Vater dan uma selalu membuatku tersudut karena hal ini. Mereka sering menjuluki sebagai “An Over-thinker”. Oh man… I’ve done a test about “Are you an over-thinker”, and guess what? I got a B on it. Yup, artinya aku in the middle. Berdasarkan tes yang aku ikuti, aku bukanlah seorang pemikir yang maha dashyat. Meskipun begitu, aku masih mampu berpikir kritis dan logis. Aku sudah berusaha untuk menunjukkan fakta-fakta mengenai apa yang terjadi dengan bumi saat ini. Tetapi, yaaa begitu. Vater dan uma adalah manusia biasa. Manusia memang sulit untuk sadar dari ketidaksadarannya. Seperti terperosok ke dalam quicksand. Memang perlu waktu beberapa hari untuk membuat pasir menjadi lengket. Tetapi, sekalinya manusia terjebak dan terperosok ke dalam quicksand, manusia akan terus masuk ke wilayah yang lebih dalam, lebih dalam, dan lebih dalam lagi hingga berada di titik terbawah. Lalu, apa yang terjadi bila manusia sudah berada di titik terbawah? Kehilangan nafas dan mati. Sama saja dengan yang terjadi kepada Vater dan uma. Nafsu duniawi telah ‘menenggelamkan’ mereka hingga berada di titik terbawah. Saat berada di titik terbawah, nafsu yang tak ada ujung dan pangkalnya itu menjadi backstabber. Ia memberikan kenikmatan yang tiada tara kemudian memanfaatkan situasi itu untuk ‘menelan’ si korban. Perlahan-lahan, dengan sangat hati-hati dan pasti, ia mengendap-endap dari belakang dan pada akhirnya menghujam ‘jantung’ si korban. Hanyalah penyesalan yang bisa dirasakan Vater dan uma. Orang tuaku jatuh bangkrut 4 bulan yang lalu. Tumpukan utang dari bank maupun dari kerabat dekat kian menghantui keluarga kami hingga kini. Panggilan “Bapak Serba Wow” untuk Vater pun tergantikan dengan “Bapak Mati Menyesal”. Harta karun yang biasanya tersembunyi di balik lemari besi malah menghilang bak abu yang ditebar ke laut. Mengapa hidup kami bisa berubah 180 derajat seperti ini? Simple. Hanya karena kebiasaan buruk mereka yang sudah aku ungkapkan sebelumnya.
Tangisan miris sering aku dengar menjelang aku tidur di malam hari. Vater dan uma meminta ampun kepada Tuhan atas kebodohan yang mereka lakukan selama ini. Tak pernah peduli dengan apa yang aku katakan pada mereka. Vater dan uma telah menjadi duta penghancur bumi. Mereka tidak pernah sadar bahwa hal-hal yang mereka anggap sepele itu dampaknya sungguh luar biasa. Keluargaku bisa kaya raya seperti itu karena Vater dan uma membudidayakan mutiara. Mutiara yang sudah diolah menjadi perhiasan pun dijual ke pasaran. Keluargaku sudah mengembangkan usaha ini selama berpuluh-puluh tahun dan keuntungannya memang unbelieveable. Namun, 6 bulan belakangan ini terjadilah penurunan produksi mutiara dan kualitas mutiara Indonesia. Ternyata oh ternyata, penurunan ini disebabkan oleh Global Warming. Kok bisa? Well, mutiara itu tidak tahan kimia dan polusi. Bahan-bahan kimia berbahaya yang berasal dari limbah rumah tangga dan pabrik ternyata berpengaruh besar bagi mutiara. Polusi dari kendaraan bermotor dan asap pabrik turut memicu hilangnya ‘kesucian’ bumi. Emisi atau paparan zat berbahaya tidak hanya mencemari udara yang kita hirup, tetapi berdampak pada munculnya efek rumah kaca. Hal menyedihkan ini mengakibatkan peningkatan temperatur rata-rata di bumi kita. Lama-kelamaan, udara yang kita hirup juga terkontaminasi dengan racun yang berasal dari polusi. Penurunan produksi mutiara membuat Vater dan uma kehilangan ‘lapangan’ untuk mendapatkan uang. Jalan pintas dari hal yang mencekik mereka ini adalah utang. Utang sana, utang sini. Utang dimana-mana. Semakin menggunung dan membawa perekonomian keluarga berada pada titik 0.
