“Desa Ramongan, sebuah Desa terpencil yang terletak di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur adalah desa yang sangat tertinggal. Kondisi warga desa ini sangat memprihatinkan. Lahan yang kurang subur menjadi masalah pelik di desa ini. Padahal sebagian besar warganya bermata pencaharian sebagai petani. Hal ini menyebabkan warganya sering kelaparan karena kurangnya bahan makanan. Meskipun begitu, warga tidak beralih ke pekerjaan lain karena keahlian yang mereka miliki hanyalah bertani. Listrik pun tidak pernah menyentuh daerah ini, sehingga ketika malam tiba hampir tidak ada aktivitas yang dikerjakan karena tidak adanya listrik. Dan satu hal yang makin membuat desa ini semakin tertinggal, yakni hanya ada satu sekolah di desa ini. Dan itu pun sekolah tingkat Sekolah Dasar. Jadi, setelah lulus SD anak-anak terpaksa putus sekolah. Sekolah ini pun kekurangan tenaga pengajar. Minimnya fasilitas juga menjadi sebuah kendala.” Kalimat yang diucapkan oleh seorang reporter pada salah satu acara berita yang Kiki tonton tadi pagi itu, masih terngiang di telinganya. Kiki seperti mendapatkan sebuah panggilan. Panggilan sebagai seorang guru untuk mengabdi dalam arti yang sebenarnya. Selama dua tahun ia mengabdi sebagai seorang guru di salah satu sekolah di Jakarta. Sekolah tempatnya mengajar itu sudah mempunyai berbagai macam fasilitas untuk menunjang kegiatan belajar mengajar. Sekolah Dasar ini pun tidak pernah kekurangan tenaga pengajar. Sungguh berbeda dengan sekolah yang ada di berita itu. Kiki merasa mempunyai tanggungjawab besar sebagai seorang guru.
“Guru bertugas memberikan ilmu kepada yang benar-benar membutuhkan. Dimanapun tempat mengabdi bukan jadi masalah, yang penting dari hasil pengabdianku menghasilkan sosok-sosok penerus bangsa yang berilmu tinggi. Karena itulah yang menjadi kebahagiaan seorang guru. Ya, aku harus bertindak. Aku tidak bisa diam saja melihat murid-murid yang haus ilmu di desa itu. Mereka sangat membutuhkanku. Dan kini aku siap untuk memberikan ilmu-ilmu ku kepada mereka.” Ucap Kiki di dalam hati. Semangat seorang guru kini kian membara di hatinya. Panggilan itu benar-benar siap ia jalani. Kiki akan segera mengajukan mutasi ke sekolah tempat ia mengajar. Meminta agar dirinya dapat mengajar di desa itu.
Keesokan harinya Kiki membicarakan niatnya itu kepada kedua orangtuanya. Mengharap restu dari mereka agar semua yang ia harapkan dapat tercapai. “Bu, Pa, Kiki mau ngomong sesuatu.” Kata Kiki memulai pembicaraan. “Bicara apa toh ndok?” Tanya mama dengan suara yang begitu lembut. Kiki pun menceritakan tentang berita yang ia saksikan itu. Dan kemudian ia memberitahukan niatnya yang ingin mengabdi di desa terpencil itu. “Apa Ki, kamu mau mengajar di desa terpencil yang gak ada listrik itu? Mau makan apa kamu disana? Pasti gajinya kecil, hidupmu juga gak akan terjamin. Sudah enak-enak ngajar di Jakarta kok malah pengen ngajar di kampung.” Jawab Bapak dengan nada ketus sekali. “Pak, tapi rasa mengabdi itu muncul dari dalam hati Kiki, dari hati seorang guru Pak. Kiki merasa terpanggil untuk mengajar mereka dengan segala kemampuan Kiki. Dan Kiki yakin Kiki pasti bisa Pak.” Jawab Kiki