Selesai salat Jumat, aku kembali menuju sekolah. Di sekolah memang tidak ada masjid, hanya musala saja. Tapi, bagiku semuanya sama. Soal tempat tidak penting, yang terpenting adalah keadaan kita menghadap Allah.
Ponselku berdering beberapa kali. Ada sebuah panggilan masuk dari Putu, temanku yang satu itu memang bukan seorang muslim, tapi ia selalu menghargai ibadahku bahkan kami sering mengingatkan satu sama lain. Siapa pun berhak memeluk agama sesuai dengan keyakinan hatinya bukan? Tidak ada satu pun agama yang mengajarkan kejahatan. Aku yakin semua agama baik. Tergantung manusianya sendiri.
“Iya Put, aku lagi jalan mau ke sekolah. Baru juga selesai salat. Emang udah ada guru?” tanyaku setengah berlari menuju sekolah yang berjarak 200 meter dari masjid. Memang cukup dekat namun tetap saja membuatku berkeringat. “Iya, buru Dam. Nggak tahu nih, Bu Yolanda datengnya cepet banget!” ujar Putu dengan diikuti suara riuh siswa-siswi yang masuk kelas. “Ya udah, saya bentar lagi nyampe. Kamu duluan saja Put!” sahutku. Bertepatan dengan itu, aku segera menutup ponsel dan menyebrang. Bruk!! Sesuatu menabrakku. Sebuah sepeda jatuh tepat di depanku. Aku segera membangunkan sepeda sekaligus pemilik sepedanya. Untungnya kakiku hanya lecet dan baik-baik saja. Aku menepuk celana putih abu-abu yang nampak kotor. “Sori, sori!” ucap gadis yang menabrakku itu dengan spontan. Wajahnya cerah, matanya indah dan bersinar. Ia menundukkan setengah tubuhnya memohon maaf. Aku bingung dan berusaha membuatnya tenang. “Iya gak papa. Lain kali hati-hati, Mbak!” sahutku mencoba tenang. Beberapa kali aku menepuk-nepuk celana panjangku yang kotor karena roda sepeda yang tampak berdebu dan kotor, mungkin ia memakainya di pasar. “Sekali lagi maaf Mas. Saya tanggungjawab kok. Mas pulang sekolah jam berapa?” tanyanya kemudian. Aku tidak bisa menolak ucapannya apalagi aku sedang terburu-buru masuk kelas. Aku meliriknya sebentar kemudian melanjutkan lariku. “Jam empat” sahutku sambil berlari walaupun dengan kaki terpincang-pincang. Aku tak lagi memerhatikannya. Aku fokus menatap jalan dan masuk kelas. Bu Yolanda dan teman-teman menungguku. Suara teriakannya samar-samar. Namun, aku yakin pendengaranku tidak salah. Kalau jam empat sore nanti dia akan menungguku pulang sekolah.
Entah apa yang membuatku merasa gugup. Jantungku berdetak lebih cepat, peluh menetes deras. Ya, gadis bermata indah itu sudah menungguku di halte sekolah. Aku duduk tepat di sebelahnya. Sangat dekat. “Namaku Elina, kamu?” gadis itu masih setia dalam sebuah senyum manis. Subhanallah. Dia amat cute dengan lesung pipi cekungnya. Matanya yang indah seakan terus membawaku ke dalam dunia yang lain. Seakan-akan dia menghipnotisku, namun aku masih sadar. Wajah cute dan mata indah nan teduh itu membuatku aman untuk detik-detik ini. “Adam!” aku menjabat tangannya. “Maaf ya soal tadi siang. Aku buru-buru. Soalnya aku khawatir sama keadaan Kakek di rumah” ujarnya lemah. Ia tak bersemangat seperti sebelumnya. “Kakek kamu kenapa?” tanyaku serius. Ia hanya tersenyum. Beberapa menit kami dalam diam. Aku tidak biasa mengobrol dengan orang asing, terlebih ia seorang perempuan. Entah apa yang membuat pribadiku tidak seberani ini. Padahal, aku sebagai ketua OSIS terbiasa bicara di depan orang banyak. Tapi, berbeda dengan situasiku saat ini, aku masih tidak tahu apa sebabnya. “Oh iya, janji saya waktu tadi siang, kan, mau tanggungjawab. Saya traktir kamu makan deh, yang penting kamu maafin saya!” ucapnya ramah. Ramah seperti beberapa waktu ketika dia menabrakku dengan sepedanya. “Nggak usah, saya nggak apa-apa kok.” “Rezeki nggak boleh ditolak, loh. Kamu nggak sibuk kan? Ikut saya yuk!” Elina begitu antusias. Mata indahnya berhasil membuatku menuruti kata-katanya. Ya, kali ini dia sedang menghipnotisku dalam keadaan sadar. Genius! “Naik sepeda?” tanyaku memastikan. Ia mengangguk. “Saya nggak bisa nyetir sepeda” ujarku terbata-bata. Sungguh. Memalukan. “Yaudah, kamu duduk di belakang” tegasnya. Aku menurut saja. Wanita berambut kemerahan sebahu itu tampak semangat mengayuh sepedanya. Sebenarnya aku tidak tega melihat ia sengotot itu membawaku di kursi boncengannya. Namun, aku masih dalam hypno-nya. Rasanya nyaman di dekatnya.
