Pagi yang cerah di kawasan real estate Surabaya. Kicauan burung yang merdu ditambah dengan hembusan angin sejuk di pagi hari membuat suasana kian indah. Di kawasan itulah Pak Alan dan aku tinggal. Kala itu aku melihat Pak Alan seperti biasanya, beliau hendak berangkat kerja. Namun ada hal yang aneh kali ini. Pak Alan menghentikan langkahnya sejenak, dan kemudian menuju ke sebuah rumah megah. Aku penasaran dengan tingkah laku Pak Alan yang tidak biasanya. Aku mengikuti langkah Pak Alan dari belakang. Semakin dekat, aku mendengar suara sayup-sayup tangisan, mungkin itulah yang membuat Pak Alan penasaran. Pak Alan masuk ke rumah megah itu, aku yang mengikutinya dari belakang hanya bisa melihat dari balik pintu rumah.
Ternyata suara tangisan itu berasal dari seorang perempuan paruh baya yang tengah duduk di samping seorang tubuh laki-laki tua yang tidak sadarkan diri. Pak Alan dengan cepat mengangkat tubuh laki-laki tersebut dan memindahkannya ke sofa. Pak Alan kaget setelah mengetahui jika denyut nadi dari kakek itu telah menghilang. Pak Alan bertanya kepada nenek itu yang ternyata adalah istri almarhum tentang kejadian apa yang telah terjadi. Istri almarhum bercerita jika suaminya itu sedang sarapan bersama di ruang tamu, namun tiba-tiba beliau jatuh dan tidak sadarkan diri. Mendengar cerita istri almarhum, Pak Alan dengan cepat memberitahu tetangga sekitar. Semua tetangga datang menghampirinya. Semua tetangga yang di beritahu kelihatan terharu, mereka terlihat sedih. Namun mereka hanya berkata “Innalilah Wa Inna IllahiRoji’unnn…” dan kemudian mereka pamit untuk berangkat kerja. Mereka ternyata takut dipecat dari pekerjaan mereka karena membantu tetangga yang meninggal.
Melihat semua tetangga yang sibuk bekerja, akhirnya Pak Alan memutuskan untuk mengurus semua pemakaman dan acara tahlil dengan di bantu oleh istri almarhum. Aku sempat takut dan merinding ketika disuruh Pak Alan mengambilkan air untuk memandikan jenazah almarhum. Tangan ini bergetar hebat ketika menyiramkan air ke tubuh almarhum. Mungkin melihat aku ketakutan, Pak Alan buru-buru menyuruhku keluar dan membantu istri almarhum mempersiapkan acara tahlil dan menyebarkan undangan tahlil.
Setelah pak Alan selesai memandikan jenazah dan melakukan sholat jenazah, Pak Alan lantas menyewa beberapa orang untuk membantu mengantarkan almarhum ke tempat peristirahatan yang terakhir. Pemandangan yang menyedihkan kembali terlihat saat acara pemakaman itu berlangsung. Lagi-lagi, tidak ada satu pun tetangga yang ikut menghadari acara pemakaman tersebut. Di malam hari, acara tahlil pun digelar. Kali ini, para tetangga nampak datang menghadiri acara tersebut dan menanyakan kabar.
Pak Alan yang ternyata berasal dari Jajar Kanigoro, desa Jajaretan, Blitar, Jawa Timur, kini tau betapa hebatnya masyarakat yang mendiami kawasan real estate termegah di kota Surabaya itu. Ternyata masyarakat elit itu lebih mementingkan pekerjaan pribadi mereka ketimbang membantu tetangga yang meninggal dan tidak ada yang mengurusnya.
Dari situ aku mendapatkan pengalaman berharga dari seorang Pak Alan. Beliau tetap menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila di tengah arus globalisasi yang menghancurkan moral bangsa. Dampaknya sangat besar terhadap sikap masyarakat yang cenderung Individualistis. Generasi sekarang mulai meninggalkan prinsip gotong royong dan saling tolong menolong. Dari situ aku mempunyai penilaian jika masyarakat di kota lebih besar terpengaruh arus globalisasi yang mengakibatkan sifat Individualistis tersebut. Sedangkan Pak Alan yang hidup di desa, sampai saat ini masih memegang teguh prinsip dasar Pancasila dan UUD 1945.
Akhirnya aku penasaran dengan masa kecil pak Alan, aku mencoba bertanya tentang masa kecil Pak Alan. Beliau tersenyum kepadaku dan menceritakan masa kecilnya kepadaku.
