keputusan terkadang membuktikan bahwa ini adalah hal tersulit yang harus dibuat. terutama ketika itu adalah pilihan antara: dimana kau bisa mengambilnya dan di mana kau benar-benar menginginkannya.
—
[ … suasana begitu sepi. hampir tak bersuara. sunyi menyelimuti seluruh ruang. Ya, ruangan yang dulunya menjadi permulaan. Dimulainya sebuah pilihan. Tempat dimana ada langkah 2 kaki kecil yang berjalan pelan. Ragu-ragu, tapi enggan membalikkan arahnya. Dengan helaan satu nafas panjang, kepala yang tertunduk itupun mencoba tegak. Perlahan melangkah menuju sudut lorong dan mengangkat tangan kananya. ]
—
Hari ini suasana sangat hingar bingar. Begitu ramainya sorakan dan teriakan. Anak-anak berseragam coklat tak henti-hentinya berteriak kegirangan. Berjingkrakan, histeris seolah-olah mendapat lotre 1 milyar. Dalam pandangan mata terlihat sebagian orang merasa begitu gembira, sebagian orang merasa berduka dan sebagian lainnya yang sibuk mondar-mandir membawa map yang entah apa isinya. Pandanganpun tertuju pada sekumpulan orang yang bersedih. Dengan air mata dan penyesalan tak henti-hentinya terucap dari bibir. Mungkin hanya sisa-sisa penyesalan bagi mereka. Bagai tembok yang sudah lama mereka bangun, dan runtuh begitu saja.
Tiba-tiba seseorang datang menghampiri. Wajahnya tampak lelah, berkeringat, seperti menghabiskan hari di terik panas. Bersama rekan-rekannya mereka menghampiri sekumpulan orang yang sedang panik. Dibalik bisingnya pengeras suara, dan hiruk pikuknya sekitar dia berkata. “Malam kak.” “Ya, malam juga.” Orang itu menjawabnya sembari membalas juluran tangannya untuk bersalaman. “Bagaimana ini bisa terjadi kakak?” Orang itu hanya tersenyum, terdiam sesaat, memejamkan mata dan menundukkan kepala ke bawah.
—
Terlihat bagian bawah sebuah kursi kerja yang secara perlahan-lahan naik. Tampak punggung seorang pria sedang asiknya bergulat dengan komputer berserta setumpuk kertas. Suasananya begitu ramai, terdengar bising karena suara pita mesin printer yang terus berteriak. Inilah aku sekarang, dengan rutinitas kerja, pekerjaan, mengharapkan penghasilan. Terlihat di sebelah kanan sebuah papan putih dengan sebuah kertas besar menempel hampir di tiap sudutnya. Disana tertulis daftar pekerjaan beserta tanggal yang harus dituntaskan. “Sedikit lagi dan.. Selesai.” Bersamaan dengan kutekan tombol bertuliskan enter. “Memang sudah selesai Jok?” Tanya seorang wanita di depanku. “Sudah. Ini yang terkahir. Berharap aja si cantik gak marah lagi.” Sambil mengelus-elus sebuah printer bertuliskan Epson T1100. “Bagus deh. Siapa tau gak uring-uringan lagi Bos kita.” “Dia mah, tiap hari uring-uringan Mpok. Mau tanggal muda, tua sama aja. Dah jam 1 nih, mau titip makan gak Mbak Tari?” Tanyaku sembari mengambil handphone dan sebungkus rokok dalam laci. “Gak usah, udah nitip tadi sama Arif.” Jawab Mbak Tari dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Akupun bergegas pergi menuruni anak tangga menuju ke pintu utama.
Seperti hari yang sudah-sudah, siang itu aku mengambil tempat duduk di pojok rumah makan. Datanglah menu makanan yang biasa kupesan tiap hari. Hanya akulah yang saat jam istirahat siang memilih untuk makan di luar. Karyawan lain memilih untuk memesan dan memakannya di kantor. Alasan mereka sih, takut bos dateng mendadak. Tapi bagiku harus ada setidaknya satu jam untuk bebas dari penatnya pekerjaan, walau Bos agak kurang suka dengan kebiasaan ini. Dengan kalimat yang tak terbantahkan “Client itu harus diutamakan. Kalau client mau ngurus, di kantor gak ada orang, masalah buat kita.” Tak kugubris, karena karyawan pun punya hak untuk istirahat.
