya. “Kami semua memang gengster di daerah sini, kami di sini mencari anak-anak muda yang bertingkahlaku liar. Dan tragedi tujuh tahun yang lalu itu, benar-benar diluar dugaan. Orang yang membuat jarimu buntung itu adalah anak gengster baru. Setelah kejadian itu, kami langsung menyerahkan bocah itu ke polisi. Dan saat kami melihat kamu wawancara mengenai hal tersebut, kami sungguh lega karena kami sudah memenjarakan dia. Kami sungguh salut akan ketabahan hati kamu. Apakah kamu benar-benar tidak akan menghukum kami semua?” Ucapnya panjang lebar. Dina yang masih berdiri di belakang Bisma sedikit berjinjit dan mencoba membisikkan sesuatu kepada Bisma. “Mereka sedang minta maaf sama kamu, apa kamu akan memaafkannya?” Tanya Dina. Kelihatannya Bisma sama sekali tidak menghiraukan perkataan gadis yang berbisik kepadanya, namun kenyataannya ia mendengar, dan ia memikirkannya. “Jika niat kalian adalah untuk meminta maaf, maka aku akan meminta Tuhan untuk tidak membalas perbuatan kalian.” Balas Bisma. “Mengapa kamu bisa sesabar itu? Kami semua sungguh berterimakasih banyak atas kebijaksanaanmu.” Ucap ketua geng motor itu. “Awalnya memang terasa berat. Asal semuanya ada niat yang nyata, pasti akan terlaksana.”
Keikhlasan merupakan cara Bisma untuk menerima dengan tegar dan tabah apapun itu yang terjadi, dan tak lupa semua cara tersebut kurang lengkap jika ia belum mensyukuri tentang semua yang sudah ia punya sekarang. Mama, Papa, Dina dan juga pengalaman hidupnya.
Selesai
Cerpen Karangan: Ratih Facebook: Ratih Ratiih