“Dulu saya ini hidup di keluarga yang melarat. Bapak saya mengidap penyakit Stroke dan Ibu saya bekerja sebagai buruh tani. Sedangkan saya sendiri adalah anak tunggal dan saya harus menjadi tulang punggung keluarga di kala umur saya yang masih 14 tahun. Biasanya setelah pulang sekolah, saya menggembala kambing milik tetangga untuk saya bawa ke padang rumput yang luas. Saya tidak mengeluh tentang kehidupan masa kecil saya, karena saya ini punya martabat dan tau diri tentang keluarga saya yang memang kurang mampu. Prinsip saya adalah miskin punya martabat dan kaya bermanfaat.” ceritanya.
Air mataku nyaris jatuh mendengar cerita masa kecil Pak Alan yang serba kekurangan. Aku malu terhadap diriku yang hidup serba kecukupan, namun aku selalu berharap lebih dan mengeluh tentang kehidupanku yang bisa di bilang mewah itu. Kali ini air mataku benar-benar jatuh membasahi pipi. Aku tak kuasa menahan tangis ketika aku sadar jika selama ini akumengeluh. Pak Alan yang melihat ku menangis, langsung memelukku dan mengusap-usap kepalaku. Tangisku kian keras dan air mata ini tumpah ruah di pelukan Pak Alan. Sampai-sampai tangisan ku membuat bahu pak Alan basah. “Mulai sekarang anda harus lebih bijak menjadi generasi bangsa yang muda. Anda harus bisa mengalahkan arus globalisasi dan bermanfaat bagi orang di sekitarmu” Tutur pak Alan. Aku yang masih menangis itu hanya manggut-manggut dan terus memeluk Pak Alan dengan erat.
Setelah tangisan ku berhenti, Pak Alan mengajakku untuk mengunjungi rumahnya. Aku bisa membayangkan bagaimana rumah Pak Alan yang besar dan mewah, pasti ada mobil mobil mewah yang kinclong. Namun sebaliknya, aku dibuat tercengang ketika melihat rumah Pak Alan yang begitu sederhana dan kecil.Ternyata di tengah besar dan mewahnya rumah di kawasan tersebut, masih ada orang yang hidupnya sederhana. Dengan kehidupan Pak Alan yang begitu sederhana, membuatku ingin bertanya sesuatu ke pak Alan. “Buat apa jauh-jauh ke kota Pak? Kalau di kota Pak Alan tetap hidup sederhana layaknya di desa.” tanyaku. Pak Alan tersenyum mendengar pertanyaan ku “Buat apa mencari yang mewah dan sempurna? Jika sederhana saja dapat membuat bahagia.” jawabnya. Satu kali lagi pak Alan membuatku terkesan dengan kalimatnya, beliau begitu bijak dan hidup sangat sederhana.
Tidak terasa jika obrolan ku dengan Pak Alan sudah lama. Hari mulai gelap, aku pun pamit dan mencium tangan beliau. Aku berjalan menuju rumah dengan banyak pikiran. Pak Alan membuatku tidak bisa berkata apa-apa. Sesampainya di rumah, aku melihat Abahku duduk santai sambil membaca koran di ruang tamu. Tak tau kenapa, aku berlari dan memeluk Abah sambil menangis. Sontak Abahku meletakan korannya dan kaget serta kebingungan “Lhoh kenapa le? Kok dateng-dateng nangis?” tanyanya khawatir. “Maafin aku bah, selama ini aku banyak mengeluh ke Bunda dan Abah. Padahal aku sudah hidup berkecukupan.” jawabku sambil menangis tersedu-sedu. Abahku tersenyum dan mengusap kepalaku. “Maafkan Abahmu juga ya, belum bisa membuat kamu dan bundamu bahagia” sesal Abahku. Aku terus menangis di pelukan Abah. Tapi bau yang teramat menyengat menghentikan tangisan ku, setelah aku cium bau apa yang sangat kurang sedap ini. Ternyata bau itu berasal dari Abah. “Abah habis pulang kerja? Baunya asem Bah, belum mandi toh Bah?” tanyaku sambil menutup hidung. “Hehehe.. kamu mencium bau Abahmu ya? Ya beginilah aroma Abahmu kalau habis kerja. Wangi kan aroma Abahmu?” candanya, kami pun tertawa lepas bersama, hingga aku pamit meninggalkan Abah untuk tidur.