Butuh waktu setengah jam untuk menghabiskan hidangan di piring. Setelah itu barulah membuka kotak yang tadi saya ambil dari laci lalu melakukan kebiasaan yang menurut sebagian orang kurang baik. Hampir tiap hari saya mengobrol dengan orang-orang yang ada di tempat itu. Kebanyakan dari mereka membicarakan masalah pekerjaan, ada juga yang coba menawarkanku bisnis. Tapi yang lebih sering adalah membicarakan wanita. Entah selalu saja ada topik untuk perempuan. Dari semua sudut pandang, selalu menyenangkan.
Tiba-tiba hanphone berdering. Kulihat ternyata ada pesan singkat dari nomor yang tak kukenal. Isinya adalah “Kakak, besok bisa dateng gak ke SMP, ada undangan dari kepala sekolah. Bales ya kak. Dari : Citra.” Saya pun membalas sms hanya dengan satu kata “Insya Allah”. Tak lupa juga menyimpan nomornya ke daftar kontak : SMP Citra. Keesokan harinya saya sibuk bekerja.
—
Tak terasa sudah dua tahun bekerja. Semakin lama bekerja, semakain banyak juga pressure dari Bos besar. Hubungan kami semakin dekat. Buktinya dia sangat memperhatikanku. Bukan untuk pujian. Tapi makian besar yang datang karena banyak pekerjaan yang molor, salah dan tak dikerjakan. Semakin hari semakin banyak juga daftar order yang harus selesai. Berita baiknya adalah : saya tak perlu gusar karena omset semakin naik. Itu berarti besar kemungkinan naik juga taraf hidup. Tapi berita buruknya adalah : tak ada tambahan waktu. Deadline harus seperti biasanya. Saya harus bisa! Pada kenyataanya semua terbengkalai. Akupun tak luput dari kata disalahkan. Terus menerus disalahkan. Sebagai manusia Akupun mengajukan tuntutan. Logikanya adalah jika pekerjaan bertambah banyak, harus diseimbangkan juga dengan sumber daya. Opsinya yaitu penambahan perlatan pendukung, pekerja dan yang paling penting kesejahteraan karyawan. Sang Bos menyetujui hal ini. Saya naik pangkat. Punya anak buah, peralatan pendukung, tapi tidak dengan gajinya. Angan-angan untuk meningkatnya penghasilan tidak terealisasi. Saya bersyukur atas hal ini.
Sampai suatu hari Bos marah besar. Masalahnya sepele, tapi berhubungan dengan relasinya. Dipuncak kemarahannya, Sayapun tak bisa tinggal diam. Lalu semua tak terhindarkan. Bos memberikan 2 pilihan. Pertama saya terus melanjutkan pekerjaan dan tak ada tambahan ini itu atau dia akan mencari orang baru. Akhirnya aku memilih keduanya. Kukerjakan semua pekerjaan yang kadung kuambil, dan dengan segera berpamitan kepada rekan-rekan kantor.
—
Dua bulan berlalu, kini hanya tinggal sebuah pekerjaan yang sejak lama kudapat. Awalnya pekerjaan ini hanya sampingan. Pekerjaan yang tak bisa diharapkan. Tapi nyatanya sekarang hanya itulah yang saya punya. Pekerjaan yang sudah 2 tahun tak kukerjakan sejak menerima pekerjaan besar. Tapi masih tetap dapat uangnya. Gaji buta. Ya, itulah sebutan yang pantas untuk hal ini. Hanya datang untuk mengisi absen lalu pulang. Menjadi seorang pembina ekstrakulikuler Pramuka memang sudah kugeluti sejak SMP. Dan sekarang membina sekolah yang dulunya menjadi tempat saya belajar. Karena belum mendapat panggilan kerja, kuputuskan sementara membina lagi.
—
Pagi sangat cerah. Lagit berawan riang dan matahari tampak berseri-seri. Hari ini ada latihan pramuka. Ada satu pesan singkat masuk ke handphoe. Isinya “Kak, hari ini latihan pramuka jam 9. Anak-anak udah dikasih tau kemarin. Dari : SMP Citra.” Jam 8.30 saya datang ke sekolah. Kebetulan hari itu ada rapat untuk seluruh pembina ekstrakulikuler. Saya pikir ini saat yang tepat untuk bertemu kepala sekolah. Acara rapat berjalan lancar. Membahas program sekolah yang diselaraskan dengan ekstrakulikuler. Diakhir rapat, kepala sekolah memanggil saya untuk datang ke ruangannya. Dalam hati saya berkata pasti ada sesuatu.
