Kami biasa memanggilnya Mbah Min, dia tinggal di sebelah rumahku yang berbatasan dengan sungai kecil. Dia tinggal sendirian di rumah yang berdindingkan bilik dan beratapkan rumbia. Sampai sekarang saya sendiri tidak tahu asal usul keluarganya dan tidak berani menanyakannya karena khawatir akan menyinggung hatinya.
Tapi bagi keluarga saya, Mbah Min sudah dianggap seperti keluarga sendiri karena mau membantu menjaga pemakaman keluarga besarku tanpa mengharapkan bayaran sedikit pun. Pekerjaan rutinnya membersihkan rumput di areal pemakaman pada pagi hari, dan rumput-rumput itu dikumpulkan untuk dijual ke peternak sapi di kampungku.
Bagi saya sendiri ada keasyikan tersendiri bila bermain ke rumahnya dan tidak peduli dengan omongan tetangga yang menganggap Mbak Min itu, orang tidak waras karena terkadang berbicara sendiri dengan pohon.
Saat dirinya berbicara dengan pohon itu seolah-olah sedang berhadapan dengan kekasih tercintanya dan terkadang mengelus-ngelusnya. Terkadang dia juga menangis tersedu-sedu saat ada pohon yang ditebang oleh warga, seperti dia tidak mau kehilangan kekasih tercintanya itu. Bahkan ada juga omongan tetangga yang usil yang menyebutkan bahwa Mbah Min itu penyembah pohon.
Setiap kali saya bermain ke rumah Mbah Min, dia selalu menasehati aku supaya jadi anak yang pintar, menjalankan ibadah lima waktu dan berbakti kepada orang tua. Dan yang paling ku ingat, yakni meminta saya untuk menjaga lingkungan di sekitarku dari hal yang kecil seperti pohon untuk tidak ditebang seenaknya.
“Nak, perlakukan pohon itu seperti manusia juga karena mereka hidup dan akan tersakiti hatinya saat kita tidak memelihara dan menjaganya,” katanya setiap bertemu dengan aku. Semua bencana di dunia ini akibat kelakuan manusia yang tidak menghargai alam semesta. “Lihat bagaimana banyak bencana banjir, itu akibat hutan yang ditebangi,” katanya. “Manusia boleh berbuat jahat kepada alam, tapi alam tidak akan segan-segan membalasnya lebih kejam lagi,” nasehat itu yang sering dilontarkan kepada saya.
Entah kenapa, saya begitu kerasan setiap dekat dengan Mbah Min yang memang unik dan saya sudah menganggap Mbah Min itu sebagai kakek sendiri. Setiap pulang sekolah setelah berganti baju dan makan siang, hampir dipastikan saya pergi ke rumah Mbah Min.
Terkadang ibu juga merasa khawatir dengan kedekatan saya dengan Mbah Min karena terpengaruh dengan omongan tetangga yang menganggap Mbak Min itu orang tidak waras yang suka berbicara dengan pohon. “Hendro, kamu jangan sering-sering main ke rumah Mbah Min, nanti dia terganggu,” begitu setiap ibu menasehati dengan tutur bahasanya yang halus dan tidak mau menyinggung perasaan anaknya dengan mengatakan secara langsung bahwa Mbah Min dianggap orang yang tidak waras oleh para tetangga. Tapi aku tetap saja bermain ke rumahnya untuk sekadar mendengarkan tembang-tembang yang bernafaskan alam.
Mbah Min memiliki hobi baru yakni berkeliling kampung dengan mengendarai sepeda onthel yang katanya merupakan pemberian dari salah seorang tetanggaku. Sepeda onthel itu berwarna hitam yang sudah mulai memudar catnya. Tapi yang paling menarik, bunyi belnya yang selalu sengaja dikencangkan setiap melewat ke rumahku. “Kring… kring… kring” tentunya setiap mendengar bunyi bel itu, saya pun langsung ke luar rumah dan memanggil Mbah Min. Dia akan selalu menjawab dirinya akan “berdinas” setiap kali saya berteriak hendak kemana Mbah Min pada siang hari.
Dia mulai mengenakan baju pekerja proyek berwarna kuning dan bertopi caping, setiap berpergian. Di bagian belakang sepedanya pun, mulai dipasang karung goni yang mirip dengan petugas pengantar surat. “Hendro, Mbah mau berdinas ya,” katanya sembari menekan bel sepedanya yang berbunyi melengking itu dan melambaikan tangannya.
