Bagaimana rasanya membenci sesuatu yang dicintai hampir semua orang? Dipuja mayoritas manusia? Bahkan sebagian orang dibutakan olehnya, rela mengorbankan segalanya. Sendiri melawan arus bukanlah hal yang mudah. Kau bisa di anggap gila atau bodoh. Tapi apa mau dikata, hati telah memilih serta menyadari apa hakikat hidup yang sesungguhnya. Bukankah setiap orang berhak memilih jalan hidupnya masing-masing? Ini hak asasi, ini otonomi diri. Terkadang bukan hanya mata saja yang dibutuhkan untuk melihat, namun hati juga diperlukan sebagai kontrol serta penyeimbang. Lucu memang berada di tengah parodi manusia-manusia urban yang hidup bak sapi perah bagi ambisi dan gengsi mereka sendiri.
Hangatnya sapuan sinar matahari membalutnya sepanjang jalanan kota yang masih relatif sepi. Maklum ini hari Sabtu, tidak banyak orang yang dikejar jadwal ke kantor ataupun ke sekolah. Seorang gadis berambut lurus tengah memacu motornya melintasi dataran abu-abu dengan kecepatan sedang. Sebenarnya dia butuh kecepatan ekstra agar segera tiba di tempat tujuannya, Warung Bubur Abah Hasan. Perutnya sudah gemerucuk karena dari kemarin malam belum sempat diisi. Namun, ia sangat menikmati udara pagi kali ini. Setibanya disana dan memesan menu favoritnya, ia duduk menghadap jendela. Sengaja karena pemandangan disini langsung menghadap ke jajaran pohon di ruang hijau seberang jalan yang menyejukkan mata. Semangkuk bubur ayam spesial pun tiba, tanpa basa-basi lagi ia melahapnya.
Setelah puas membungkam perutnya, ia melanjutkan perjalanan ke tempat selanjutnya. Menuju sebuah kampung di salah satu sudut kota yang lumayan bersih, walaupun jalannya meliuk-liuk bahkan harus melewati jalan yang naik turun. Sedikit melelahkan memang. Bangunan peninggalan Belanda itu lah tujuannya, rumah bercat putih bersih dan berhalaman tidak cukup luas namun penuh dengan tanaman yang terawat. Agak aneh memang, harusnya bangunan seperti ini ada di jajaran kawasan bangunan-bangunan heritage lainnya bukan malah tersesat di tengah kampung seperti ini. Entah magnet apa yang selalu membuatnya terpesona, setiap datang kemari ia selalu merasakan ada sesuatu yang membuatnya selalu rindu dengan tempat ini. Sadar telah ditunggu oleh seseorang, ia bergegas menuruni sepeda motor lalu melangkah cepat untuk mengetuk papan kayu jati yang berdiri kokoh di hadapannya. Tak lama pintu pun terbuka, seorang ibu-ibu berumur sekitar empat puluh tahunan berdiri dengan senyum ramahnya. “Assalamu’alaikum, tante,” sapa gadis itu sambil mencium tangan wanita bertubuh subur itu. “Wa’alaikumsallam. Eh, Kinan ayo masuk. Tumben pagi betul? Sudah sarapan?” jawabnya sambil mengajak Kinan memasuki rumahnya. “Iya, tante ada janji sama Ica pagi-pagi gini. Sudah, tante. Saya tadi sebelum kesini mampir beli bubur ayam dulu,” jelas Kinan. Wanita itu hanya mengangguk-anggukan kepala.
Di ruang tamu seorang perempuan sebaya dengan Kinan sedang menghadap laptop dengan jemari yang asyik menari diatas keypad. Tak bermaksud mengganggu Kinan duduk di sampingnya tanpa bersuara, matanya menjelajahi lembar Microsoft Word yang hampir penuh dengan tulisan, membaca barisan alphabet yang tertulis di lembar putih itu. “Jam berapa ini, Neng? Baru dateng…” sindirnya tanpa sedikitpun melirik Kinan. “Maaf, Ca. Kan aku di rumah sendiri, jadi banyak yang harus diurusin. Tadi aku mampir sarapan di Abah Hasan dulu, tapi tenang semuanya udah beres kok tinggal copy-paste di laptopmu,” ujar Kinan membela diri sambil menunjukkan flashdisk ke hadapan muka Ica. Irit bicara, Ica hanya berdehem kemudian menyambar benda kecil tapi fungsinya selangit itu. “Klik, klik”, Ica memasukkan data penting ke laptopnya. “Nan, uda beres nih. Tinggal send aja,” ujar Ica meminta persetujuan. “Udah kirim aja, Ca. Menang kalah kan kita uda nyoba?”