Kami sudah tiba di sebuah kedai wedang jahe. Cuaca kota Jogja sore ini memang cukup dingin. Tidak ada salahnya aku memesan secangkir wedang jahe hangat. Elina duduk tepat di hadapanku. Bibir merah mudanya masih dalam senyum lebar. “Sori, aku cuma bisa traktir ini. Kamu suka wedang jahe, kan?” tanyanya kemudian. Tatapannya tidak beranjak dariku sedikit pun. Aku gugup. “Saya baru pertama kali minum wedang jahe” sahutku jujur. Aku memang tidak suka pedas, juga orangtuaku memang tidak membiasakanku dengan makanan atau minuman pedas. Nyaris semua menu di rumah adalah manis dan asam, tidak ada pedas. Sejak kecil aku tidak suka pedas. Hingga sekarang, mungkin. “Baru pertama kali? Kamu bukan orang Jogja asli ya?” tanyanya lagi. Aku hanya tersenyum. Ia pun membalas senyumku. “Wedang jahe enak loh, ada manis, ada pedas dan hangat di tenggorokan. Pasti kamu suka!” ia meyakinkanku. Aku kembali tersenyum. Elina memberi segelas wedang jahe milikku. Ia meneguk miliknya. Minuman yang aneh dan membuat kerongkonganku perih. Pedas!
Ternyata ucapannya salah. Justru aku kepedasan karena wedang jahe. Aku tidak menyukainya. Elina terus-terusan mengejekku di perjalanan. Ia masih mengayuh sepeda tanpa lelah. Hingga tak terasa adzan Maghrib sudah berkumandang. “Kamu lucu Dam. Masa segitu aja kepedasan! Oh ya, rumah kamu dimana? Aku antar ya!” ujar Elina masih menyetir sepeda mininya. Sesekali ia menoleh ke arahku. Ia masih tersenyum tanpa menurunkan semangat sesore itu. “Rumahku jauh, sekitar 2 kilo dari sini!” jawabku. “Itu sih deket, Dam. Aku udah biasa bersepeda lebih dari 20 kilo setiap hari. Santai aja. Aku antar ya?” tegasnya. Gadis periang itu masih kuat memboncengku.
“Kita berhenti dulu ya. Ini waktunya Maghrib. Kamu salat?” tanyaku. Tanpa sepatah kata yang keluar dari mulutnya. Ia hanya menunjukkan kalung salib yang sejak tadi tidak kuperhatikan. “Oh, maaf Lin. Yaudah, aku salat dulu ya. 15 menit, nggak apa-apa, kan?” tanyaku untuk kedua kalinya. Dia mengangguk sambil diikuti senyum yang merekah. Senyum itu tidak putus darinya.