Jadwal Mbah Min terhitung mulai padat, pagi mengurus areal pemakaman dan mengumpulkan rumput, kemudian siang hari dia berkeliling kampung, sore hari baru pulang. Semenjak dia memiliki kebiasaan baru, saya pun tidak setiap hari bermain ke rumahnya tapi dengan bertemu saat dirinya melewati rumah sudah menjadi hiburan tersendiri dan untuk terus mengingat kata-katanya “Manusia boleh berbuat jahat kepada alam, tapi alam tidak akan segan-segan membalasnya lebih kejam lagi,”.
Sekali waktu saya datang ke rumah Mbah Min selepas pulang sekolah, seperti biasanya Ibu melarang saya bermain ke rumahnya. Tapi saya tetap saja curi-curi gerakan untuk sekadar mengunjungi si Mbah yang selalu menyanyikan lirik-lirik tentang alam itu.
Di ruangan berukuran 3 x 4 meter itu ada dipan alakadarnya yang dipastikan karya Mbah Min dengan memanfaatkan kayu bekas orang yang membangun rumah. Di pojok kiri ada tungku dari batu bata yang warnanya sudah menghitam dan di atasnya ada ceret yang digantung dengan disangga besi berwarna hitam karena terkena nyala api. Di atas dipan kayu itu, terlihat karung yang terlihat dari luar seperti benda tajam yang ujungnya muncul di atas permukaan karung plastik itu. Sedangkan si Mbah sendiri tidak terlihat, saya pun duduk-duduk di atas kursi kayu yang mirip dengan bangku di sekolahanku. Namun kursi yang satu ini berbeda dengan kursi di sekolah karena sudah reyot hingga ketika duduk saya pun harus sedikit hati-hati. Tidak lama kemudian muncul si Mbah dari balik pintu dan dia kaget ketika melihat saya. “Eh ada kamu Nak?” katanya. “Mbah habis dari mana?” kataku dan ia menjawab bahwa dirinya usai dari langgar di sebelah rumahku menunaikan Shalat Ashar.
Kemudian ia pun menunjukkan kepada saya dan mengajak untuk menerka benda apa yang ada di dalam karung plastik itu, saya pun menggelengkan kepala karena tidak tahu isinya apa. “Nah ini hasil karya Mbah selama satu bulan bekerja, pasti kamu ndak tahu kan,” katanya. Dia pun langsung membuka ikatan tali dan membalikkan karung itu ke lantai yang beralaskan tanah, dan terlihat paku baik berukuran besar maupun kecil serta ada yang terlihat masih baru dan ada pula yang sudah menghitam karena dimakan usia. “Ini pekerjaan manusia, seenaknya memaku pohonku, tentunya dia menangis,” katanya bersungut kesal. “Mbah, mencabuti paku-paku itu?,” kataku. Si Mbah pun menganggukkan kepala. “Nak, kamu jangan seperti mereka itu yang mengaku-ngaku bertuhan namun kelakuannya tidak menghargai alam. Mereka serakah dan menganggap semua yang ada di lingkungannya itu bebas untuk diperlakukan semaunya. Padahal di Al-Quran sudah menyebutkan soal alam,” ungkapnya kembali.
Siang itu, selepas pulang sekolah, tiba-tiba ibu menyuruh aku untuk mengantarkan makanan dalam rantang berwarna hijau ke rumah si Mbah dan saya pun bertanya-tanya dan penasaran sikap ibu jadi berubah dengan meminta aku ke rumah si Mbah. “Dro, kamu antarkan ini makanan ke rumah si Mbah,” kata ibu. “Kenapa Bu?, si Mbah sakit atau apa?,” kataku. Ibu menjelaskan bahwa si Mbah sakit parah dan badannya luka-luka katanya dikeroyok oleh sejumlah pemuda di kampung seberang pada siang kemarin. Seharusnya dia dirawat di rumah sakit namun dia menolaknya karena tidak mau menyusahkan tetangganya. Si Mbah pun pulang diantarkan petugas kecamatan dan polisi, keadaannya sudah memprihatinkan terlebih lagi dengan usia si Mbah yang hampir mendekati 60 tahun.
Ibu menyebutkan dari petugas kecamatan bahwa si Mbah ngamuk-ngamuk saat ada sejumlah pemuda yang tengah memasang spanduk salah satu partai besar dengan memancangkan di antara pepohonan di jalan desa. Namun pemuda itu, memaku pohon untuk mengencangkan ikatan tali spanduk itu dan saat bersamaan si Mbah melintas dengan menggunakan sepeda onthel kesayangannya dan dia pun mencoba menasehati pemuda yang memakai seragam kepemudaan partai tersebut untuk melukai pohon tersebut.