Mereka berdua sedang mengikuti lomba karya ilmiah online dan hari ini adalah hari terakhir untuk pengirimannya. “Iya sih, kamu mana peduli menang apa kalah. Gak ngaruh sama hidup kamu. Aku butuh hadiahnya, Nan. Aku lagi butuh uang,” curhat Ica dengan mata sedikit berkaca-kaca. Kondisi perekonomian keluarga Ica memang sedang tidak baik. Bisnis pembuatan shuttle kock papanya sedang mengalami penurunan, bahkan harus merumahkan beberapa pekerja untuk menekan ongkos produksi. Kinan merasa tak enak hati, buru-buru ia meminta maaf. Kinan memang anak dari keluarga yang berkecukupan, berbeda dengan Ica yang terkadang uang jajannya pas-pasan. Bahkan ia merasa uang bukanlah hal yang begitu berharga, ia senang berbagi apalagi dengan Ica, sahabatnya sejak SMP. “Klik”, tombol send pun di klik oleh Kinan.
“Ini ayo dimakan ya, Kinan,” ujar Mama Ica sambil membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat dan makanan ringan seadanya. Kinan berterimakasih. Ada rasa iri di dalam hatinya. Coba kalau Ica yang ke rumahku, mana mungkin Mama mau nyiapin kayak gini. Paling juga yang nyiapin aku sendiri, terus Mama pamit pergi ke Ica soalnya banyak urusan, batin Kinan. Mereka terdiam dan hanyut dalam pikiran masing-masing. Sudah hampir seminggu Kinan bolak-balik ke rumah Ica demi menyelesaikan karya ilmiah itu, praktis Kinan sudah seperti anak sendiri bagi Mamanya Ica. Mama Ica selalu ramah dan baik terhadap Kinan, bahkan tak pernah absen menyuruhnya makan disana. Kinan pasti diomelin kalau mau pulang tapi belum makan. Perhatian dan peduli itulah gambaran kecil kebaikan hatinya. Mereka memang bukan dari keluarga terpandang, namun hati mereka bagaikan emas yang tak ternilai harganya, pikir Kinan.
“Enak ya jadi kamu, Nan?” tanya Ica tiba-tiba menganggetkan lamunan Kinan. “A.. apa enaknya, Ca?” tanya Kinan terbata dengan tatapan heran. Apa sih enaknya hidup serba mandiri, orang tua jarang pulang, rumah sudah kayak hotel cuma buat tempat istirahat doang? Bahkan rasanya orang tuaku saja tak peduli dengan kehadiranku, apa enaknya, Ca? gerutu Kinan dalam hati. “Enak lah, Ca. Duit tercukupi, semua fasilitas oke, motor keren, laptop keluaran terbaru, smartphone, orang tua gak ngekang. Hidup kamu itu perfect. Bodoh kalau kamu masih ngerasa kurang,” jawab Ica polos. Kinan hanya mendengus mendengar alasan Ica yang sudah ribuan kali didengarnya. Hatinya seperti teriris, masih saja ada orang berpikiran seperti itu. “Ga enak, Ca. Kamu harus hidup tanpa rasa kasih sayang langsung dari orang tua, aku kadang-kadang capek liat mama papaku yang hampir gila kerja itu, rumah udah kayak hotel cuma buat tempat makan, mandi, sama istirahat aja. Okelah, fasilitas tercukupi tapi rasanya kosong, Ca. Aku hampir gak punya waktu cuma sekedar buat ngobrol santai, aku jarang didengerin sama mereka. Mereka dekat tapi rasanya jauh buat aku,” bulir air mulai mengalir di kedua pipi Kinan. Beban itu rasanya sedikit terangkat, ia lelah menyimpannya sendiri selama ini. Menjaga persoalan keluarga yang pelik, ini aib bagi keluarganya. Kinan gak mau orang menilai negatif keluarganya. Menyesal, Ica memeluk Kinan. Banyak yang Ica tidak ketahui dari Kinan, itu karena Kinan gak suka orang lain mengasihaninya. Dia cukup tegar sampai pagi ini ia harus terlihat lemah di depan sahabatnya. “Uang gak selamanya ngasih kamu kebahagiaan, Ca. Aku iri sama kamu yang punya orang tua peduli sama anaknya. Terkadang yang kita butuhin gak cuma uang aja buat hidup,” bisik Kinan dalam pelukan gadis yang bertubuh lebih besar darinya. Rasa hangat seakan merebak di relung hati Kinan. Ica tak berkomentar hanya merapatkan pelukannya. Ia menyadari banyak yang Kinan tidak ceritakan padanya. Kini ia menyadari betapa besar beban sahabatnya itu, beban yang harus dipikul seorang diri oleh remaja yang masih berumur tujuh belas tahun.
