“Namaku Ray, entah.. Sepertinya aku tersesat di sini.” Jawabmu saat ditanya perihal kepindahanmu. Mendengar itu, Orang yang berada di dalam ruangan menoleh. Kau masuk meletakkan barang-barang ke dalam lemari lalu pergi. “Ha? Bukannya dibuang?” Zenus, yang juga ada di ruangan itu menimpali tanpa menoleh ke wajahmu, tetap fokus dengan buku yang sedang dibaca. Beberapa orang menahan tawa. Kau tak peduli.
Sore itu, untuk pertama kali kau melihatnya, gadis itu sedang membaca di sebuah bangku taman. Kau menatapnya lamat-lamat. Wajahnya teduh, menenangkan. Kemudian tatapanmu tersangkut pada kain yang ada di lehernya, seperti sapu tangan tipis. Ketika melihatmu dia terkejut lalu segera pergi sambil menutup wajahnya dengan kain itu.
Malamnya kau bertemu lagi dengannya, di perpustakaan umum pondok. Namun gadis itu tak melihatmu. Kau sedang bersandar di pojok rak sambil membaca. Gadis itu bersama seorang temannya. Tanpa mereka sadari, diam-diam kau terus mendengarkan percakapan mereka dari balik rak buku. Dan dari percakapan tersebut kau tahu, sapu tangan tipis itu bernama cadar. Segitunya? Batinmu saat mengetahui alasannya gelisah. Tapi kau tersenyum
Kau masih asik mendengarkan berita pagi di radio untuk kemudian Zenus dan beberapa temannya mengganti channel tanpa permisi. Kau menghembuskan nafas. Seorang ustadz menghampirimu. Pembawaannya begitu tenang, penuh wibawa. Seakan ada ikatan, dan itu membuatmu nyaman. Kau langsung menyilahkan laki-laki paruh baya itu duduk di sampingmu. Ustadz itu menjelaskan padamu bahwasanya Zenus akhir-akhir ini berubah. Katanya dia anak yang baik. Memintamu secara tidak langsung untuk memaklumi tingkahnya yang aneh. “Ya, boleh jadi dia sedang khilaf” kau tersenyum. Mencoba mengikhlaskan kejadian barusan. “Hendak jadi apa kau dewasa kelak, nak?” Tanya laki-laku paruh baya itu tanpa menoleh. Memandang halaman dari dalam ruangan melalui kaca jendela. Mengalihkan topik pembicaraan. “Aa, aku?” Kau menghembuskan nafas. Memperbaiki posisi duduk. Menerawang. “Aku ingin jadi pemimpin, ust..” Laki-laki paruh baya tersebut tersenyum, mengangguk. “Bagus sekali nak. Tapi sebenarnya, tanpa berkeinginan menjadi pemimpin pun, Tuhan sudah bilang dalam kitab suci, bahwasanya kita dilahirkan sebagai pemimpin. Untuk diri sendiri, dan untuk anak istri kita.” Kau tersenyum. mengingat janjimu pada diri sendiri untuk menjadi ayah yang baik untuk anak istrimu kelak. “kira-kira, pemimpin seperti apa yang dibutuhkan negara kita, ustadz?” Tanyamu mulai tertarik dengan pembahasan.
Kau menatap lamat-lamat laki-laki yang ada di sampingmu, sisa wajah gagahnya waktu muda masih berbekas. Kau teringat seseorang tapi tetap diam. Hatimu meronta.
“Kau lihatlah sendiri kondisi negaramu sekarang. Jika banyak orang yang melawan pemerintah, susah diatur, tak mau membayar pajak, juga banyak bermunculan aliran-aliran agama aneh, kau bisa contoh khalifah Abu Bakar. Kalau negaramu sedang mengalami paceklik, krisis moneter, contoh amiril muminin Umar ibn Al-Khattab, beliau pernah bersumpah hanya akan makan roti yang dicampur minyak hingga penderitaan umatnya berakhir, bandingkan saja dengan zaman sekarang.” Laki-laki paruh baya itu terkekeh. “Tapi nak, jika kau rasa negaramu sudah cukup stabil, kau bisa mengikuti jejak khalifah Harun Al-Rasyid, majukan negaramu, kembalikan kejayaan-kejayaan islam seperti periode klasik beberapa abad lalu.” Laki-laki paruh baya itu tersenyum. Membiarkan pikiranmu melayang-layang.