Selesai salat maghrib, kami melanjutkan perjalanan. Aku tidak terlalu banyak bicara, hanya Elina yang bercerita banyak tentang sebagian sejarah kota Jogja. Kota Jogja yang terkenal dengan kesultanan dan keningratannya, kota Jogja yang pernah menjadi ibukota sementara Indonesia dan kota Jogja sebagai kota wisata yang terkenal dengan adat-istiadat yang kental sekaligus dengan orang-orangnya yang ramah. “Kakekku seorang Veteran. Tapi, jasanya nggak dianggap sama negara. Kakek yang sakit-sakitan nggak pernah dapet sumbangan atau apapun. Saya sih nggak terlalu banyak berharap supaya kakek diberi materil, tapi cukup pengakuan atau dedikasi, nggak sama sekali! Bukannya negara besar adalah negara yang menghargai jasa pahlawannya? Tapi, boro-boro!” ujar Elina. Sedari tadi aku hanya menjadi pendengar yang baik dan kurasa aku pun harus tetap menjadi pendengar yang baik. “Oh ya, rumah kamu dimana?” tanya Elina tiba-tiba. Aku jadi ingat sesuatu. Kenapa aku bisa lupa rumahku sendiri? Akhirnya aku tersadar. “Kelewat Lin, rumah yang hijau, tuh!” aku langsung turun dari boncengan Elina. Elina mendorong sepedanya hingga masuk ke halaman rumahku. Aku baru dua tahun tinggal di Jogja. Tidak semua lingkungan Jogja aku ketahui. Dan, sejak aku mengenal Elina. Ia seperti pemandu wisata yang sangat tahu tentang Jogja. Ia membuatku sadar, betapa hebatnya kota bersejarah ini. “Masuk Lin!” ujarku. Elina melangkah masuk dan langsung menjabat tangan Bunda dan Ayah yang sedang mengobrol di ruang tamu. “Yah, Bun. Ini Elina. Lin, saya mandi dulu, ya!” ujarku sembari meninggalkan ketiganya mengobrol-ngobrol.
Dua puluh menit. Aku selesai mandi sekaligus selesai salat Isya. Waktu yang cukup lama meninggalkan Elina dengan kedua orangtuaku. Aku tidak khawatir, Elina sebagai gadis yang periang dan supel pasti cepat akrab dengan ayah dan bundaku. “Saya tinggal berdua dengan kakek, Bu, Pak” aku mendengar sekilas percakapan Elina dengan Bunda dan Ayah. Aku langsung duduk di sebelah Ayah. “Ngobrolin apa sih, kayaknya seru gitu?” tanyaku sekedar basa-basi. Elina begitu cepat akrab dengan kedua orangtuaku. Ada sebuah nilai lebih untuknya. Ya, gadis itu memang unik dan sangat ramah. Wajar saja cepat akrab. Tok, tok. Suara pintu diketuk. Afifah, adikku masuk rumah. Menyalami Bunda, Ayah, aku dan Elina. Ia biasa mengaji di mushala dekat komplek. Elina tidak merasa terganggu dengan keluargaku yang lumayan agamis. “Ini Afifah, adiknya Adam” ujar Bunda ramah. “Hai sayang, aku Elina” ujar Elina sembari mengusap jilbab Afifah. Afifah mencium punggung tangan Elina. Aku, ayah dan bunda hanya diam dan memerhatikan sikap ramah Elina pada Afifah. Wanita sederhana itu begitu menarik dan membuatku kagum padanya. Namun, ada rasa lain di dalam kekagumanku. “Mas Adam pertama kali bawa temen perempuan ke rumah, loh, pasti Mbak Elina pacarnya Mas Adam ya?” ujar Afifah spontan. Gadis berusia 8 tahun itu memang selalu bicara seenaknya. Elina hanya tersenyum ramah menanggapinya. “Ngaco kamu, Mbak Elina ini teman Mas!” ralatku. Bunda dan Ayah hanya tersenyum. Aku dan Elina keluar rumah, Elina tidak perlu diantar, ia sudah tahu betul jalanan Jogja. Lagipula ia sudah terbiasa dengan udara Jogja yang dingin di malam hari, begitu katanya. Sepeda mini putih itu sudah menjauh, begitu pula punggung kecil Elina. Ia tak nampak lagi, lampu-lampu temaram memakan bayangan Elina dengan sepedanya.
