Bbrrr… pagi yang dingin, hujan rintik-rintik menghiasi suasana pagi dari balik jendela kaca kamar Dito. Dito terduduk di tepi tempat tidurnya dengan masih terkantuk-kantuk, sembari menguap beberapa kali Dito melangkah ke kamar mandi, mencuci muka, lalu langsung cabut dari kamar mandi. Dingin… buat males mandi aja nih, akhirnya Dito memutuskan ke kantor tanpa mandi (hiii… jorok). Setelah urusan badan selesai (cuci muka dan berganti pakaian) dan menyemprotkan body spray cukup banyak ke badannya, Dito bergegas menuju ruang makan. Disana Bik Ipah sudah menyiapkan sayur lodeh lengkap dengan sambal dan ikan asin. Wuihhh… sedap… ayo makan. Untuk urusan sambal Bik Ipah jagonya… pedas abis, tapi nikmat dan ngangenin. Selesai urusan perut Dito segera menyambar tasnya lalu bergegas ke kantor.
Sip… lah cuaca cerah, walau masih ada sedikit mendung bergelanyut di ufuk barat. Ditto segera memacu motornya menuju tempat kerjanya. Wah… lha kok mulai gerimis… dan ups… kenapa tambah deras… basah… basah. Benar-benar gawat nih… mana gak bawa pakaian ganti pula, alamat bakalan kedinginan di kantor nih. Dito segera menepikan motornya mengenakan jas hujan yang membuatnya lebih mirip batman daripada superman (maklum jas hujannya warna abu-abu gelap bukan warna merah, jubahnya superman kan warnanya merah).
Sesampainya di tempat kerja Dito memarkir motornya dan bergegas masuk ruangan tanpa melepas helm dan jas hujan, walhasil lantai yang sudah dipel bersih menjadi basah dan becek gara-gara kucuran air hujan dari jas hujan Dito yang memang basah kuyub. “Pak Dito…” Rizal, si OB kantor berteriak, “jadi basah semua kan Pak” . Hehe… Dito tersenyum kecut dan merasa bersalah. “Sorry Zal, gak sengaja bikin lantaimu basah”. Padahal gak sengaja bagaimana, jelas-jelas Dito langsung nyelonong masuk kantor tanpa lepas jas hujan… emang dasar Dito bandel.
Tanpa banyak bicara lagi Rizal langsung mengambil pel dan melantai (maksudnya mengepel lantai disingkat jadi melantai). Dito pun merasa gak enak hati lalu berusaha menawarkan bantuan “sini Zal, tak bantuin” “Gak usah Pak ini kan kerjaan saya” Deg… jawaban Rizal menghujam telak, meluluh lantakkan egonya, Dito tambah ngerasa bersalah, dalam hati ia berjanji besok-besok gak akan mengulangi kecerobohan yang disengaja kayak gini lagi… jadi merepotkan orang laen, jadinya gak enak kan. Dengan masih memendam rasa bersalah Dito langsung menuju meja kerjanya, berharap kesibukan hari ini bisa membantunya mengurangi rasa bersalah yang ia rasakan sekarang.
Seperti biasa kerjaan menumpuk menjadi rutinitas hariannya, tapi tetep enjoy kok. Tuut… tuuuttt… Hp Dito berbunyi, pertanda ada sms masuk. “Pagi juga, met kerja… semangat ya kak” segera Dito membalas “terima kasih dek” ini sms dari Satria, seorang teman yang baru dikenal Dito lewat sebuah jejaring sosial, usianya baru 19 tahun, tetapi dia sudah bekerja di sebuah perusahaan percetakan, sungguh semangat, dan ketekunan yang luar biasa.
Menurut cerita yang Dito peroleh, dari hasil berkomunikasi via sms, Satria ini adalah seorang anak yang pernah putus sekolah. Eits tapi jangan salah sangka dulu ia putus sekolah bukan karena bermasalah di sekolahnya, bukan pula karena berantem atau sering bolos, tetapi ia terpaksa putus sekolah karena kondisi keuangan keluarganya. Ayahnya yang hanya tenaga di proyek bangunan dengan penghasilan yang tidak menentu, sementara ibunya sebagai buruh cuci pakaian, ia membantu tetangga-tetangganya mencucikan pakaian dengan imbalan yang sangat minim.
Tetapi semangatnya untuk menuntut ilmu tak pernah padam, maka setelah putus sekolah ia segera mencari pekerjaan untuk dapat membantu biaya pendidikan adik-adiknya. Untunglah sebuah perusahaan percetakan mau menerimanya untuk bekerja disitu. Maka setelah bekerja dan memiliki cukup uang untuk membayar biaya sekolah ia segera kembali melanjutkan sekolahnya, walaupun melalui program kejar paket. Dalam seminggu ia dua kali bersekolah, hari Selasa dan Kamis, mulai jam 17.00 hingga jam 21.00. Cukup berat sebenarnya untuk dia yang sudah lelah setelah seharian bekerja. Semangatnya lah yang mendorong untuk tetap bertekun belajar.