dengan penuh keyakinan. “Tapi mengapa mesti kamu? Memang gak ada guru yang lain?” Kata bapak menunjukkan ketidaksetujuan atas niat Kiki itu. “Iya Ki, kenapa tiba-tiba kamu berniat mengajar di kampung? Gak betah mengajar disini?” Tanya mama sambil meraih tangan Kiki lalu digenggam olehnya. “Pak, Bu, Kiki lah yang mendapat panggilan ini. Kiki merasa terpilih untuk mengabdi disana. Siapa tahu Kiki dapat memperbaiki keadaan warga desa itu dengan ilmu yang Kiki punya. Toh Bapak sama Ibu juga kan yang bangga?” kata Kiki mempertegas niatnya itu. “Bapak sudah berjuang mati-matian agar kamu bisa jadi sarjana dan mencapai cita-citamu menjadi seorang guru, eh sekarang sudah jadi guru kok malah maunya ngajar di desa terpencil. Kamu tidak menghargai usaha bapak? Hah?” Kata Bapak dengan raut wajah marah. “Astaghfirullah pak, bukan itu maksud Kiki. Kiki hanya ingin membantu apa yang seharusnya Kiki bantu. Kalau nantinya Kiki berhasil memperbaiki desa itu, maka itu akan menjadi keberhasilan yang luar biasa dalam hidup Kiki. Kiki mohon izinkan Kiki untuk mengajar disana.” Pinta Kiki sambil menitihkan air mata. “Ya sudah ndok kalau itu memang sudah pilihan kamu Ibu sama Bapak hanya bisa mendukung. Dan kamu harus ingat do’a kami selalu mengiringi kamu nak.” Kata Ibu membuat secercah harapan di hati Kiki. “Bu, ingat Kiki itu perempuan. Dia bisa berbuat apa sih untuk memajukan desa itu?” Ucap Bapak masih tidak setuju. “Kiki memang perempuan Pak, tapi Kiki punya kekuatan dan keyakinan. Kiki yakin Kiki pasti bisa.” Kiki yakin meskipun ia hanya seorang perempuan berusia 25 tahun, tapi ia bisa melakukan suatu perubahan di desa tertinggal itu.
Setelah berpikir selama beberapa hari, akhirnya orangtua Kiki telah merestui niat Kiki untuk mengajar di Desa Ramongan. Walaupun bapak tidak sepenuhnya merestui. Permintaan mutasi pun sudah disetujui oleh pihak sekolah. Hari keberangkatan tiba, segala persiapan telah dipenuhi Kiki. Dimulai dari strategi-strategi mengajar yang akan ia terapkan di desa itu, solusi-solusi untuk mengatasi ketidaksuburan lahan yang melanda desa juga ia persiapkan, dan yang paling penting adalah persiapan mental dan fisik, karena bagaimanapun ia akan mengajar di tempat yang belum pernah ia tinggali sebelumnya.
Dua hari setelah ia sampai di Desa Ramongan, Kiki mulai mengajar di sekolah satu-satunya di desa itu. Awalnya Kiki memang harus beradatapsi dengan keadaan disini. Hidup tanpa listrik, bertetangga dengan orang yang baru ia kenal, hidup dengan sangat-sangat sederhana, dan mengajar murid yang jauh berbeda kemampuannya dengan murid yang ia ajar di Jakarta, serta sekarang ia memanggul tanggungjawab yang besar.
Dua minggu sudah ia mengajar di sekolah ini. Namun, nampaknya belum ada perubahan yang berarti. Sekarang justru ia merasa kesulitan mengajar dengan fasilitas yang sangat terbatas, bahkan beberapa muridnya ke sekolah tidak memakai sepatu dan seragam layaknya murid-murid di Jakarta. Pak Eko, guru satu-satunya di sekolah ini sebelum kedatangan Kiki, terlihat kurang percaya dengan kemampuan Kiki mengajar. Tapi hal ini tidak membuat Kiki patah semangat. Ia mulai mempersiapkan strategi-strategi mengajar yang baru.