Siang setelah shalat dhzuhur, Zenus dan kawan-kawannya mengerumunimu di jalan menuju asrama. “Kau ingin jadi apa, katanya? Pemimpin?” Teman-teman Zenus tertawa terbahak-bahak. Kau tak tahu, ternyata Zenus mendengarkan percakapanmu dengan ustadz tadi. “Ray.. Ray.. Keluargamu saja tak berhasil kau selamatkan.” Tawa komplotan Zenus semakin membahana. Emosimu kini di ubun-ubun, kau merengsek maju, mencengkram kerah baju Zenus. Tanganmu melayang hendak meninju wajah Zenus. Namun urung. Seperti memikirkan sesuatu, kau langsung melepaskan Zenus. Pergi. Zenus tersenyum licik.
Kau menendang-nendang batu kecil yang menghalangi jalanmu. Di pikiranmu, pertanyaan kenapa Zenus tahu kau berasal dari keluarga retak berputar-putar. Siang itu, kau bolos masuk kelas. Menenangkan diri. Hingga malam datang begitu cepat. Kau begitu muak untuk kembali ke asrama, namun karena bayangan laki-laki paruh baya tadi, kau kembali. Tapi entah apa rencana tuhan malam itu yang menakdirkan kau bertemu kembali dengan Zenus dan komplotannya. Kau mencoba menghindar. Tapi ada sesuatu yang ganjil. Sapu tangan tipis itu.. Kenapa di tangan Zenus? Keterlaluan..
Kau meradang, tak dapat menahan gejolak emosi ketika melihat wajah Zenus mendekati gadis itu. Seketika kau lupa, lupa akan nasihat ibu untuk tidak menggunakan kekerasan. Cepat sekali. Hanya sepersekian detik untuk membuat Zenus terkapar di aspal dengan sekali tendang. Kau menatap tajam komplotan Zenus. Yang ditatap menciut. Pelan-pelan membopong Zenus untuk menjauh.
Kau memungut sapu tangan tipis yang jatuh di tanah. Melemparnya ke gadis itu. Kali ini tanpa melihat wajahnya. Gadis itu kini terbungkuk-bungkuk memunguti obat yang berceceran di aspal. Tak bilang apa-apa. Terimakasih pun tidak. Tak menghiraukanmu, ada yang lebih penting. Asrama.. Seseorang di asrama butuh obat itu segera.
Pagi. Usai shalat dhuha. Di kamar. “Ray, kau dicari ustadz Furqon di ruangannya.” Khalil, teman kamarmu menyadarkanmu dari lamunan. “Assalamualaikum..” Ucapmu sopan saat menemui laki-laki paruh baya itu. Perasaanmu menjadi tidak enak saat melihat ekspresinya yang kurang bersahabat. “Masuk” jawab ustadz datar. Ruangan kotak yang dindingnya dihiasi kaligrafi itu terasa menyeramkan. Padahal sebenarnya begitu indah kalau saja kau memasuki ruang itu dengan perasaan tenang. “Duduk, dan baca ini.” Kau duduk. Kaku. Sadar ustadz akan membahas kejadian tadi malam. Pembawaannya seakan menikammu. Kau mulai membaca. “Bab tiga, pasal satu. Santri tidak boleh menyelesaikan masalah dengan kekerasan, jika terdapat santri melanggar ketentuan ini, maka pihak yang memulai kekerasan terlebih dahulu akan menerima konsekwensi yakni..” Kau tertahan. “Lanjut..” “Dikeluarkan dari pondok.” Ucapmu bergetar. Ustadz mengatur nafas. “Sekarang Zenus dibawa ke RS daerah. Apa yang akan kau lakukan?” Kau menunduk “Tak seharusnya kau melukai temanmu.” “Tapi mereka keterlaluan ust..” “Ray..” “Pertama dan terakhir.. Aku janji ustadz.. !!” Kau membujuk. “Ray, Bukan masalah pertama dan terakhir, tapi peraturan dibuat untuk ditegakkan. Sekuat apapun alasanmu, itu sudah peraturan, tidak boleh dilanggar, karena peraturan adalah peraturan, dan orang yang baik, adalah mereka yang taat peraturan. Kau ingin jadi pemimpin, tentu kau ingin ditaati bukan?” Kau mengangguk. “Taati dulu peraturan.” Kau menunduk