Satria adalah seorang anak dari keluarga sederhana, tiga bersaudara, adiknya perempuan usia 15 tahun, dan si bungsu laki-laki usia 11 tahun. Kedua adiknya saat ini masih bersekolah. Satria berusaha membantu kedua orang tuanya dalam membiayai pendidikan kedua adiknya agar jangan sampai putus sekolah. Ia sungguh tak ingin jika adiknya sampai putus sekolah seperti dirinya.
Cita-citanya juga bagus, dia ingin suatu saat nanti bisa menjalankan bisnis café atau distro clothing. Sebuah bisnis yang nantinya diharapkan mampu membuka lapangan pekerjaan sehingga bisa membantu anak-anak yang harus putus sekolah karena kondisi ekonomi keluarganya, seperti dirinya, untuk memperoleh penghasilan sehingga tetap masih bisa menuntut ilmu. Sebuah keteladanan yang dapat menjadikan kita lebih dapat memaknai arti hidup, bahwa hidup adalah perjuangan, bukan sekedar hura-hura semata.
Nilai-nilai kebaikan seperti inilah yang mendewasakan Dito dari hari ke hari. Ia sadar bahwa profilnya dari keluarga yang berkecukupan (walaupun belum bisa disebut berkelebihan), ayahnya seorang konsultan keuangan dan ibunya yang pendidik, membuat kehidupan keluarganya cukup berjalan lancar bahkan bisa dikatakan mulus. Walaupun tidak ditempa dalam kehidupan yang berat, tetapi nilai-nilai yang ditanamkan oleh ibunya mampu mewariskan keteladanan hidup yang membuat Dito menjalani hidupnya dengan lebih arif dan bijaksana. Dito kini lebih bisa mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah penciptanya, lebih mampu menghargai setiap rupiah uang yang dikelolanya. Ia ingin bahwa rupiah-rupiah yang dikelolanya juga dapat menghadirkan kebahagiaan bagi orang-orang yang membutuhkan yang kebetulan berada di sekelilingnya, orang-orang yang sering dia acuhkan begitu saja karena kurang disadari arti keberadaannya.
Maka ia memutuskan untuk bertemu langsung dengan Satria, bisa duduk dan ngobrol langsung, bisa saling bertukar pikiran. Sore itu mereka saling melegakan waktu untuk bertemu sepulang kerja. Dengan mengendarai motornya Dito menuju sebuah warteg di dekat Stasiun Poncol, sebenarnya Dito ingin mengajak Satria makan enak di sebuah café di dekat situ juga, tetapi dengan halus Satria menolaknya, dengan bercanda Satria berkata “aku gak biasa makan di tempat begituan kak, takut perutku nanti syok, dikasih makanan enak…”
Sesampainya disana Satria sudah menanti dengan sepiring nasi sayur dan kering tempe, “Sory kak, aku makan duluan, habis laper banget pulang kerja” “Ok, gak apa santai aja, aku juga laper kok, aku pesan makanan dulu aja, ntar habis makan baru ngobrol” “by the way kok kamu makannya gak pake lauk, gak ambil ayam atau ikan?” “gak kak, biasa makan gini…” jawabnya sambil tersenyum. Ah sungguh bersahajanya anak ini. Setelah sama-sama menghabiskan sepiring nasi barulah Dito memulai percakapan. “Kamu ada ide apa untuk memulai usaha” “Belum kak, aku benar-benar masih belum berpengalaman, mungkin kakak bisa bantu?” tanya Satria. Dito tersenyum, ia sungguh ingin membantu anak ini, ia sangat yakin ketekunan Satria pasti bisa mengembangkan usaha, tapi bagaimana ya memulainya? Dito juga masih bertanya-tanya. Mendadak sepintas ide terlintas di benaknya, “kayaknya mending merintis usaha distro duluan deh, distro tuh kan identik dengan segala seuatu yang original. Kamu kembangin aja ide-ide kreatif kamu, kulakan bahan kemudian ditambah-tambah accessories, cari tukang jahit, ditempel-tempel kan jadi bagus tuh, customize istilahnya, pasti nilai jualnya lebih tinggi daripada barang yang umum ada di pasaran, gimana?”
Satria manggut-manggut mendengar cerocosan Dito, entah mudheng (jelas) atau malah bingung ya itu yang gak tahu… hehehe. Yang pasti kini kedua anak itu terlibat dalam diskusi super serius untuk mempersiapkan cikal bakal usaha mereka. Dito benar-benar bersemangat, ia sangat yakin bahwa usaha yang akan dirintis nya dengan Satria akan berhasil, coba aja…
Cerpen Karangan: Axas Blogk: Http://andystnt.blogspot.com