Pernahkah bertemu orang pincang sebelumnya? Kurasa kalian semua, yang tidak buta dari kecil tahu seperti apa orang pincang itu. Orang-orang pincang adalah mereka yang mengalami defektifitas dalam mobilisasi. Mereka memiliki kelemahan saat berjalan. Terkadang sulit untuk berjalan, atau bahkan tidak bisa berjalan jika tidak menggunakan alat bantu —tongkat dan sebagainya.
Tapi, pernahkah kalian belajar bersama orang pincang di kelas kalian…? Kurasa pemandangan itu jarang dijumpai. Jika pun ada, hanya di sinetron-sinetron saja. Si pincang itu —heroine cerita tersebut— adalah seorang siswa cerdas. Dia masuk ke kampus besar karena dapat rujukan beasiswa dari SMA lamanya dan lulus tes masuk dengan nilai terbaik. Di kelas dia adalah mahasiswi terpintar dan disukai banyak orang di kampusnya: para dosen, teman-teman, senior-senior, pengurus BAAK, pengepel koridor, tukang listrik, penjaga perpustakaan, ibu kantin, juga cowok terkeren di kampusnya —yang kebetulan pacar gadis lain di kelasnya. Mengetahui hal itu, sang pacar pun naik angin, melabrak si pincang tersebut, sampai menyakitinya secara fisik. Hal tersebut dilihat oleh si cowok keren. Semerta-merta, cowok tersebut pun menyelamatkan si pincang, sambil bilang, “Kita putus.” pada pacarnya, dengan nada elegan —entah apa maksudnya. Dari kejadian tersebut, kedua anak keturunan Adam itu pun jadi dekat. Tanpa disadari keduanya mulai menghabiskan waktu bersama tiap harinya, mengenal satu sama lain lebih kompleks lagi. Lalu jatuh cinta. Dan akhirnya pacaran. Memang benar, perjalanan hidup keduanya tidak semulus yang diharapkan, tapi mereka tak menyerah, terus optimis agar bisa tetap bertahan pada situasi semacam apa pun. Sang laki-laki menerima si perempuan apa adanya, dan si perempuan menerima sang laki-laki dengan hati lapang, menyayanginya sepenuh hati biarpun kekurangannya membatasi pergerakannya. Sampai akhirnya mereka menikah. Diberkahi hidup nyaman, tenteram, makmur, dan 2 putra soleh dan seorang putri solehah. Ceritanya berakhir dengan happy ending. Indonesia banget. Sebuah konklusi menggembirakan. Hanya saja, hal semacam itu adalah hasil dari buah pikir seorang script writer di rumah produksi sinetron tersebut. Kenyataannya, kehidupan semacam itu tak pernah terjadi. Ya, fakta di masyarakat tidak memperlihatkan kehidupan seperti itu.
Dalam keseharianku misalnya. Ada seorang gadis. Namanya Nurmala Rashid. Gadis ini mengambil jurusan Sastra Inggris di universitas yang sama denganku. Gadis itu dan kami juga berada di kelas-kelas yang sama. Di angkatan kamu, ada sekitar 80 orang yang mengambil Sastra Inggris. Ada dua kelas yang dipisah. Di kelasku 40-an dan sisanya di kelas sebelah. 40-an siswa di dalam sebuah kelas kecil bukanlah jumlah yang sedikit. Nurmala adalah salah satu dari kelas sarat itu, bersamaku dan 40-an lainnya. Begitu yang ingin kukatakan sebenarnya… Hanya saja, tidak seperti itu kelihatannya. Hal ini lebih kompleks lagi. Sama seperti heroine di cerita di atas tadi, Nurmala merupakan gadis cantik, penerima beasiswa. Dia juga seorang penderita defektifikasi. Kakinya pernah kanannya pernah patah saat dia masih kecil. Kecelakaan saat di jalan raya. Nurmala mengalami kerusakan pada lututnya, menyebabkan iatak bisa berjalan normal lagi. Dia perlu menggunakan tongkat untuk bergerak. Mirip sekali seperti lansia yang terkena osteoporosis. Sejak kecil —sebelum masuk SD— sudah harus mendapatkan takdir semacam itu. Sungguh memilukan hidupnya. Dia tidak pernah punya banyak teman karena kekurangannya tersebut. Nurmala sering mendapat cacian dan cibiran karena dia pincang. Saat SD dulu, Nurmala sering diejek “Nur Tua.” oleh teman-teman satu sekolahnya. Dia bahkan harus melalui 6 tahun pelajaran dengan kesendirian, karena tak memiliki teman. Masa-masa sekolah Nurmala yang seperti itu terjadi selama 12 tahun. Dia lulus tanpa masuk dalam foto perpisahan.