—
“Ben, maaf ya aku gak bisa nerima ini semua dari kamu,” ujar Kinan sangat hati-hati sambil memberikan sebuah kardus coklat yang hampir penuh dengan barang-barang khas cewek pada lelaki tinggi di depannya. Lelaki itu menatap Kinan penuh tanda tanya, hatinya pun mendadak terasa nyeri bagaikan terserang serangan jantung dadakan. “Aku ikhlas kok kasih ini semua sama kamu,” kata Ruben kaget. Ia bingung harus berkata apa lagi pada perempuan yang amat ia sayang itu. “Kamu sayang kan sama aku, Kinan?” tanya Ruben menatap lurus manik hitam di hadapannya yang seketika menunduk lesu. Ia menyadari perubahan ekspresi perempuan di hadapannya yang drastis itu, bahu Kinan seakan roboh mendengar pertanyaan itu. Ruben sudah lama mendambakan Kinan, segala macam cara telah ia coba untuk menarik simpati Kinan. Berbagai barang kesukaannya pun Ruben langsung membelikan tanpa tanggung-tanggung. Namun Kinan hanya bisa menerima Ruben sebagai teman tidak lebih, jujur ia bingung bagaimana cara membuat Ruben mengerti bahwa ia hanya suka berteman dengannya. Kinan tak mau melukai hati Ruben, tapi mungkin caranya salah. Ia malah membuat Ruben berpikir seakan-akan Kinan memberi harapan lebih padanya. Rumit. “Aku uda buktiin rasa sayangku ke kamu, Nan. Itu semua bukti rasa sayangku sama kamu, aku peduli sama kamu,” Ruben meyakinkan Kinan. Memang tidak ada sedikitpun rona dusta di matanya, semuanya benar, jujur dari dalam hati. Tapi Kinan tak suka diperlakukan seperti itu. “Maaf, Ben. Aku bukan orang seperti itu dan aku juga gak pernah minta kamu buat beliin ini semua buat aku. Jujur, aku sendiri masih bisa kok membeli ini semua dengan uangku sendiri kalau aku mau,” Kinan tak mau direndahkan. “Bukan, Nan. Bukan itu maksudku, aku cuma mau buktiin sama kamu, kalau aku serius gak main-main. Aku gak akan bikin kamu kecewa.” “Sudahlah, Ben. Terima ini, aku gak sepantasnya mendapatkan ini semua. Aku bukan perempuan yang baik buat kamu, aku gak punya perasaan yang sama. Aku uda nyoba, tapi aku gak bisa. Maaf. Aku yakin di luar sana masih ada orang lain yang jauh lebih baik dari aku dan pastinya yang bisa membalas perasaan kamu itu. Aku tau kamu cowok baik-baik dan makasih buat semua perhatianmu ke aku selama ini,” jelas Kinan sambil menyerahkan kardus itu pada Ruben. Mungkin itu menyakitkan bagi Ruben, tapi inilah yang terbaik. Kinan lelah harus pura-pura bersikap manis padanya hanya untuk menghargai segala usahanya.
Dear, Kebahagian bukan selamanya tentang materi. Terkadang bahagia itu tak terlihat oleh aksesoris duniawi, karena bahagia itu hubungannya dengan hati. Dengan kesederhanaan pun kalau kita mau bahagia juga bisa datang. Materi memang bisa membuat orang senang, namun belum tentu ia akan merasa bahagia. Bahkan untuk melihat sesorang menjadi bahagia dengan mata saja tidaklah cukup. Apa yang terlihat oleh mata belum tentu sama dengan apa yang dirasakan di dalam hati. Aku sadar bahwa uang bukan segalanya. Harta yang melimpah pun tak akan sepenuhnya membawa kebahagiaan yang sempurna. Bahagia itu dari hati dan tak ternilai oleh uang. Begitu pula dengan cinta yang tak kan bisa dibeli dengan uang. Aku memang aneh, uang bukan segala-galanya bagiku. Hanya orang-orang bodoh menurutku yang rela mengorbankan semuanya demi uang. Mengorbankan kasih sayangnya, mengorbankan waktunya. Mereka seperti menjual diri mereka pada keping rupiah. Naïf bukan?
13 Desember 2011, Kinanti Kamila Putri
Cerpen Karangan: Asri Nur Aisyah Facebook: https://www.facebook.com/asri.n.aisyah
Nama: Asri Nur Aisyah Facebook: Asri Nur Aisyah Twitter: @asrinura Terimakasih telah membaca 🙂