Entah pemuda itu habis menenggak minuman keras, mereka tidak mau terima dan ngotot bahwa mereka tidak bersalah dan mengejek si Mbah yang sudah tua tapi masih sok menjadi pahlawan lingkungan hidup.
Si Mbah pun naik pitam dan sekonyong-konyong lengannya reflek menampar salah seorang pemuda itu, dan si pemuda itu membalasnya dan rekan-rekannya yang lainnya ikut mengeroyok si Mbah dan salah seorang dari mereka tega membacok si Mbah di kepalanya. “Pemuda itu diamankan oleh petugas kepolisian, tapi kalau ibu tidak salah mendengar tidak lama kemudian pemuda yang diamankan itu, dibebaskan kembali berkat adanya jaminan dari salah seorang pimpinan partai di kota kabupaten,” kata Ibu.
Aku pun penasaran dan langsung bergegas menuju ke rumahnya, dan benar saja kondisi Si Mbah dalam keadaan yang memprihatinkan. Dia tergolek lemah di atas dipannya yang tidak berkasur. Saat itu dia tengah terlelap dan dari wajahnya terlihat lebam-lebam serta perban putih melingkari kepalanya.
Saya pun langsung meletakkan rantang makanan di atas meja di dekat dipan, mungkin karena saya kurang hati-hati tutup rantang terjatuh dan sempat mengenai dipan hingga membangunkan si Mbah.
Dia mencoba bangkit namun tersungkur kembali dan nafasnya sedikit terengah-engah dan mulutnya merintih menahan rasa sakit apalagi di bagian bibirnya terluka setelah terkena pukulan dari para pemuda yang tidak bertanggung jawab itu.
Aku pun mencoba menenangkan si Mbah dengan mengusap-ngusap bagian lengannya. Dengan berkata lirih kepadaku si Mbah menyatakan inilah pekerjaan dari manusia sombong yang sudah tidak menghargai alam.
Aku pun mengambil air dari ceret dan menuangkan ke dalam gelas untuk diminumkan ke si Mbah agar si Mbah tenang. Sekitar satu minggu kemudian, kondisi si Mbah sudah membaik kembali dan tidak kembali menjalankan aktivitasnya dengan “berdinas” patroli menggunakan sepeda onthelnya menelusuri jalan desa melihat-lihat kondisi pohon yang ada. Jika ada paku oleh si Mbah dicabutnya dan dimasukkan ke dalam karung yang ada di belakang sepedanya itu.
Tepatnya dua minggu setelah kejadian yang menimpa si Mbah, pada tengah malam, aku terjaga dari tidur ketika mendengar teriakan-teriakan dari banyak orang dan mereka berkata “bakar… bakar… bakar saja rumahnya,” yang disambut dengan teriakan “dasar tukang teluh”, tukang teluh harus dikirim ke neraka.
Aku pun mencoba mengintip dari balik jendela di kamarku yang kebetulan menghadap ke arah sebelah rumahku itu dan terlihat nyala lampu obor yang dibawa oleh banyak orang. Tanpa diduga langsung api membumbung ke langit dari rumah itu, aku pun langsung berlari ke kamar ibu dan ternyata ibu pun tengah mengintip dari balik pintu ruang tamu.
Ketika aku hendak ke luar rumah, Ibu melarang termasuk kakakku Yu Tini mencegah aku ke luar. “Nak, kamu jangan ke luar,” kata ibu sembari menahan tubuhku yang meronta-ronta karena tahu mereka hendak menghakimi si Mbah.
Memang di rumah hanya ada aku, ibu dan Yu Tini, sedangkan ayah sudah hampir 10 tahun lalu tidak tahu keberadaannya, dan ibu selalu menutup-nutupi keberadaan ayah, tapi yang jelas dari omongan Pak De, bahwa ayah ditahan di salah satu penjara kota kabupaten karena dianggap sebagai anggota partai terlarang.
Teriakan itu semakin kencang, “Cari si Mbah Min, cincang dia, dasar tukang teluh, umpatan itu terdengar kencang yang disambut dengan teriakan “anj*ng” oleh orang banyak itu. Dari belakang rumah terdengar ada orang yang mengetuk-ngetuk pintu dengan keras, aku pun terperanjat dan ibu mencoba mencari tahu orang yang mengetuk-ngetuk pintu itu dengan bergegas menuju ke belakang rumah yang diikuti oleh Yu Tini.
