Akhirnya, cita-cita masa kecilku terkabul. Cita-cita yang egois, kekanak-kanakan, dan tidak wajar, tidak kusangka bisa tercapai. Tapi ketika sudah sejauh ini, ternyata tidak seperti yang kubayangkan dulu.
Aku adalah seorang pembalap. Pembalap sepeda motor. Satu-satunya pembalap perwakilan dari negaraku.
Sejauh yang kupelajari, menjadi seorang pembalap itu bukan hanya tentang kemampuan. Motor, mesin, perlengkapan, dan lainnya itu lebih memengaruhi performa pembalap. Dan mari kita bicara jujur, hanya beberapa dari kami, pembalap, yang bisa sukses dan menjadi pemenang. Dan hanya mereka yang namanya dikenal dan dihafal.
Aku bukanlah pembalap seperti mereka. Aku lebih sering berada di urutan belakang. Keberadaanku di balapan tidaklah terlalu penting. Bahkan mungkin hanya sedikit yang hafal namaku. Bahkan mungkin wajah dan motorku tidak pernah muncul di televisi. Hanya nama, itu pun beberapa detik pertama pertandingan. Pernah sosokku muncul di televisi, itu pun ketika pembalap di posisi pertama melewatiku, melakukan overlap.
Awalnya aku tak peduli dengan semua itu. Tapi suatu hari, ini berubah ketika aku menghubungi istriku, sebelum pertandingan dimulai.
“Dia tidak menonton,” kata istriku di telepon. “Katanya, Ayah pasti nggak ada di televisi. Percuma menonton bila ayah tidak pernah menang.”
Biasanya anakku selalu menontonku, membuatku bersemangat mengikuti pertandingan, meski aku tahu, aku akan selalu kalah. Tapi mengetahui anakku tidak lagi mau menontonku, itu definisi kekalahan sesungguhnya bagiku.
Lalu istriku melanjutkan, “Aku tahu kamu ingin jadi pembalap dari dulu, tapi mau sampai kapan? Bahkan 3 tahun ini anakmu belum melihat wajahmu.”
Iya benar lagi. Memang benar, aku digaji lewat pertandingan ini, yang bisa menghidupi keluargaku. Tapi sudah lama aku tidak bertemu dengan mereka, aku hanya berusaha menggapai cita-citaku sendiri, yang kian lama makin tidak ada harapan.
Seketika aku ingin pulang.
“Meskipun aku kalah kali ini, tapi tontonlah. Sudah kuputuskan, ini pertandingan terakhirku. Besok aku akan pulang,” jawabku, lalu kututup hubungan telepon.
Jika diibaratkan, pertandingan ini seperti burger. Mereka, pembalap kelas atas, adalah daging. Mereka yang membuat pertandingan ini menjadi lezat. Sedangkan pembalap sepertiku? Bukan, bukan sayur, bukan tomat. Bukan juga roti. Bukan juga saus dan mayonais.
Aku hanya taburan wijen, yang keberadaannya tidak dianggap. Meski aku tak ada, burger masih terasa lezat.
Lalu pertandingan dimulai.
Di pertandingan terakhirku ini, aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Aku ingin mengeluarkan seluruh kemampuanku, mencari tahu apakah aku bisa beradu dengan mereka, pembalap kelas atas. Pembalap yang sudah biasa jadi pemenang pertandingan. Kukeluarkan semua tekadku di sini.
15 menit pertama, aku berhasil menyalip beberapa pembalap lainnya, dengan fokus ke tujuan utamaku. Meski aku tahu posisiku masih di belakang, tapi aku terus mencoba. Aku berkonsentrasi penuh, menghafalkan jalur-jalur dan tikungan yang bisa kumanfaatkan untuk menyalip lawan.
Dan strategi itu berhasil. Setengah pertandingan, awalnya aku berada di urutan 23, kini menjadi 18. Meski tubuhku kelelahan, tapi aku terus memaksanya. Dan ternyata, untuk menyalip pembalap di urutan 17 tidaklah mudah. Mesin motornya lebih mudah berakselerasi daripada motorku.
Sampai akhirnya tersisa 2 lap, aku masih berada di urutan 18. Ternyata mustahil bagi taburan wijen untuk bersanding dengan daging.
Kemudian tiba-tiba aku kehilangan fokus. Di tikungan tajam, motorku masih berakselerasi dengan percepatan yang tinggi. Aku terlambat menarik tuas rem, hingga akhirnya motorku keluar jalur. Kemudian pembalap-pembalap lain di belakangku menyalipku, dan kini aku kembali ke posisi 23. Urutan terakhir.
Hancur sudah harapanku. Tidak mungkin aku bisa menang di pertandingan ini.
Aku menuntun motorku kembali ke jalur balap. Lalu mengendarainya dengan pelan, mengetahui tak ada harapan untuk menang.
Dan saat itu, aku mulai sadar akan sesuatu. Kamera mulai tersorot ke arahku. Lalu pelan-pelan terdengar suara motor dari belakangku. Ternyata mereka, daging burger, hendak melakukan overlapping di lap terakhir mereka. Pembalap urutan pertama hendak menyalipku, pembalap urutan terakhir.
Dan aku tahu, ini adalah satu-satunya kesempatanku bersanding dengannya, tanding menuju garis finish. Meski sebenarnya kurang 2 lap untukku menang, aku tak peduli.
Aku menghentikan motorku. Lalu melepas helmku. Melemparnya ke luar jalur balapan, agar penonton bisa melihat wajahku. Aku menunggu ia datang, pembalap urutan pertama. Aku ingin semua orang melihatku. Aku ingin anakku melihat wajahku.
Lalu ia datang. Dan ketika ia melewatiku, aku menarik gas dengan kencang.
Penonton mulai histeris, semua kamera menyorot kami berdua, bertanding ke garis finish. Aku memanfaatkan semua tikungan untuk menyalipnya, tapi di jalur lurus ia selalu dengan mudahnya menyalipku. Sampai akhrinya posisi kami sangat dekat, hanya berbeda satu detik.
Di tikungan tajam terakhir, aku bertaruh untuk memotong jalur, untuk bisa menyalipnya. Dan tak kusangka, itu berhasil. Kami berdua sudah dekat dengan garis finish, dan aku berhasil menyalipnya. Tinggal sebuah jalan lurus untuk menuju garis finish, dan aku berada di depannya, selisih 2.5 detik.
Lalu aku berpindah ke gigi terakhir, menarik gas sekuat-kuatnya, tidak peduli bagaimana nantinya. Ia pun juga begitu, membuat jarak kami semakin dekat. Kami sangat dekat, dan akhirnya … kami berdua sampai ke garis finish.
Aku tidak tahu siapa dahulu yang mencapai garis finish. Tapi yang pasti, ia tetap menang, dan aku tetap berada di urutan 23. Dan aku didiskualifikasi, karena melepas helmku di tengah pertandingan.
Tapi aku bangga.
Akhirnya anakku bisa melihatku. Akhirnya aku bisa bersanding dengan pembalap kelas atas. Akhirnya namaku diketahui orang banyak. Akhirnya aku bisa pulang.
Cerpen Karangan: Affan Abiyyu Blog: kupingkucing.wordpress.com Nama saya Affan Abiyyu, tinggal di Surabaya, dan saya sedang menekuni dunia kepenulisan. Semoga terhibur dengan tulisan saya.