Aku kembali masuk rumah yang dua tahun belakang menjadi rumah dengan berjuta-juta sejarah. Dulu, kami sekeluarga tinggal di Sleman dan karena Ayah dimutasi ke Jogja, akhirnya kami sekeluarga pindah di kota cantik yang sering disebut spirit van Java ini. Baru aku masuk, Bunda dan Ayah menatapku aneh. Afifah menunduk. “Kamu nggak pacaran sama Elina, kan?” tanya Bunda tiba-tiba. Aku mengeryit. “Maksud Bunda?” tanyaku bingung. “Dia bukan Muslim, Dam” tambah Ayah. Aku mengerti sekarang. Afifah menatap kami bertiga bingung. “Dede, masuk kamar ya, udah malam. Tidur!” ujar Ayah menyuruh Afifah keluar dari obrolan kami. Afifah menurut. Setelah Afifah benar-benar masuk kamar, kami melanjutkan obrolan. “Bun, Yah, aku sama Elina cuma teman. Kenapa curiga gitu sih? Ayah kenal Putu, kan? Dia juga bukan Muslim, Ayah nggak pernah larang aku bersahabat dengan dia, kan?” ujarku menjelaskan. Bunda tersenyum, tapi tidak untuk Ayah. “Putu laki-laki. Elina? Dia perempuan, cantik, ceria sekaligus ramah. Gimana kalau kamu tiba-tiba suka sama dia?” ujar ayah dengan dengan penekanan. “Nggak Yah, aku tahu kok, Yah” ujarku menenangkan kedua sosok yang aku sayang itu. Bunda tersenyum. Dua orangtua itu terlalu mengkhawatirkanku. “Bunda percaya sama Adam” ujar bunda kemudian. Aku tersenyum begitu pula ayah yang selalu keras namun perhatian.
Aku turun dari bus Trans-Jogja, beberapa siswa yang satu SMA denganku pun berhamburan keluar dari bus. Semua mempercepat langkah tak ingin terlambat masuk kelas. Begitu pula aku. Baru saja aku melangkahkan kaki di halte bus, Putu menghampiriku. Tumben sekali ia tidak menggunakan motor. “Tumben nggak bawa motor, kemana motor kamu Put?” tanyaku sekaligus beriringan masuk sekolah dengannya. “Bengkel, Dam. Siang, kamu anterin aku ambil motor, ya. Nanti saya antar pulang!” ujar Putu sembari merangkulku. Badannya yang tinggi memang mudah merangkulku, tidak untukku. Aku sulit merangkul sahabatku itu. Kami sudah masuk koridor-koridor kelas. Beberapa teman kelas serobotan masuk kelas. Alasan yang sejalan denganku dan Putu. “Yaelah, kayak sama siapa aja. Iya, saya antar!” tegasku. “Put, Bu Yolanda!” teriakku mendapati guru killer itu masuk kelasku. Aku dan Putu langsung berlari cepat.
Bel sekolah berbunyi. Hari Sabtu adalah hari weekend, sekolahku dibubarkan jam 11. Sesuai janjiku dengan Putu, aku mengantarnya ke bengkel. Sayangnya, motornya belum selesai dibereskan. Sembari menunggu, aku menuju musala terdekat dan salat dzuhur meninggalkan Putu yang setia menunggu di bengkel. Kulirik arlojiku. 12.10. Segera kutemui Putu. Di bengkel sudah tidak ada Putu. Kemana dia? Kenapa dia meninggalkanku? Ya, ampun. Putu Wijaya: Sy tunggu kmu di rmhku. Dket kok dari situ. Jl Semeru no.3. Sahabatku yang satu itu memang hobi mengerjaiku. Aku memang pernah datang ke rumah Putu, tapi aku tidak tahu rumahnya kali ini. Putu punya dua rumah yang letaknya beda. Dan, aku harus mendatangi rumahnya yang tidak kuketahui.