Tok.. tok.. tok.. “Asalamualaikum.” Suaraku saat berdiri di depan pintu ruang kepala sekolah. “Walaikum salam, masuk pak Joko. Silahkan duduk.” “Iya pak, Terima kasih.” Sahutku. “Maaf ni, Saya mengganggu jadwal latihan pramuka.” “Iya Pak, tidak apa-apa.” “Sebetulnya saya sudah melihat perkembangan peserta didik pramuka. Prestasi akademiknya memuaskan. Tapi saya belum pernah melihat latihan tiap minggunya ya Pak Joko.” Ucap Kepala Sekolah. (Jleb… skak mat deh, langsung to the point pula.) “Kalau Pak Joko masih punya waktu untuk membina siswa, saya sangat mengharapkan agak digalakkan kembali eskulnya.” Pinta Kepala Sekolah. (Saya tersenyum) “Tetapi kalau memang tidak mempunyai waktu luang, saya bisa mengambil keputusan hari ini. Sudah ada lamaran untuk posisi yang Pak Joko tempati sekarang. Latar belakang pendidikanya sangat bagus dan kompetensinya menurut saya sangat luar biasa.” Lanjut Kepala Sekolah. Saya terkejut. Sepertinya ini adalah hari terakhir saya di sekolah ini. “Kalau untuk keputusan saya menyerahkan sepenuhnya kepada Bapak. Tapi untuk saat ini saya siap membina dan menggalakkan kembali eskul pramuka Pak.” Jawabku dengan pasrah. “Pak Joko punya sertifikasi pelatihan Pramuka atau sejenisnya?” Tanyanya. “Untuk itu saya belum punya Pak.” “Lantas bagaimana membandingkan kemampuan Bapak, saya sebenarnya ingin mempertahankan Bapak di sekolah ini, mengingat Bapak juga alumni dari sekolah ini. Saya yakin Bapak akan lebih memberikan sumbangsih ketimbang saya mempercayakan orang lain.” Kata Pak Kepala. “Apa dalam cv orang itu disebutkan juga membina sekolah lain Pak?” Tanyaku seperti reporter. “Iya, sekolah yang sama statusnya dengan sekolah ini.” Kepala sekolah dengan yakin menjawab. “Menurut Bapak, apakah untuk Rancangan Sekolah Bertaraf Internasional menetapkan syarat kompetensi untuk tiap-tiap pembina eskul?” Tanyaku dengan serius. “Iya, memang ada standarisasinya. Sekolah kita ini merupakan sekolah model. Dan alangkah baiknya dengan pendidik yang berkompetensi. Untuk masalah sertifikasi bisa dilengkapi kok. Yang jadi masalah sekarang yaitu tingkat keaktifan kegiatannya.” Jawab Kepala sekolah dengan mantap. “Ya saya sih mengikuti apa keputusan Bapak. Jika Bapak masih memberikan saya kesempatan, saya siap mengaktifkan kembali organisasi pramuka.” Ucapanku untuk meyakinkan Kepala Sekolah. “Nah, seperti ini yang saya inginkan. Sekaligus saya ingin memberitahukan bahwa ada undangan perlombaan dari Smpn 60 Nusa Biru. Levelnya tergolong besar, mewakili 3 Propinsi. Apalagi sudah ada surat rekomendasi dari Dinas Pendidikan.” Lalu Pak Kepala menyodorkan surat itu di depanku. Tampak bagian paling depan surat undangan ditempel sepucuk kertas bertuliskan Acc Kepala Sekolah. Mohon pembina mengikuti acara ini dan mempersiapkan siswa sebaik mungkin. (ditanda tangani) “Bapak siap?” Pak Kepala Sekolah bertanya cukup serius. “Siap Pak.” Jawabku tegas. “Kira-kira bagaimana kemampuan anggota saat ini?” “Untuk itu saya belum bisa mengukur kemampuan keseluruhan anggota Pak.” Kilahku. “Lalu apa targetnya? Orang yang melamar kemarin mengatakan bahwa sekolah yang Ia bina sekarang juga mengikuti lomba itu.” Dengan satu helaan nafas, saya memantapkan diri. “Juara Umum Smp Pak.” “Jika tidak?” Pak Kepala terlihat mengamati wajah saya. “Sebaiknya anggota dibina oleh orang yang lebih berkompeten Pak.” Jawabku karena tak ada pilihan lain dan Kepala Sekolahpun tersenyum.