“Aku tidak boleh putus asa. Aku harus semangat! Ya aku semangat.” Gumam kiki sebagai tanda semangatnya. Kini ia menerapkan strategi belajar yang mengasyikkan, yaitu dengan mengadakan kuis-kuis, menyediakan hadiah untuk murid yang bisa menjawab pertanyaan, memperbanyak cerita anak-anak yang mengandung nilai pendidikan, dan mensosialisasikan pentingnya pendidikan kepada orangtua murid dengan tujuan untuk meningkatkan motivasi kepada anaknya agar giat belajar.
Ternyata strategi-strategi itu berhasil. Murid-murid kini semakin dekat dengannya, dan mereka pun makin giat untuk belajar. Kiki sangat senang dengan peningkatan ini. Namun, ia belum puas karena ia belum bisa mengatasi masalah ketidaksuburan lahan yang melanda desa. Akhirnya, ia menyusun rencana. Awalnya Kiki memberitahu ke beberapa warga yang sedang bertani di sawah. Hingga akhirnya informasi berantai sampai ke telinga warga desa Ramongan. Warga pun berkumpul bersama di Balai Desa untuk memenuhi undangan dari Kiki. Disana, Kiki mensosialisasikan cara-cara menyuburkan tanah kepada warga, berharap sedikit banyak dapat membantu mereka.
“Bapak Ibu sekalian, saya akan memberikan cara-cara untuk meningkatkan kesuburan tanah di desa ini. Karena dengan tanah yang subur maka akan dapat memberi hasil yang maksimal juga, dan dengan begitu saya harap hal ini dapat meningkatkan tingkat perekonomian desa agar tidak jauh tertinggal. Pertama, lakukanlah pemupukan sesuai dengan jenis tanah, boleh pupuk kandang atau pupuk buatan. Kedua, buatlah saluran irigasi untuk pengairan sawah yang jauh dari mata air. Ketiga, jangan gunakan bahan-bahan kimia yang merugikan dan dapat merusak tanah. Keempat, lakukan rotasi tanaman alias gonta-ganti tanaman yang ditanam pada satu bidang tanah. Kelima, laksanakan penghijauan dengan cara memberi humus pada tanah. Keenam, pelihara cacing tanah untuk membantu menggemburkan tanah. Dan yang terakhir jangan membuang sampah sembarangan di tanah.” Kata Kiki dengan lantang di depan seluruh warga desa. “Maaf, mbak. Bukannya kami tidak percaya, tapi mbak ini baru tinggal di desa kami. Jadi, kami masih ragu untuk mengikuti saran-saran yang mbak berikan tadi.” Sahut seorang warga bernama Pak Romo membuat Kiki terkejut. “Ya pak saya tahu. Saya memang baru tinggal disini. Tapi saya punya tujuan yang baik pada desa ini. Saya hanya ingin memajukan desa ini dalam bidang pendidikan dan memperbaiki keadaan desa yang kian pelik karena masalah tanah yang tidak subur.” Jawab Kiki meyakinkan warga desa. “Modal beli pupuk dan lain-lainnya darimana mba? Kita aja gak punya uang.” Sahut seorang ibu paruh baya yang diikuti suara riuh warga lain tanda persetujuan. “Masalah modal kalian bisa memakai tabungan saya dulu. Anggap saja sebagai pinjaman yang harus kalian bayar dengan kerja keras untuk membangun kembali desa ini.” Kata Kiki membuat tawaran kepada warga desa.
Setelah beberapa kali meyakinkan warga desa, akhirnya mereka mulai mempercayai Kiki. Mulai sekarang mereka akan mengikuti saran-saran yang Kiki berikan tadi. Modal pun telah Kiki serahkan pada kepala desa untuk dipergunakan membeli pupuk dan keperluan lainnya. Kiki yakin rencana ini akan berhasil untuk memajukan desa.