semakin dalam. “Tapi apakah saya harus membiarkan mereka menyentuh perempuan tak berdosa? Maaf, saya tak bisa.” Ucapmu membela diri. “Ray..” “Kalau begitu, keluarkan saja saya, ust..” “Bersyukur kau masih baru. Ini peringatan pertama” ucap ustadz dingin. Kau mengangkat wajah. “Kuberi tahu kau satu rahasia, bahwasanya membalas rasa sakit orang-orang yang menyakiti kita boleh jadi memang memberikan rasa puas, kebahagiaan. Ya, biar tahu rasa. Tapi sebuah sikap terbijak dari sebuah pembalasan justru terletak saat kita bisa melakukannya, tapi kita memilih memaafkannya. Itu sungguh akan memberikan rasa puas, kebahagiaan yang lebih hakiki. Menentramkan. Kalaupun kau ingin membalasnya, lakukan dengan cara yang elegan. Bermutu. Itu baru anak yang berkualitas. Pikirkanlah, kau sudah dewasa.” Kau mengangguk. Mengerti pesan ustadz.
Hari-harimu begitu bersinar akibat pertemuan itu. Nasihat ustadz selalu terbayang-bayang ketika Zenus dan komplotannya mengganggumu. Ustadz itu, bagimu lebih dari seorang ayah. Zenus semakin tertinggal. Jauh di belakang. Bagaimana mungkin bisa? Zenus bangun jam 5 subuh, kau bangun jam 3.. Zenus menghinamu, kau membayarkan tagihannya di kantin. Zenus marah, kau diam, tak peduli. Zenus mendapat juara 1 kelas, kau mendapat penghargaan tingkat nasional. Beraksilah kau sesukamu Zenus, aku takkan surut!
Dan hari ini adalah hari bersejarahmu, kau akan menerima penghargaan tentang esaimu yang judulnya kau ambil dari pembahasanmu dengan laki-laki paruh baya itu tempo hari, sudah jauh-jauh hari kau berjanji dalam hati untuk memberikan hadiahnya kepada laki-laki menenangkan itu jika berhasil memenangkan lomba.
Harimu makin cerah, ketika melihat gadis itu dari dalam mobil yang akan mengantarkanmu ke acara. Sapu tangan tipis itu berwarna abu-abu muda. Kau tersenyum.
Mobil yang mengantarmu berlaju kencang, 5 menit lagi acara dimulai. Kau semakin berdebar-debar. Halaman dome sesak dengan mobil dan motor. Kau berjalan tegak memasuki Dome, tribun riuh rendah dengan ucapan selamat juga foto bersama. Tak lama setelah kau duduk. Riuh rendah tersebut perlahan hilang mendengar mc yang mengarahkan tamu undangan untuk duduk dengan tenang.
Acara sudah dimulai, “Baik, sekarang kita beralih ke kategori penulisan esai tingkat nasional antar pelajar SMA” Tepuk tangan bergemuruh “Dan juara untuk lomba ini ternyata berasal dari santri pondok pesantren, wow.. Nampaknya kita tak bisa memandang anak pondok sebelah mata. Diam-diam, karyanya begitu mengagumkan, pemuda ini bisa memadukan dengan cantik dan rapi perihal sistem pemerintahan beberapa abad lalu dengan era globalisasi kita. Yang penasaran silahkan baca sendiri atau langsung bertemu saja dengan pemuda yang bisa dibilang gagah ini” Hadirin tertawa, Kau tersenyum mendengar pujian itu. Berusaha mengontrol diri agar tak kelihatan norak. “Kita Panggil.. Rayhan Zulkaram. Silahkan maju ke panggung. Dan kepada bapak Menteri koordinator bidang politik, dipersilahkan untuk menyerahkan penghargaan ini”
Tepuk tangan membahana, bergemuruh seantero dome. Namun sayang, 4 langkah kau mendekati podium, saat itu juga panggilan mendadak dari supir pondok yang mengantar mengejutkanmu. Seakan lupa itu adalah hari bersejarahmu, lupa akan panggilan podium itu, kau berlari meninggalkan Dome, semua orang menoleh kepadamu. Heran dengan tingkahmu.
