“Kalau kamu, Dra?” Semua anak di kelas memandangi Indra, menunggu jawaban darinya. Indra kebingungan, karena ia belum punya jawaban. Ia mulai memandang ke langit-langit. “Waktu besar mau jadi apa?” lanjut ibu guru. “Aku mau terbang!” jawab Indra lantang. “Kamu mau jadi pilot?” balas ibu guru. “Nggak, pilot tuh nggak terbang! Pilot cuma duduk!” Teman-temannya tertawa. Ibu guru juga ikut tertawa. Lalu Indra berkata, “Aku mau jadi burung.” “Kamu ada-ada saja, Dra. Manusia nggak bisa dong, jadi burung,” jawab ibu guru.
Lalu jam pelajaran berlanjut seperti biasa. Banyak yang tertawa, bercanda, bermain. Ruang kelas ramai seperti biasanya, hingga jam pulang tiba. Di halaman sekolah sudah ada Ibu yang menjemput Indra.
Itu adalah potongan memori Indra saat berada di taman kanak-kanak. Saat ini ia sudah besar, dan ketika ditanya apa cita-citanya, ia masih kebingungan. Mau jadi apa? Apa yang ingin dicapai dalam hidup? Mau kerja apa? Ia belum bisa menjawabnya.
Sampai sesuatu itu jatuh ke tanah. Berusaha mengepakkan sayap, tapi tidak bisa. Indra yang sudah remaja meraihnya dengan tangannya, lalu memandanginya. Seekor burung, yang sayapnya terluka.
Indra pernah menjadi anggota PMR saat SMA, jadi ia tahu bagaimana menyembuhkan luka burung itu. Ia membelikannya sebuah kandang, sekaligus mengobati dan memberinya makan sampai burung itu sembuh dan bisa terbang. Burung itu ia namai ‘Cecep’.
Suatu hari, Indra pernah duduk, melamun, dan berpikir kira-kira apa cita-cita seekor burung seperti Cecep. Mungkin ia ingin terbang ke tempat-tempat baru. Mencoba iklim yang berbeda, teman yang berbeda, bersiul sesuatu yang berbeda. Atau mungkin hanya ia ingin keluar dari sangkarnya. Mungkin ia hanya ingin terbang lagi. Atau mungkin ia tidak ingin terbang. Mungkinkah seekor burung lelah untuk terbang?
“Angin,” kata Cecep. Indra kaget. Rasanya ia mendengar sesuatu. “Aku hanya mengikuti arah angin,” lanjut Cecep. “Ma … Maksudnya?” tanya Indra kebingungan, sekaligus tidak percaya di hadapannya ada burung yang bisa bicara. “Angin yang membawaku ke tujuanku. Aku tidak tahu akan ke mana, tapi aku hanya percaya pada angin.” “Jadi, kau tidak punya cita-cita?” tanya Indra, kebingungan dengan keadaan ini. “Tidak. Tapi aku yakin aku punya akhir. Meskipun mungkin akhir itu berarti tempat awalku lahir. Akhir yang selalu menjadi misteri.” “Apa tidak apa-apa, terbang mengikuti angin?” “Anginlah yang membawaku kepada peluru senapan yang melukaiku. Anginlah yang jatuh di depanmu. Anginlah yang membawaku ke sangkar ini. Lalu angin ingin aku diam sejenak di sini, berbicara padamu.” “Apakah aku harus mengikuti kata angin juga, Cep?” “Mungkin. Mungkin tidak. Kamu bisa memilih. Tapi jangan terlalu lama memilih.” “Maksudnya?” “Bayangkan bila aku terlalu lama berpikir, haruskah aku terbang atau tidak. Mungkin aku masih diam di tempatku lahir. Kadang kau harus mulai percaya pada angin.” “Bagaimana kalau akhirnya aku jatuh?” “Itulah angin. Kau tidak pernah tahu kemana ia akan membawamu. Tapi bila kau tidak mulai terbang bersamanya, bukankah kau sudah jatuh sebelum mencoba terbang?” Indra terdiam. Mungkin kata-kata Cecep benar, pikirnya.
Lalu Cecep melanjutkan, “Bila terlalu lama berpikir, kau tidak akan berpindah. Kau melewatkan angin, kau akan melewatkan keindahan di sekitarmu saat kau terbang. Sinar matahari, awan, pepohonan, burung lain yang bernyanyi, rintik-rintik hujan. Semua keindahan itu hanya bisa kau nikmati, bersama angin.”
Indra masih terdiam, mendalami makna kata-kata Cecep. Akhirnya ia tersenyum, lalu memandangi Cecep. Cecep memandanginya balik, lalu berkata,
“Indra, aku sudah sembuh, nih,” sambil mengepakkan sayapnya.
Indra berdiri dari tempat duduknya, lalu membuka sangkarnya. Ketika hendak melepaskan Cecep, Cecep bertanya sekali lagi pada Indra, “Jadi, apa yang kau inginkan?”
Indra melepas Cecep dari genggamannya, lalu berkata, “Aku ingin terbang.”
Cerpen Karangan: Affan Abiyyu Blog: kupingkucing.wordpress.com Nama saya Affan Abiyyu, tinggal di Surabaya, dan sedang mendalami dunia kepenulisan. Semoga terhibur dengan tulisan saya.