Keesokan paginya, aku mendengar suara Abah yang kebetulan mengobrol dengan Bunda di ruang makan. “Ding, kemarin malam anak kita nangis sambil meluk aku lho. Dia katanya minta maaf karena sering mengeluh ke kita.” kata Abah. Ading merupakan panggilan sayang Abahku ke Bunda. “Masa to Bah? Kenapa anak itu? Kok gak kayak biasanya, tapi baguslah kalau dia sudah sadar” jawab Bundaku. Takut aku ketahuan mendengar pembicaraan beliau berdua, aku buru-buru ikut ke meja makan. “Pagi Abah, Bunda.” sapa ku. “Lha itu anaknya, pagi juga sayang” jawab Bunda ku. “Kemarin malem kamu kenapa meluk Abah sambil nangis? Padahal Abah belum mandi lho” terus Bunda. “Aku merasa bersalah terhadap Bunda dan Abah. Selama ini aku diberikan orang tua yang sayang banget ke aku, tapi aku selalu berharap lebih dan mengeluh. Maafin aku sekali lagi ya Bunda, Abah” Jawabku sedikit menyesal. “Tuh! Liatkan Ding? Anaknya siapa dulu dong? Anak Abah gitu lho” celetuk Abah. “Udah sana Bah cepetan berangkat, sekalian antar anak kita ke sekolah” Perintah Bundaku. “Iya iya Ding, tunggu Abah habisin teh ternikmat bikinan istriku tersayang” rayu Abah. “Cie si Abah, pagi-pagi begini masih sempat ngrayu Bunda. Nanti malem aja Bah kalau mau ngrayu Bunda.” Ejek ku. Kami pun tertawa bahagia bersama, sungguh pengalaman yang amat manis yang jarang sekali aku dapatkan.
Setelah selesai sarapan, aku dan Abahku siap-siap berangkat. Ketika akan memasuki mobil, “Baah..! Nanti jangan lupa beli martabak manis ya!” pesan Bundaku, “Iya iya Ding, apa sih yang enggak buat istriku tersayang.” jawab Abahku. “Udah yuk Bah berangkat, nanti keburu telat lho. Berangkat dulu ya Bunda!” seru ku. Kami pun langsung tancap gas ke tempat tujuan. Tak berselang lama, aku melihat sosok yang tidak asing sedang berjalan ke arah yang sama. Setelah aku lihat ternyata beliau adalah Pak Alan. “Stop Bah, STOOPP!” teriakku, dengan seketika Abahku mengentikan laju mobilnya. “Ada apa le? Kok nyuruh Abah stop mendadak. Ada yang ketinggalan?” tanya Abahku kaget. “Itu ada Pak Alan, Pak Alan bareng sama kita ya Bah, kasian beliaunya jalan kaki.” pintaku. Abah pun manggut-manggut seraya menyuruhku untuk memanggil Pak Alan. “Pak Alaaann!” teriakku, Pak Alan pun balik badan dan tersenyum. “Ada apa anda memanggil saya? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Pak Alan. “Ah enggak, Pak Alan naik mobil bareng saya saja yuk! Nanti Pak Alan bisa ngobrol sama Abahku di mobil” ajakku. “Waah.. Anda baik sekali, tapi gimana ya?” jawab Pak Alan bingung. “Udah, nanti Pak Alan telat lagi ke kantornya, ayuk deh Pak buruan. Tenang saja Pak Alan gak usah malu-malu.” paksaku. Akhirnya Pak Alan manggut-manggut dan ikut bersama menaiki mobil. Setelah beberapa menit di perjalanan, akhirnya aku sampai di sekolah. Aku pamit sambil mencium tangan beliau berdua, “Yang pinter ya di sekolah, jangan nakal! Abah mau berangkat kerja dulu dengan Pak Alan” pesan Abahku. “Iya iya Bah, hati-hati di jalan” Jawabku. Kemudian mobil yang dinaiki oleh Abahku itu telah hilang dari pandangan. Seperti biasa, aku mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah dengan sungguh-sungguh.
Tak berselang lama, bel panjang berbunyi. Aku pun siap-siap pulang dan menelfon Abahku. “Abah jemput aku, udah sore nih. Nanti aku takut pulangnya” kataku. “Bentar ya le, Abah lagi meeting. Kamu naik taksi saja dulu, nanti biar di bayar sama Bunda di rumah” jawab Abahku. Dengan terpaksa, aku menunggu taksi di dekat sekolah.