Tak terasa sudah enam bulan, Kiki tinggal di Desa Ramongan. Orang-orang desa mulai menyukai Kiki karena saran-saran yang diberikan Kiki menunjukkan suatu perubahan ke arah yang lebih baik. Walaupun awalnya Kiki kurang dipercaya. Tanah sudah mulai subur dan hasil yang didapat juga lebih banyak. Anak-anak juga makin giat belajar akibat metode-metode yang diberikan Kiki. Dan Kiki pun juga tempat berkeluh kesah para muridnya. Pernah seorang murid bernama Oni bertanya pada Kiki. “Bu, kenapa sih kita mesti susah-susah sekolah? Kenapa gak main aja tiap hari? Kan enakan main daripada belajar. Aku senang saat bermain.” Tanya Oni dengan polosnya. “Karena apapun yang kita lakukan di dunia ini butuh ilmu. Makan, minum, mandi, dan berjalan saja kita butuh ilmu. Jadi makin banyak ilmu yang kita miliki, maka makin banyak juga hal-hal yang bisa kita lakukan. Ketika kamu bermain, kamu sedang belajar pengembangan diri, nak. Belajar tidak hanya dari sekolah saja kok. Tetapi kamu harus ingat, antara main dan belajar harus seimbang ya.” Jawab Kiki sambil mengelus-ngelus rambut anak berusia 7 tahun itu. “Ooh gitu ya Bu. Oni mau rajin belajar deh, biar Oni banyak ilmu, terus Oni bisa bikin pesawat deh. Ya kan bu? Terus Oni juga ga banyak-banyak deh mainnya.” “Ya Oni benar. Tapi ingat ilmu juga butuh iman. Tetap belajar dan tetap berdo’a ya Oni, agar Tuhan memberikan apa yang Oni mau.” “Ya siap siap Booos.. Eh salah deh, siap Ibu Kiki cantik.” Jawab Oni dengan semangat dan senyum manis. Kiki benar-benar mendapatkan kebahagiaan yang tiada tara. Desa ini sudah memberi Kiki arti hidup yang sebenarnya. Meskipun Kiki hanya seorang wanita muda, ia mampu membuktikan bahwa ia bisa membuat perubahan pada desa ini. Tidak hanya memajukan desa dalam bidang pendidikan, tapi Kiki juga telah memperbaiki hidup warga desa. Listrik pun akan secepatnya menerangi desa. Itu adalah janji dari pemerintah Kabupaten Bondowoso ketika Kiki mendatangi kantor Kabupaten beberapa hari yang lalu. Kiki berhasil meyakinkan pemerintah kabupaten untuk memasang listrik disana. Kiki bilang Desa Ramongan telah mengalami kemajuan yang cukup pesat dan sayang jika tidak diiringi dengan adanya listrik.
Kiki mendapat kabar dari Jakarta kalau bapaknya sakit. Dan Kiki pun segera pulang kesana untuk menjenguk orang tuanya. Ditambah lagi dengan rasa rindu yang sangat mendalam. Sesampainya disana, Kiki langsung menemui bapaknya yang sedang terbaring lemas di kasur kamarnya. “Pak….” Ucap Kiki dan langsung memeluk bapaknya. Kiki pun meneteskan air matanya sebab rindu dan ada perasaan tidak enak. “Nak, jangan menangis. Bapak yang salah. Bapak terlalu meremehkan kamu, menganggap kamu tidak bisa bertanggung jawab dalam hal pengabdian. Bapak menganggap wanita itu tidak bisa melakukan apa yang dapat para kaum lelaki perbuat. Ternyata bapak salah besar, bapak sangat bangga kepadamu, nak. Walaupun kamu hanyalah seorang wanita tapi kamu bisa menjadi seseorang yang berguna. Bapak bangga akan tekadmu selama ini, nak. Maafkan bapak, nak. Bapak yang salah.” Kata bapak dengan perasaan sangat bersalah. “Tidak pak, bapak tidak salah. Bapak adalah bapak terbaik buat Kiki. Kiki sayang sekali sama bapak.” Ucap Kiki kepada bapaknya. Ibu Kiki yang berada di samping Kiki hanya tersenyum sambil meneteskan air mata tanda senang dan harunya.
Cerpen Karangan: Suci Wulandari Facebook: https://www.facebook.com/suci.wulandari.9