Pertanyaanya adalah bagaimana. Bagaimana merubah dunia ini menjadi sebuah dunia yang bersinar? Seperti dulu. Bagaimana caranya agar manusia dapat hidup tanpa konflik? Atau bagaimana caranya agar anak-anak dapat tidur nyenyak tanpa bom? sederhana tapi sulit dilakukan. Sulit meredam sesuatu yang sudah terjadi. Karena susu yang sudah tumpah tak bisa diminum lagi.
Jangan kira susu yang tumpah tak berguna, nyatanya ada saja makhluk hidup yang meminumnya. Sudah berapa banyak hutan yang terbakar? Berapa banyak nyawa yang telah kita sia-siakan? Kita masih bisa membenarkannya. Itulah yang dipirkan bocah desa. Tuhan tahu hamba-Nya kuat, sebesar apapun cobaan kita mampu. Tapi, bagaimana?
Ardi, bocah Desa Muara Bungkal, Siak, Riau merasa harus melakukan perubahan. Ardi lahir dan besar di pemukiman dekat hutan. Orangtuanya adalah petani kelapa sawit, sedangkan ia hanya bocah kelas 4 SD. Tempat sekolah sangatlah jauh dari rumah, melewati hutan, anak sungai, barulah sekolah dambaan. Ardi termasuk anak yang rajin, tak mengeluh apalagi bersedih. Hidupnya bahagia karena ia punya sahabat. Namanya hijau.
Sahabatnya bukanlah manusia, melainkan hutan. Yang sedari dulu menemaninya sejak belia hingga tubuhnya gempal seperti sekarang. Dari hutanlah ia dan keluarganya mendapatkan sebuah penghasilan untuk makan dan sekolahnya tahun depan. Ardi memang lain dari bocah lainnya, ia lebih suka menanam pohon, dibanding memanjat. Tapi, tentu saja Ardi pandai memanjat. Sehingga ia bercita-cita ingin melestarikan hutan, namun rasanya ia harus memendamnya.
Ada waktu desa Ardi dikunjungi kelurga kota bermobil mewah. Bagi warga Desa Muara Bungkal ini hal yang langka. Orang-orang itu sejenak melihat-lihat desa, sebelum memasuki hutan. Pembicaraan rumit menjadi topik hangat bagi mereka. Diantaranya ada bocah perempuan yang memainkan boneka beruangnya. Ardi yang sedari tadi bersiul di atas pohon melihat gadis cantik nan putih memasuki hutan terasa bak berbunga-bunga. Ia langsung melompat turun tepat di depan si gadis, yang berjarak lumayan jauh dari orangtuanya. Gadis itu memekik “Oy, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Ardi sekedar basa-basi “Ayahku sedang ingin membangun proyek di sini. Kau sendiri siapa?” Ardi mngelap tanganya sebelum mengajak gadis itu bersalaman “Ardi, anak daerah sini.” “Oh, pantas. Kampungan, bau lagi.” si gadis menutup hidungnya Ardi mengernyit, tak lama kedua orangtua si gadis datang. mengajak gadis untuk pulang, sebelum terlambat ia berteriak “Hei, siapa namamu?” “Tania” satu kata yang mampu membuat jantungnya berantakan
Esoknya tetap berjalan sempurna, namun pikirannya tak dapat menolak membayangkan Tania, padahal ia dihina saat pertemuan pertama. Hingga tak jarang warga desa, bahkan orangtuanya mengejeknya mencintai gadis kota. Ardi juga masih berusaha menelaah arti kata “proyek”, maklum masih bocah. Sampai akhirnya, terdengar deruman mobil alat berat hingga siluet cahaya merah orange dari jarak jauh. Ardi merasakan hal aneh pada hatinya, serasa dihimpit, terlebih kala siluet cahaya itu mengganggu tidurnya.