Jalan Semeru. Sebuah papan jalan kubaca. Namun, pandanganku terhenti. Bukan pada Putu atau rumahnya yang mewah. Tapi, pada seorang gadis yang sabtu kemarin kukenal. Elina sedang mendorong kursi roda, mungkin itu kakeknya yang pernah ia ceritakan akhir pekan kemarin. Tepat seminggu pertemuanku dengannya. Ini kedua kalinya aku bertemu dengan Elina lagi. “Elina” panggilku. Benar, dia Elina, dia menoleh ke arahku. “Hai, Dam. Kok bisa sampai sini. Oh ya, kenalkan, ini kakekku!” ujarnya ramah. Elina terlihat murung, tidak seperti pertama kali kutemui. “Halo, kek. Saya, Adam” ujarku ramah, aku menjabat tangannya yang lemas, keriput dimana-mana. Pria yang usianya lebih dari tiga perempat abad itu tersenyum padaku. Deretan giginya yang ompong terlihat jelas. “Dam!” seseorang memanggilku. Suara Putu. “Lin, saya duluan ya. Kek, saya pamit” ujarku sembari berlari menemui Putu. Rumah khas Jogja tepat di hadapanku. Putu disana. Tidak seramai dengan rumahnya yang di belakang Malioboro. Justru rumah ini sangat jauh dari ramai. Putu duduk di sebelah seorang lelaki tua yang usianya mungkin sebaya dengan kakek Elina. “Dam, kenalin. Kakek saya!” ujar Putu. Tapi, ada sebuah kejanggalan. Putu pernah bilang kalau dia tidak punya kakek atau nenek, kedua kakek dan satu orang neneknya sudah meninggal dunia. Dan, satu neneknya tinggal di Singaraja, Bali. Ini? “Kek, saya Adam” ujarku ramah. Aku melirik Putu, meminta penjelasan. “Ini Kakek Yusuf, yang pernah menolong saya. Beliau tidak punya isteri atau anak, sebagai Veteran, dia juga tidak dilihat pemerintah, makanya saya menjaga dia. Setiap tiga kali seminggu saya datang menengok kakek Yusuf!” ujar Putu. Subhanallah. Sahabatku yang kadang menyebalkan itu ternyata hebat. Banyak pelajaran yang bisa aku ambil dari Putu juga dari beberapa muda-mudi yang menjaga dan memerhatikan orang-orang Veteran di tempat ini.
Setiap hari selasa, kamis dan sabtu aku selalu mengantar Putu menjenguk kakek Yusuf. Dan, tiga hari dalam seminggu itu pula aku menemui Elina. Bertanya banyak tentang beberapa Veteran yang tinggal disana. Sekaligus mengakrabkan diri dengan Veteran dan Elina tentunya.
Entah mengapa rasa kagum pada gadis itu muncul. Elina memang dua tahun lebih tua dariku. Ia kuliah sekaligus kerja sebagai guru les Matematika. Dengan uang yang ia dapat, ia selalu memberikan sebagian untuk Veteran yang ada di desa itu, dan sisanya untuk menabung dan biaya makan sehari-hari. Sebagai gadis yang cerdas ia mendapat beasiswa full untuk kuliahnya. Bukan hanya Putu, Elina pun memberikan pelajaran yang berharga bagiku. Mereka hebat!
Seperti Putu, Elina pun bukan cucu kandung kakeknya. Elina tidak tahu siapa orangtuanya. Sejak bayi, Elina tinggal di panti asuhan dan ketika berusia 4 tahun, ia dirawat oleh kakeknya dengan kasih sayang yang berlimpah. Oleh karena itu pula, ia sangat sayang pada kakeknya sekaligus menjadi gadis yang tegar dan hebat.
Elina dan Putu memberi banyak pelajaran untukku. Semakin sering aku mengunjungi desa Veteran ini, aku pun menjadi bertambah kagum pada keduanya. Namun, rasa kagum pada Elina berbeda. Rasa yang selama ini orangtuaku takutkan. Begitu pula aku, aku sangat takut ini terjadi.