Tidak berhenti di situ, kehidupan suram Nurmala masih berlangsung ketika masuk kuliah. Teman-teman sekelas tak menghargainya. Mereka menjauhi gadis itu, tidak mau berteman dengannya. Ada beberapa saja yang ingin berteman dengan Nurmala, ikhlas tanpa maksud lain.
Kehidupan orang kurang lengkap memang tidak mudah. Jika buta tak bisa melihat, jika buta tak bisa mendengar, jika buntung susah makan atau bekerja, jika bodoh terus dibentak, jika gila dibiarkan, dan jika pincang susah berjalan. Bukan hanya di situ saja. Di kalangan anak-anak zaman kontemporer ini, orang-orang penderita disabilitas juga dianggap pengganggu. Mereka seperti beban yang menjengkelkan. Seolah duri di kuntum mawar. Merepotkan. Karena rasa jengkel tersebut, mereka pun ditindas habis-habisan oleh kaum dominator. Sudah seperti tirani saja…
Namun, biarpun Nurmala ditindas secara mental oleh teman-teman di kelas, tak sekali pun dirinya merasa tersakiti. Baginya, belajar dan lulus kuliah dengan hasil terbaik lebih penting daripada mengurusi orang-orang yang bahkan tidak mau melihatnya itu. Nurmala tidak pernah ingin dijauhi siapa pun. Dia suka berteman —walau tidak pernah mengalaminya sampai akhirnya masuk kuliah. Dia tidak pernah ingin dikalahkan oleh apa pun, baik itu ejekan atau kutukan sekali pun.
“Kau tak apa-apa memangnya, diperlakukan tak adil begitu?” tanyaku, di satu kesempatan saat kami ngobrol berdua. “Aku sudah kebal dengan sikap sarkasme begitu. Kalau mereka mau membenciku, aku tak bisa melarangnya. Itu kehendak mereka, hak mereka.” Aku hanya mendengarkan dengan saksama. “Tapi, aku tidak pernah membenci mereka, untuk alasan apa pun.” “Bahkan dengan sikap mereka itu?” “Ya,” lanjut Nurmala dengan senyum senggang. “Lagi pula, tidak ada untungnya membenci orang lain. Itu hanya akan menambah beban dalam kepala kita, membuat kita sukar untuk konsentrasi. Juga, jika mereka membenciku, bukankah itu artinya mereka memikirkanku. Aku tidak sepenuhnya dijauhi. Hanya saja, mungkin mereka belum bisa menunjukkan sikap ramah mereka pada manusia kurang lengkap sepertiku.” Begitu miris penjelasan itu. Setelah diperlakukan seperti seorang anak tiri dalam keluarga kejam, dia masih bisa berpikiran positif begitu… Terbuat dari apa hati gadis itu memangnya…?
Dia menampik perbuatan jahat manusia-manusia penyuka konflik itu dengan tanggapan positif. Tidak ada sedikit pun dendam olehnya. Seolah tidak ada yang terjadi. Jika Nurmala memiliki hati sesempurna itu dengan keterbatasan dan kesukaran baik secara fisik maupun mental, lantas kenapa kita orang-orang normal malah terus-terus saja menyibukkan diri dengan mengkritik orang lain. Sebenarnya, kesempurnaan itu apa? Hanya penuh dengan bagian tubuh tanpa luka ataupun cacat? Apa benar begitu…? Kurasa tidak… Orang-orang sempurna sebenarnya banyak yang cacat. Karena kesempurnaan mereka itu, mereka menyombongkan diri. Mereka menganggap Nurmala sebagai penduduk dari dunia lain. Hal yang biasa terjadi di Indonesia —atau lebih tepatnya dalam hidup manusia.
Ada pepatah Melayu yang pernah mengatakan, “Biar cacat badan, jangan cacat hati.” Sepertinya kalimat itu menjelaskan betul, apa sebenarnya arti kesempurnaan itu. Kesempurnaan bukanlah dinilai dari apakah tubuh kita lengkap atau tidak. Tapi, apakah kita memiliki hati yang jernih atau tidak. Jika tubuh lengkap tanpa satu kekurangan sedikit pun tapi hati sekotor Bawang Merah yang selalu saja dengki pada Bawang Putih, maka cacatlah orang tersebut. Tubuhnya memang lengkap, tapi hatinya rusak. Karena hati rusak tersebutlah makanya mereka cacat.
Cerpen Karangan: Faz Bar Profile I’m just an ordinary guy, with no talent or awesomeness. I like to write, especially a light novel. My dream is to write a light novel that then being adapted into an anime series (I’m serious about this). I like anime and J-Pop music, and all about Japan. My favourite protagonist is Hikigaya Hachiman, whether the heroine is Yukinoshita Yukino from Oregairu. I’m still an amature. But, I sure can be one of like those great writer whom had made history with their works. I want to be one like that. A famous writer (once again, I’m serious about this).