—
Dengan berbekal sebuah undangan lomba, saya berkumpul dengan anggota-anggota pramuka. Dan akhirnya saya bertemu dengan pemilik salah satu nomor kontak yang bernama Citra. Latihanpun dimulai. Saat istirahat latihan saya memanggil Citra. Saya juga memanggil teman-temannya untuk mengobrol agar lebih akrab. Saya menanyakan bagaimana mereka melalui hari-hari latihan selama saya melupakan mereka. Saya benar-benar mengamati semua jawaban dari anggota satu persatu. Semakin mendengar, semakin jelas sosok saya dimata mereka. Ibarat mengarungi padang pasir, mereka tak berhenti berjalan. Tak terpikir jika salah arah, tak tahu bagaimana ujung perjalanannya, karena mereka hanya meyakini satu tujuan. Apa tujuannya? Jawabannya adalah seseorang yang selama ini tak menghiraukan mereka. Seseorang yang dengan kesibukannya tak sedetikpun bertatap mata dan bertegur sapa. Saya benar-benar telah berdosa selama ini.
Mata ini melihat mereka berbicara tetapi telinga ini tak mendengar apapun. Hanya terbayang jika saat ini saya masih bekerja, tentunya sibuk dengan pekerjaan. Padahal dilain tempat ada sekumpulan anak-anak yang menanti. Terbayang lagi saat setumpuk uang masuk ke dalam dompet. Mulai berbelanja untuk diri sendiri. Sibuk dengan kesenangan dan hura-hura. Disisi lain ternyata ada orang-orang yang terus menerus percaya dan percaya dan percaya. Bagaimana mereka bisa seperti itu?
“Itu undangan lomba kak?” Tanya citra seraya menyadarkan saya. “Iya.” Pungkasku. “Kita ikut kak?” Tanya seseorang di sebelahnya dan ternyata itu adalah Yumi. “Kalau kalian mau.” Sambil tersenyum. “Emang kita bisa menang kak?” Tanya Citra. “Insya Allah bisa, saya yakin kalian bisa menang. Bahkan juara umum.” “Tapi kita kan belum pernah lomba. Kakak gak boong lagi kan?” Tanya Citra yang tampak ragu-ragu. “Saya yakin kok, kalian juga harus yakin. Saya minta maaf ya kalo pernah buat kalian kecewa.“ Tampak raut muka yang yang tak bisa kulupakan di wajah mereka. “Kalo nanti juara umum, kakak harus janji sama Aku ya.” Pinta Citra. “Apa? Permintaanya gak macem-macem kan?” Tanyaku ingin tahu. “Nanti aku kasih tahu.” “Oke, sekarang kita rapat untuk nentuin siapa yang ikut ya.” ]
—
Upacara pembukaan lomba dimulai. Setelah mengatur adik-adik di ruangan kelas yang telah disiapkan, saya beristirahat sejenak. Tiba-tiba saja telpon genggam berdering. Tertulis di layar Panggilan : Arif kantor. “Asslaamualaikum. Halo… Ada apa Rif?” “Waalaikum salam. Iya pak bos, gimana kabarnya?.” Jawab Arif. “Alhamdulillah sehat.” Sahutku. “Situ udah dapet kerjaan baru apa belum?” “Belum, masih nunggu panggilan. Situ punya info kerjaan baru gak? Minta channel dong. hehehe.” “Kebetulan ni, sejak ditinggal situ kerjaan gak ada yang bener. Baru 2 bulan udah ganti karyawan 4X. Gak ada yang sanggup sama kerjaan situ.” Kata Arif menjelaskan duduk perkaranya. “Terus?” “Kemarin saya ngobrol sama Bos. Bos mau nawarin situ lagi. Masalah gaji dia sanggup bayar 2X lipat dari kemarin. Kalo situ mau nanti jam sepuluh kita ketemuan bertiga di rumah makan samping kantor. Gimana?” Saya terdiam sejenak. Masih menimbang apakah kembali ke tempat lama. “Udahlah.. gak usah dipikirin lagi. Kesempatan emas ini. Bos udah sadar kok kalo kerjaan situ emang gak ada yang bisa gantiin. Apalagi sekarang order makin nambah. Lagian jarang-jarang Bos berani bayar mahal.” Bujuk Arif. “Tak pikir dulu ya, kalo nanti jam sepuluh saya gak kesana, berarti kamu tau kan.” “Oke. Ditunggu ya kehadirannya.”