Selama ini, Vater dan uma tidak peduli dengan kerusakan lingkungan. Mereka acuh tak acuh saja saat mengendarai kendaraan bermotor. Mungkin bisa aku maklumi kalau mereka berpergian ke tempat yang jauh dengan menggunakan kendaraan bermotor. Konyolnya, Vater dan uma menggunakan mobil untuk pergi ke pasar swalayan yang jaraknya hanya 90 meter dari rumah. Kalau aku berjalan kaki kesana, aku hanya membutuhkan waktu kurang dari 15 menit. Ketika berbelanja pun uma senang sekali menggunakan kantong plastik dari pasar swalayan. Tidak hanya dalam jumlah sedikit. Tetapi, sebanyak mungkin yang ia bisa. Tahu tidak apa alasannya?
“Plastik ini akan uma jadikan sebagai kantong plastik untuk membuang sampah yang ada di rumah. Mumpung gratis.” Ironic. Lucunya lagi, Vater dan uma hanya memiliki 1 tempat sampah berukuran besar untuk menampung sampah organik dan sampah non-organik. Duh, memang apa susahnya memilah sampah? Hanya bermodalkan 2 kotak sampah dengan warna yang berbeda, lho. Kita bisa menggunakan tempat sampah berwarna biru untuk membuang sampah organik dan menggunakan tempat sampah berwarna hijau untuk membuang sampah non-organik. Tahu tidak mengapa Vater dan uma tidak sudi menggunakan cara demikian untuk membuang sampah? Repot. Malas. Kurang kerjaan. Itulah kata-kata andalan mereka berdua. Berdasarkan pengalaman yang aku dapatkan di sekolah, kita hanya perlu membuang sampah yang lebih mudah lapuk dibanding sampah non-organik, seperti sisa makanan, bekas rautan pensil, pembungkus makanan, dan kertas bekas ke dalam tempat sampah organik. Sedangkan sampah-sampah yang tidak mudah lapuk dan bahan-bahannya bukan berasal dari makhluk hidup, seperti plastik dalam bentuk apapun (sendok plastik, piring plastik, kantong plastik), batu baterai, kaca, bola lampu, dan barang bekas yang terbuat dari logam dibuang ke tempat sampah non-organik. Aku jamin hal ini dapat dilakukan dengan mudah sekali. Untungnya, sekolahku telah membekali anak didiknya untuk memilah sampah sebelum dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA). Memilah sampah dengan menggunakan 2 jenis tempat sampah yang berbeda itu merupakan cara paling mudah. Di sekolahku, seluruh warga sekolah harus memilah sampah dengan menggunakan 5 tempat sampah yang berbeda. 1 tempat sampah untuk membuang sampah organik, 1 tempat sampah untuk membuang sampah non-organik, 1 tempat sampah untuk membuang kertas dan karton, serta 2 tempat sampah untuk membuang tisu. Hal ini sangat bagus untuk diajarkan kepada masyarakat dunia.
Cerpen Karangan: Wulan Puspa Indah Facebook: Wulan Puspa Indah Hello everyone who loves reading and writing ;D. Let’s sleep less & read more :)! Nama saya Wulan Puspa Indah. Saya merupakan seorang remaja yang sangat suka membaca dan menulis. Saya mulai menulis cerita pendek sejak saya duduk di bangku kelas 1 SD. Mungkin judul cerita pendek ini terlihat kurang cocok dengan isi cerpennya. Namun, kalian bisa menyimpulkan mengapa mereka mengatakan bahwa tokoh ‘aku’ gila setelah membaca seluruh partnya. Kalian bisa membaca cerpen berjudul “Mereka Bilang Aku Gila” (Part 1) yang telah berhasil dimoderasi pada tanggal 7 Juli 2013. Mohon maaf apabila ada beberapa kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja. Jika kalian ingin memberikan komentar, saran, kritik, dan ingin berdiskusi dengan saya, kalian bisa hubungi saya melalui:
Twitter: @WulanandWulan Wattpad: wulanpuspaindahc Instagram: wulanpuspaindah
Terima kasih banyak. God bless! 😀