Sedangkan aku oleh ibu disuruh untuk diam di ruang tamu karena ibu khawatir akan terjadi sesuatu hal yang akan menimpaku. Tapi yang jelas hanya terdengar permintaan tolong dari orang yang mengetuk pintu itu, dan ibu terdengar suara ibu yang meminta orang itu untuk memelankan suaranya. “Tolong bu, tolong bu,” kata orang itu. “Sudah Mbah cepat masuk,” suara ibu.
Tidak lama kemudian terdengar suara derit pintu tertutup secara pelan-pelan dan sunyi senyap dari ruang belakang rumah. Ibu pun yang diikuti Yu Tini kembali ke ruang tamu, dan mencoba mengintip kembali dan terlihat massa mulai berkurang. Namun dari samping rumah terdengar orang yang berbincang-bincang mencari si Mbah. Ibu pun menyuruh aku untuk tidak berbicara dengan memberikan tanda jari telunjuk ke depan mulut.
Kumandang adzan Subuh dari langgar mulai terdengar yang disusul dengan kokokan ayam jantan, dan suasana di depan rumah sudah sepi tapi yang tersisanya hanya asap hitam yang membumbung ke langit. Aku pun tertidur dan tidak berani menanyakan siapa orang yang minta semalam namun aku memperkirakan itu si Mbah. Pada pagi harinya aku mencoba bertanya kepada ibu, siapa yang mengetuk-ngetuk pintu semalam, dan ibu menjelaskan bahwa itu si Mbah yang meminta tolong karena diburu oleh warga kampung seberang mereka membuat fitnah bahwa si Mbah adalah tukang teluh.
Tuduhan tukang teluh itu karena pekerjaan si Mbah yang mengumpulkan paku-paku yang menancap di pepohonan dan dianggap akan digunakan untuk teluh.
Konon mereka melemparkan fitnah itu, tidak lain dari pemuda yang masih marah ke si Mbah pasca kejadian itu, bahkan salah satu di antaranya sempat berurusan dengan pihak kepolisian setempat.
Yang jelas, saat aku bangun setelah kejadian itu, aku tidak pernah bertemu lagi dengan si Mbah dan ibu selalu berkata jika si Mbah sudah diungsikan ke rumah saudaranya di luar kota.
Dua puluh tahun kemudian, aku sudah tinggal di ibukota bekerja sebagai pegawai negeri sipil di instansi pemerintah yang bergerak di bidang lingkungan hidup selepas menamatkan kuliah di perguruan tinggi di Yogyakarta.
Karena pekerjaanku yang cukup padat, aku bisa dikatakan hampir jarang pulang ke kampung halaman. Paling-paling Ibu yang menengok aku dan cucunya di ibukota. Sedangkan kakakku Yu Tini, sudah menikah dengan pegawai kantor kecamatan dan sudah memiliki tiga orang anak.
Ibu tinggal di rumah ditemani dengan cucu dari Pak De ku, ayah sendiri sudah meninggal sejak 10 tahun lalu selepas bebas dari penjara dan namanya sudah direhabilitasi bahwa bukan anggota partai terlarang atau menjadi korban salah tangkap orang.
Suatu hari, aku mendapatkan telepon interlokal dari ibu yang menyebutkan bahwa Mbah Min sudah meninggal dan berwasiat untuk memberikan bibit pohon mahoni dan secarik surat. “Kamu masih ingatkan Mbah Min, dia sudah meninggal karena sakit tua pada,” kata ibu. Ibu melanjutkan pembicaraan bahwa dirinya mendapatkan informasi itu dari saudaranya di luar kota. “Kemarin saudaranya datang ke rumah untuk memberikan surat wasiat dan bibit pohon” kata ibuku lagi.
Penasaranku semakin bertambah dan meminta ibu untuk membacakan surat wasiat itu, ibu membacakan inti dari surat wasiat itu bahwa si Mbah memintaku untuk menanam bibit pohon itu di lingkungan rumah agar lingkungan tetap terjaga.
Di akhir suratnya, Mbah memberikan nasehat yang sampai sekarang selalu ku ingat. “Manusia boleh berbuat jahat kepada alam, tapi alam tidak akan segan-segan membalasnya lebih kejam lagi.”
Bekasi, 23 Maret 2012 Riza Fahriza Penikmat Sastra
Cerpen Karangan: Riza Fahriza Facebook: fahriza03[-at-]yahoo.com