Tiba-tiba “Braaaakkk!” suara yang sangat keras terdengar dari pertigaan jalan yang sepi. Aku pun berlali sekencang-kencang nya untuk melihat apa yang sedang terjadi. Aku kaget setengah mati, melihat gadis kecil yang tergeletak dengan banyak darah di sekitar kepalanya. Rupanya gadis itu korban tabrak lari, aku bingung ingin berbuat apa, takut, sedih, gemetar, pokoknya campur aduk. Tapi aku ingat kata-kata Pak Alan, kata beliau “Hidup itu harus saling tolong menolong, jangan mentang kaya dan udah jadi orang elit, lupa akan hal itu.” Tanpa berfikir lama, aku menghentikan sebuah taksi dan cepat-cepat menggendong gadis yang malang itu. “Pak! Pak cepat antar saya ke RS terdekat. Tolong cepat ya Pak!” Kataku ke Pak Sopir. Lantas tanpa bertanya-tanya Pak Sopir tancap gas ke RS terdekat. Begitu sampai, aku berteriak meminta bantuan petugas RS itu. Sontak semua suster dan petugas yang ada disana menghampiriku dan langsung membawa gadis kecil itu ke UGD. Aku kian panik, aku takut, aku bingung harus melakukan apa. Akhirnya aku memutuskan untuk menelfon Abahku, “Bah! Abah! tadi ada gadis korban tabrak lari, terus kubawa ke RS dekat rumah kita. Cepet kesini ya Bah, aku takut” kataku. “Beneran le? Waduh bentar-bentar, Abah nanti kesana. Bentar lagi meeting nya selesai. Sabar dulu ya sayang” kata Abah coba menenangkanku. Aku juga menelfon Pak Alan agar datang ke rumah sakit. “Wah?! Yang benar anda? Baiklah saya akan langsung menuju ke rumah sakit. Anda tunggu disana, janga kemana-mana” kata Pak Alan.
Tak berselang lama, Abahku datang dengan menggunakan mobil kesayangannya. “Gimana le tadi kejadiannya? Kok sampai separah itu?” tanya Abahku penasaran. “Gak tau Bah, aku tadi lagi nunggu taksi di depan sekolah. Tapi tiba-tiba ada suara tabrakan keras dan tau-tau ada gadis tergeletak dan kepalanya berdarah “kataku dengan gugup. Abahku manggut-manggut sambil menepuk bahuku dan berjalan menuju tempat administrasi. 2 jam kemudian, Pak Alan datang dengan ditemani sepasang suami istri. Aku tidak tau siapa yang diajak oleh Pak Alan, yang jelas beliau berdua memakai pakaian resmi. “Dimana gadis yang anda temukan itu? ” kata Pak Alan dengan cepat, lantas aku menunjukkan tempat dimana gadis itu sedang ditangani. Semuanya nampak menegang, semuanya tampak gelisah dan cemas termasuk aku. Pintu tempat gadis itu dirawat tiba-tiba terbuka, Dokter yang menangani gadis itu keluar dan menatap kami semua. “Gimana keadaan putri saya Dok? Apakah masih bisa terselamatkan?” tanya Bapak tadi yang ternyata orang tua dari gadis kecil tersebut. “Alhamdulilah anak bapak baik-baik saja, untung saja cepat dibawa ke rumah sakit. Karena putri bapak kehilangan banyak sekali darah.” jelas Dokter itu. “Alhamdulillah..!!” kata kami bersamaan. Bapak dari gadis itu menghampiri ku sambil tersenyum padaku. “Terima kasih ya, kamu telah menyelamatkan nyawa putri saya.” kata bapak itu. Oh iya, nama saya Pak Cipto, Brigadir Polisi di Sektor Surabaya. Sekali lagi terima kasih banyak telah menyelamatkan putri saya.” lanjutnya. “Iya Pak sama-sama, kata Pak Alan kita harus saling tolong menolong, meski kita sudah mapan, tapi jangan lupakan hal tersebut.” kataku sambil agak gugup. “Wah enggak! anda hebat, anda hebat sekali, masih kecil anda sudah menjadi pahlawan, hebat hebat, anda hebat pokoknya” kata Pak Alan memujiku. “Abah bangga sama kamu le, gak salah Abah punya anak yang baik dan penolong seperti kamu.” kata Abahku sambil memelukku. Melihat hari sudah larut, kami pun pamit pulang ke Pak Cipto dan istrinya.