Paginya, sekelebat asap menggumpal di langit perdesaannya. Ada secuil rasa khawatir di benak Ardi menatap gumpalan asap tersebut. Serasa ada teriakkan dibaliknya, meminta tolong. Para pekerja kelapa sawit dilarang bekerja hari ini hingga diketahui penyebabnya. Baru kali ini Ardi melihat pemimpin desa datang untuk mengecek yang terjadi. Anak-anak dilarang keluar rumah, apalagi mengunjungi hutan, hanya untuk sementara waktu.
Ardi harus rela menelan pahit tak bejumpa dengan hijau, sahabatnya. Getar-getir khawatirnya menjadi-jadi setelah mendengar kabar dari para petinggi desa “Hutannya terbakar. Hampir sebagian dekat perbukitan hangus, kita harus berjaga agar tak semakin parah.” ungkap RT desanya Para warga bergidik “Lalu kami belum boleh bekerja?” tanya salah satu warga. Hanya gelengan jawabannya. Ardi menunduk sendu kala sang ibu menariknya masuk ke dalam.
“Bu, kenapa Ardi belum boleh bertemu hijau? Dan siapa yang terbakar? Pencuri?” “Maafkan ibu, Sayang. Tapi, sepertinya kamu akan sulit bertemu hijau.” jawaban sang ibu membuat Ardi paham satu hal, teman-temannya mati.
Hari selanjutnya kabut asap malah semakin membesar, usaha polisi terkesan sia-sia. Mencoba hampir seluruh cara agar kebakaran hutam padam, malah seolah menantang para tangan nakal agar semakin membumi hanguskan hutan. Akibatnya banyak sekolah diliburkan karena kabut asap. Dan Ardi murung melihat sahabanya tak lagi hijau, kering, hitam. Tak ada lagi daun, tak ada lagi gemerisik daun bergesekan, atau bunyi pohon tumbang. Semua tak bersisa. Tinggal kenangan.
“Ardi apa cita-citamu?” belajar mulai aktif lagi, walu anak-anak wajib mengenakan masker. “Menjaga hutan, Bu.” jawaban Ardi seolah aneh bagi yang lain Bu Guru mendekati Ardi yang nampak guratan kecewa “Kenapa Ardi ingin melindungi hutan?” Ardi menjawab dengan lantang “Karena hutan adalah dunia kita yang sebenarnya, yang memberi kita oksigen, dan banyak hal yang bermanfaat darinya. Hutan juga sahabat saya, Bu. Tapi kata ibu hutan kita telah mati akibat pembakaran itu, karenanya cita-cita saya menjaga hutan agar tetap hidup.” Bu Guru menangis memeluk Ardi, si bocah spesial. Memadamkan kebakaran butuh waktu yang lama, tapi Tuhan Maha Mengerti hamba-Nya berusaha. Dalam beberapa waktu belakangan hujan mengguyur Riau dan sekitarnya, menyebabkan kebakaran perlahan menghilang. Tapi terjadi masalah baru, hutan gundul. Tak banyak yang mau menanam kembali hutan padahal dulu mereka yang berteriak paling keras ingin segera selesai.
Ardi sadar cita-citanya tak akan pernah terwujud jika tak dilaksanakan segera. Ardi kabur menuju lereng gunung dengan berbagai macam benih pohon baru. Terasa telah berabad-abad ia tak bertemu hijau. Ardi setiap pulang sekolah selalu mampir ke hutan, menanam kembali pohon agar makhluk hidup yang tersisa dapat melestarikan jenisnya. Banyak yang menganggap cara Ardi sia-sia, karena tanahnya telah mati. Tapi, ia hanya jawab “Jika tak mencoba maka hasilnyalah yang akan sia-sia. Apa yang akan didapat oleh penerus kita nanti kalau kita malas? Tak ada. Itu yang lebih sia-sia.”
Semakin kesini semakin banyak yang peduli pada hutan, menanamnya, merawatnya, bahkan pekerjaan hutan laris manis. Semua karena perkataan polos nan menyesakkan Ardi. Banyak tangan yang membantu, semakin makmur hidup nanti. Jadi jagalah hutan kita.
Cerpen Karangan: Septia Nurul Hidayah Facebook: Septia Nurul Hidayah Bersekolah di SMPN 01 Tambun Utara