Jam tangan menunjukkan pukul sepuluh lewat tujuh belas. Saya hanya duduk dengan beberapa adik-adik Smp yang belum lomba karena menunggu nomor tampil. Saya memutuskan tak menemui Arif dan Bos besar. Tidak untuk saat ini. Saya tak mau lagi meninggalkan mereka untuk kedua kalinya. Saya kembali bercengkrama dengan sekitar.
Jam tangan menunjukkan pukul 18.40 wib. Saya tak bisa mendengar sekeliling. Hanya selembar kertas yang kugulung dan kugenggam dengan eratnya. Mata ini hanya tertuju ke arah seseorang di atas podium. Orang itu akan membacakan pengumuman pemenang lomba pramuka Smpn 60 Nusa Biru. Di sebelahku juga ada orang yang berdiri tegak. Sepertinya sama. Menjadi orang yang dituakan oleh adik-adiknya. Jika saya bersama pasukan kecil hanya berjumlah 30-an, mereka lebih ‘giant’ sekitar 80-an. Saya tahu mereka adalah kompetitor. Mereka juara bertahan. Smpn 95 Nusa Biru. Lebih tepatnya penguasa untuk ajang lomba pramuka di wilayah kami. Penguasa ajang lomba 3 propinsi. Saya tak ragu, karena di sebelah saya berdiri juga orang-orang terbaik. Alumni yang menyempatkan waktu membangun kembali pramuka Smpn 25 Nusa Biru. Jumlahnya tak banyak, hanya ada 6-8 orang. Mereka tahu saya mengamati rombongan tetangga dengan begitu fokus. Para alumniku hanya tersenyum. Dibalik bola matanya menyimpan keyakinan dan sedikit harapan. Dan mereka tahu apa yang saya khawatirkan. Salah seorang diantaranya bernama Hari datang menghampiri saya. “5 tahun emang cepet bang. 95 emang jadi penguasa sekarang. Tapi tidak waktu saya yang berseragam coklat itu.” Kata Hari yang memang menjadi pasukan terbaik saya tahun 2006. “Sekarang udah berubah. Kita yang di bawah.” Ujarku dengan nada rendah. “Peluangnya emang kecil Bang. Mimpi rasanya kalo kita sampe juara umum. Kalo harus mundur, kita siap mundur semua. Kita udah all-out untuk hari ini. Temen-temen juga udah ikhlas kalo emang nanti ganti pembina. Kalupun kita gak di 25 lagi, paling enggak kita punya sejarah panjang. Dan itu yang harus diinget anak-anak.” Ucap Hari dengan mata berkaca-kaca. Saya masih berpikir seandainya kami tidak dapat apa-apa. Masih berpikir kenapa saya tidak menyempatkan waktu bertemu dengan mantan bos tadi pagi. Masih berpikir kenapa saya melakukan hal bodoh menolak tawaran yang bagus. Hal yang sudah pasti saya dapatkan, tetapi saya justru mengharapkan hal lain yang masih buram. Ini sungguh aneh. Bahkan tak logis. Ini menggelikan.
Setelah melakukan upacara penutupan. Pengumumanpun dimulai. Saat pengumuman dengan semangat adik-adik peserta lomba meneriakkan yel-yelnya. Identitas mereka. Yel-yel yang merupakan kebanggaan mereka.
Pengumuman pun selesai. Hari ini suasana sangat hingar bingar. Begitu ramainya sorakan dan teriakan. Anak-anak berseragam coklat tak henti-hentinya berteriak kegirangan. Berjingkrakan, histeris seolah-olah mendapat lotre 1 milyar. Dalam pandangan mata terlihat sebagian orang merasa begitu gembira, sebagian orang merasa berduka dan sebagian lainnya yang telihat sibuk mondar-mandir membawa map yang entah apa isinya. Pandanganpun tertuju pada sekumpulan orang yang bersedih. Dengan air mata dan penyesalan yang tak henti-hentinya terucap dari bibir. Mungkin hanya penyesalan yang tersisa bagi mereka. Bagai tembok yang sudah lama mereka bangun, dan runtuh begitu saja.