Di perjalanan pulang, Abah terus-terusan memujiku, aku dibuat malu oleh Abahku sendiri. Sesampainya di rumah, Abahku berjalan cepat sambil berteriak-teriak “Ding! Ading! dimana kamu Ding?!” kata Abahku sambil bingung mencari Bunda. “Di dapur Bah, lagi masak buat makan malam. Sini aja Bah” sahut Bundaku.Tiba-tiba Abah memeluk Bunda sambil mesam-mesem. Sontak Bunda dibuat kaget, “Lhoh Bah kenapa ini? Pakai meluk-meluk, malu Bah dilihat sama anak kita. Abahkan belum mandi, jangan peluk-peluk dulu deh Bah, mandi dulu sana, habis itu makan.” kata Bundaku kaget, “Anak kita habis nyelametin nyawa anak dari Brigadir polisi sector Surabaya, namanya Pak Cipto” “Yang bener Bah?” kata Bundaku penasaran. “Ya bener toh ding, anaknya siapa dulu dong? Lama-lama tak cubit lho pipi kamu, kalau terus tanya-tanya.” canda Abahku. Bunda langsung mendekatiku dan bertanya-tanya soal kejadian tadi, dan rumah kami pun menjadi meriah dan penuh dengan kegembiraan. Sampai mata yang ngantuk ini membuat kebahagiaan itu tidak bisa berlanjut.
Keesokan paginya, seperti biasa aku berangkat sekolah dengan Abah. Setelah sampai di sekolah, tiba-tiba ada pengumuman. Ternyata pengumuman itu menyuruhkami para siswa-siswi untuk berkumpul di halaman depan sekolah. Ketika sampaidi halaman depan, aku terkaget-kaget. Aku melihat Pak Cipto bersama para personil polisinya datang dengan Pak Kepala Sekolah. “Perhatian semuanya, hari ini kita kedatangan tamu dari kepolisian, mohon semuanya untuk tenang. Marikita sambut Pak Cipto untuk maju ke depan.” sambut Pak Kepala Sekolah. “Selamat pagi anak-anak, salam sejahtera bagi kita semua.” Sambutan Pak Cipto. “Baiklah langsung saja. Kemarin putri saya mengalami kecelakaan di dekat sekolah sini. Namun ada anak yang pemberani dan berjiwa besar yang telah menyelamatkan nyawa putri saya. Untuk itu saya disini untuk berterima kasih kepadanya. Mohon anak yang kemarin saya temui maju ke depan” lanjut Pak Cipto menjelaskan tujuannya datang ke sekolah.
Semua siswa yang ada di lapangan saling bertatapan, mungkin mereka penasaran dengan orang yang telah menolong anak dari Pak Brigadir itu. Dengan perasaan agak malu dan bangga, aku maju ke depan. Semua orang menatapku. Aku berjalan menuju ke depan dengan diiringi tepuk tangan yang meriah. Sesekali aku menunduk sambil menutup mata untuk mengurangi rasa malu ku. Setelah sampai di depan, Pak Cipto menatapku sambil memberikan senyuman untukku. Pak Cipto memberiku sebuah penghargaan keberanian dan sejumlah beasiswa untuk melanjutkan ke jenjang kuliah. Tiba-tiba ada yang menepuk bahuku dari belakang. Aku menoleh, ternyata beliau adalah Pak Alan. Ternyata Pak Alan memberikan sedikit sambutan untuk kami semua. “Pagi anak-anak! Kemarin saya dikagetkan oleh tindakan anak yang di samping saya ini. Saya mengenal anak ini baru 3 hari yang lalu, namun dia telah membuat saya kagum. Silahkan buat anda semua yang mau ditraktir, pasti Pak Cipto akan memberikan amplop untuknya.” kata Pak Alan sambil bercanda. Semua orang yang ada di lapangan itu tertawa lepas.
Tanpa aku sadari, ketika melihat deretan guru sebelah samping, aku kaget. Ternyata Abah dan Bundaku sedang melihatku. Bundaku menangis bahagia di pelukan Abahku, sedangkan Abahku tersenyum sambil manggut-manggut ke arahku. Pertemuan dengan Pak Alan yang dulunya orang miskin, membuatku menjadi sadar dan malu dengan kehidupanku saat ini. Memang benar apa yang dikatakan oleh Pak Alan. “Miskin harus Bermartabat. Jika sudah kaya, harus Bermanfaat”.
Sungguh pertemuan dengan seorang Pak Alan yang luar biasa.
Cerpen Karangan: Fajar Rofinanda Facebook: Nanda Chitter Nama saya Fajar Rofinanda, saya seorang pelajar di SMPN 5 Blitar. Menulis adalah hobi saya sejak SD, namun belakangan ini saya jadi kecanduan menulis gara-gara cerpen saya pernah mendapat juara pada lomba cipta cerpen antar kota. Meski saya masih muda, saya ingin memberikan perubahan nyata terhadap masyarakat lewat tulisan saya. Cita-cita saya menjadi seorang menteri pendidikan atau menteri lainnya, pokoknya seorang menteri deh, hehehe. Tokoh idola saya adalah Menteri BUMN Dahlan Iskan, beliau motivasi saya dalam hal menulis dan terus belajar, belajar, belajar.