Putu sudah menghilang dengan sepeda motornya. Sedangkan Elina mengantarku pulang. Gadis itu mengayuh sepedanya dengan ceria. Jiwa yang kelihatannya kuat itu ternyata sangat rapuh. Ya, sangat sangat rapuh. “Elina” ujarku dengan nada rendah. Ternyata dia mendengarnya. “Iya, Dam. Kenapa?” sahutnya. Ia menoleh sekilas, kemudian kembali pada jalanan yang ia lewati. Laju sepedanya tidak terlalu cepat, mungkin ia sengaja memperlambat karena memberi kesempatan untukku berbicara. Semilir angin malam masuk ke kaus tipisku. Aku selalu membawa ganti kalau datang ke desa ini, sekaligus tidak ingin mengotori seragam sekolahku. Setidaknya aku mengurangi beban bunda yang selalu mencuci pakaianku. “Saya kagum sama kamu” ujarku kemudian. Ia terdiam, kemudian menjawab. “Saya juga kagum sama kamu” ujarnya. “Kamu bersedia bantu saya sama Putu. Padahal kamu, kan, nggak mengenal mereka. Kalau aku tidak dirawat oleh kakek waktu kecil, mungkin aku tidak akan merawat Veteran sampai sekarang. Mungkin Putu pun demikian, sebagai pembalasan budi saja, lah” lanjutnya menjelaskan. Aku terdiam. Bukan tentang yang dijelaskan Elina. Tapi, tentang perasaanku padanya. Tentang rasa yang terlarang. Tentang rasa yang selama ini aku takutkan. “Saya suka sama kamu, Lin” ujarku memberanikan diri. Tiba-tiba saja ia menepikan sepedanya. Aku tahu, kata-kataku salah. Aku dan dia sama-sama terdiam beberapa menit. Aku menunduk. Kuperhatikan ia menghela napas lelah, kemudian mengayuh sepedanya lagi. “Mana boleh kamu suka sama saya Dam. Kamu ada-ada saja!” ujarnya. Ia kembali mengayuh sepeda dengan lambat. Aku tidak berkata sepatah kata pun, kurasa dia pun demikian. Kami dalam kecanggungan.
Elina selesai mengantarku. Aku turun. Tanpa pamit Elina langsung pergi. Tidak seperti biasanya yang ia secuek itu padaku. Aku sadar, aku salah. Salah dan sangat salah. Hari ini hari Selasa. Berarti, aku dan Putu harus menengok desa Veteran. Namun, apa aku siap bertemu dengan Elina? Kurasa tidak. Aku sudah bilang pada kedua orangtuaku kalau setiap selasa, kamis dan sabtu aku selalu mendatangi desa Veteran, ayah dan bunda sangat mengizinkan. Tidak butuh waktu tiga puluh menit, kami sampai di Jalan Semeru. Tempat dimana Veteran tinggal. Elina seperti menjauhiku. Itu lebih baik. Beberapa kali aku mencoba mengajaknya bicara, namun ia tetap menjauhiku. Ia hanya membuka diri dengan Veteran juga Putu. Hanya Putu yang ia ajak berbicara sekaligus bercanda. Menyesakkan.
Keesokan harinya, aku turun dari bus. Aku masuk gerbang sekolah. Sebagai ketua OSIS aku memang harus mencontohkan sikap yang benar. Aku memang tidak pernah telat masuk sekolah. Itu salah satu contoh sikap baikku, entah yang lainnya. Yang menilai diriku bukan aku, tapi oranglain. Seseorang menepuk pundakku. Putu. Ya, siapa lagi? “Kemarin kamu nggak pulang diantar Elina?” tanya Putu tiba-tiba. Aku menggeleng. Ia melipat kedua tangannya di dada. “Kemarin naik becak, kenapa gitu?” sahutku santai. Putu tidak menjawab, ia hanya mengerlingkan mata jahilnya pada beberapa siswa perempuan yang melintas. Aku bingung, pria tampan satu itu memiliki jiwa sosial yang sangat tinggi, namun untuk soal percintaan ia selalu main-main, setidaknya tidak seperti dulu-dulu yang punya banyak pacar. Sekarang ia hanya punya tiga orang pacar, entah sebelumnya. Tiga orang pacar? Mana bisa. “Sekarang pelajaran Bu Yolanda bukan sih, Dam?” tanya Putu sambil mencari-cari sesuatu dari tasnya. Aku hanya menjawab dengan dehaman. “Yah, Dam. Buku tulis Fisika saya nggak tahu kemana, bisa-bisa dihukum nih!” gerutu Putu. “Yaelah, Put. Buku tulis Fisika, kan, dikumpulin. Ada-ada saja kamu!” sahutku sambil cekikikan melihat wajah Putu yang sudah cemas. Putu memang langganan hukuman. “Astaga! Iya, ya. Saya sampai lupa, mungkin karena sering dapat hukuman, jadi gini deh” Putu menyengir. Tiba-tiba ia mengambil sebuah amplop berwarna biru muda dari tasnya. “Oh ya, Dam. Saya baru inget, Elina nitip ini!” Putu memberiku amplop itu. Tertulis, Buat Adam, dari Elina Selena. Aku tidak berkata apa-apa. Aku langsung menerimanya dan berlalu. Bolehlah aku telat masuk kelas, lagipula pelajaran pertama bukan pelajaran si guru killer, Bu Yolanda. Aku berlari menuju toilet, meninggalkan Putu yang sibuk memasukkan buku-buku yang tadi ia keluarkan ketika mengecek buku tulis Fisika.