Tiba-tiba seseorang datang menghampiri. Wajahnya tampak lelah, berkeringat, seperti menghabiskan hari ini diterik panas. Bersama rekan-rekannya mereka menghampiri sekumpulan orang yang sedang panik. Dibalik bisingnya pengeras suara, dan hiruk pikuknya sekitar dia berkata. “Sore kak.” “Ya, sore juga.” Saya menjawab sembari membalas juluran tangannya untuk bersalaman. “Selamat ya Kak atas prestasi yang diraih.” “Ya.. Terima kasih. Ini berkat perjuangan anak-anak.” Jawabku coba merendah. “Bagaimana ini bisa terjadi kakak?” “Ya terjadi begitu saja. Melalui perjalanan yang harus kita hadapi.” “Bagaimana caranya untuk bisa mencapai prestasi yang Kakak raih seperti sekarang?” “(tersenyum) Jawabannya ada di dalam dirimu. Seberapa kuat kamu menghadapinya dan seberapa jauh mereka mempercayai pemimpinnya.” Sambil menunjuk Citra dan kawan-kawan.
Tak lama setelah itu, sang penanya muda berpamitan padaku dan rekan-rekan. Terlihat semangatnya yang berkobar-kobar. Dia berjanji suatu saat akan menciptakan sejarah. Dan mereka akan mendatangiku lagi saat mereka berhasil mendapatkan impiannya.
“Kan udah menang, Aku boleh minta sama Kakak kan..?” Tanya suara kecil milik Citra. “Iya, makan-makan ya..” Tebakku. “Bukan.” Jawab citra. “Trus?” Tanyaku penasaran. “Kakak jangan merokok lagi ya. Gak baik buat kesehatan.” Bagaimana dia bisa seperti itu? Saya tersenyum, terdiam sesaat, melirik ke Hari dan diapun tertawa. Lalu memejamkan mata dan menundukkan kepala ke bawah. Saya melihat adik-adik pramuka Smpn 25 Nusa Biru memang menangis. Tapi bukan untuk penyesalan. Air mata itu seakan menagamini doa dan usaha kami. Air mata kemenangan. Kemenangan untuk mereka, juga pembuktian untuk diriku.
—
Kemenangan kemarin sangat hebat. Sampai-sampai saya tak bisa menggambarkan dengan tulisan semua hal yang pernah kualami. Kalaupun ditulis, bisa mencapai 10 atau 20 halaman. Anak-anak kecil berumur 13 tahun mengajariku untuk tetap percaya sesuatu. Sebuah pelajaran penting untukku agar terus move-on, sabar dan berusaha. Kita harus punya tujuan (cita-cita). Jangan menyerah dengan tujuan itu. Dan berusahalah mencapai tujuan itu. Ketika kau memilih menyerah kau takkan menggapai sukses, bahkan kau takkan sempat mencium aromanya. Kembali teringat ucapan seorang Golden Ways. “Jika anda ingin memenangi lari marathon, anda harus menjadi yang tercepat di 100 meter pertama. Dan terus mengulangnya sampai finis. Jika di 100 meter pertama anda belum memimpin, cobalah di 100 meter ke 2, 3, 4, 5, 10 dan lakukan terus sebelum sampai garis akhir. Ketika anda sudah berusaha lalu ternyata ada orang lain yang sampai finis terlebih dahulu. Itu berarti ada usaha yang lebih hebat dibanding yang anda usahakan. Anda tak perlu berkecil hati.”
Apakah ini akhir, tentu tidak.
Keputusan terkadang membuktikan bahwa ini adalah hal tersulit yang harus dibuat. terutama ketika itu adalah pilihan antara : dimana kita bisa mengambilnya dan di mana kita benar-benar menginginkannya. Saya percaya bahwa keputusan yang telah saya buat memang bagian dari takdir. Hasilnya tergantung usaha dan atas kehandak Tuhan. Apakah keputusan yang saya ambil tepat? Jawabannya ada dalam surat yang telah kuterima tadi pagi. Beberapa bagian isi surat seperti di bawah ini : “Selamat kepada saudara Joko S. Kami telah memilih anda untuk posisi Staff Accounting pada perusahaan kami. Silahkan menemui Bapak Mochtadi / Divisi HRD untuk membicarakan hal-hal detail. Terima kasih.”
“Sukses itu sebenarnya sudah kau dapatkan saat langkah pertamamu. Dan sukses yang nyata adalah saat kau benar-benar menyentuhnya.” Susilo Joko.
Nb. Ada hal lain yang belum terungkap. Sebuah cerita perjalanan dari “Citra dan gambaran langkah kecilnya.”
Cerpen Karangan: Joko Susilo Facebook: Susilo Joko ( https://www.facebook.com/susilo.joko.9 )