Pertama aku melihatmu, wajahmu bersinar.. Kedua kali aku melihatmu, wajahmu masih bersinar.. Ketiga kali aku melihatmu, wajahmu tetap dalam sinar keindahan.. Keempat kali dan selanjutnya, melihatmu membuatku candu.. Kamu tahu, aku pun tahu.. Ini bukan tentang cinta yang harus diperjuangkan.. Ini tentang hal yang tidak bisa terpautkan.. Kita tidak bisa menyatu.. Aku mengagumimu sebagai Adam yang Tuhan cipta.. Kadang aku bertanya-tanya, mengapa kita dalam beda? Mengapa kita tidak bisa mendapat cinta yang sempurna seperti lainnya? Ahh.. Pertanyaan bodoh!! Tetaplah dalam sinarmu.. Seperti yang kamu tahu, Adam milik Hawa Kumbang milik Bunga Romeo milik Juliet Aku tidak akan menjadi milikmu Karena, Tuhan telah menciptakan seseorang untukmu, disana.. Tetap dalam tasbihmu, memuja Tuhan-Mu Dan aku akan setia dalam Rosarioku..
Aku melipat kembali kertas itu, memasukkannya ke dalam amplop. Aku harus kembali ke kelas. Kelas XI IPA 3. Kelas yang akan membuatku melupakan segala tentang Elina dan segala perbedaan kami. Bukan cinta yang harus diperjuangkan. Ya, tak ada alasan untuk memperjuangkannya. Karena, kita beda.
“Kemana aja kamu? Kok ngilang?” tanya Putu tengah duduk manis. Pak Alfan memang selalu ngaret masuk kelas. Dan, aku tidak telat. Akhirnya. “Nih” aku menunjukkan amplop biru yang kukantongi. Beberapa hari ini aku tidak ikut ke desa Veteran bersama Putu. Aku hanya menitip salam pada kakek Yusuf dan Veteran yang lainnya. Aku harus menenangkan diri untuk beberapa saat. Kuharap aku bisa menerima semua ini, seperti yang pernah kujanjikan pada ayah dan bunda sewaktu Elina mampir ke rumahku untuk pertamakalinya.
Dan. Seminggu adalah waktu yang tepat. Aku mulai ikut bakti sosial bersama Putu dan Elina lagi. Yang membuatku tenang adalah satu. Elina tidak menjauh seperti sebelum-sebelumnya. Kini, kenyataan di depanku. Sangat nyata bahwa aku dan Elina bukan orang yang ditakdirkan untuk berpasangan. Kabar dari panti asuhan yang pernah Elina tinggali, bahwa Elina masih mempunyai seorang ayah. Ceritanya menyedihkan. Ayahnya terpaksa menitipkan Elina ke panti asuhan karena ibu Elina menderita kelainan jiwa. Ayahnya tidak mungkin mengurus Ibu Elina sekaligus Elina. Dan selama sepuluh tahun pengobatan akhirnya ibu Elina sembuh. Mereka kembali dalam kehidupan sempurna. Elina pantas mendapatkan itu. Elina yang dari keluarga kaya raya akan membuka sebuah panti jompo untuk Veteran yang selama ini Elina, aku, Putu dan beberapa muda-mudi rawat. Subhanallah. Aku bangga mempunyai sahabat seperti Putu sekaligus seperti Elina. Setidaknya dengan hal yang aku alami, aku tahu satu hal. Belajar bukan hanya dari buku yang tebal tetapi dengan kisah dan sikap istimewa orang lain, khususnya di sekitar kita. Allah selalu mempermudah apa yang kita pinta.
Cerpen Karangan: Sugesty Nurchadjati Blog: malaikatelektronik.weebly.com