Tidak, ustadz harus bertahan.. Kau berlari memasuki RS, beberapa santri menyambutmu. Tanpa basa basi kau berlari menuju ruang operasi. Beberapa perawat melarangmu masuk. Kau memberontak. Memaksa masuk. Perawat terus mencegahmu sampai seorang dokter keluar dari ruangan itu. Kau langsung menghampiri dokter tersebut, “Bagaimana keadaan beliau, dok?”. Dokter terdiam. Sayang. Sudah terlambat. Kau kalah cepat dengan malaikat yang menjemput Ustadz. Tuhan tak mengizinkan kalian bertemu untuk yang terakhir kalinya. Kau terhenti. Tak percaya. Tersandar di dinding. Tergugu. Kenapa harus sekarang? Kenapa begitu cepat? Baru saja aku harus merasakan kasih sayang seorang ayah. Kepada siapa lagi akan kupersembahkan prestasiku ini? Ibu.. Lihatlah, aku menjadi yatim piatu untuk yang kesekian kalinya. Ibu.. Mendengarkah kau di sana? Lihatlah anakmu ini. Sebatang kara.
Suasana pemakaman begitu khidmat. Kau ikut mengangkat peti jenazah, sepanjang perjalanan kau menangis dalam diam. Usai penguburan, satu dua orang pergi meninggalkan pemakaman, tinggal kau yang bertahan. Seorang pengasuh pondok menghampirimu. Mengantarkan sebuah surat, “Dari ustadz..” Ucapnya lalu pergi. Kau membuka surat itu. Mulai membaca.
Untuk Ray..
Kau menghembuskan napas berat.
Ray, dulu, saat kau berusia lima tahun, ibumu menelepon. Menceritakan kondisi keluarga kalian yang berantakan. Ayahmu yang sering memukul ibumu dan diam-diam selingkuh dengan rekan kerjanya. Ibumu menangis tersedu-sedu. Takut akan masa depanmu, besar dari keluarga retak. Paman terkejut bukan main. Merasa bersalah dengan kelakuan adik paman yang begitu kontras dengan kehidupan paman.
Alismu mengerut. Paman?
Dan apakah kau tahu alasan Zenus begitu membencimu? Karena dia adalah anak dari perempuan selingkuhan ayahmu Ray. Mereka berdua menikah tanpa izin Zenus. Suatu hari mereka pergi berbulan madu ke suatu tempat. Namun sayang, Tuhan tak mengizinkan mereka memadu kasih. Mobil yang mereka kendarai menabrak trotoar. Kepala ayah dan ibumu terbentur. Meninggal dunia, bersama. Zenus sangat terpukul mendengar berita itu.
Kau meremas ujung kertas
Mengetahui apa yang terjadi, paman akhirnya memutuskan untuk mengadopsi Zenus. Menyekolahkannya di pondok ini. Dia tumbuh menjadi anak yang cerdas dan baik. Hingga suatu hari paman mendapat kabarmu, keponakanku satu-satunya. Lalu membawamu ke sini.
Zenus tahu kau adalah anak dari seseorang yang merebut ibunya melalui buku agenda paman, paman tak sengaja melihatnya membaca buku paman ketika masuk kamar. Sejak itu, Zenus berubah. Dia membencimu karena ayahmu. Itu sebabnya dia selalu mencari-cari masalah.
Ya Ray, Ustadz adalah pamanmu. Kakak ayahmu. Maafkan paman yang merahasiakan ini. Paman hanya ingin menggantikan ayahmu. Membalas semua kepahitan yang dibuat ayahmu. sebagai penebus dosanya, menjadikanmu anak shalih dan cerdas, agar kau bisa menjadi investasi akhirat untuknya, agar ayahmu bisa selamat dengan doa-doamu anak shalih, juga bisa beristirahat dengan tenang. Ray, maafkalnah ayahmu nak, doakan dia. Karena hanya kau satu-satunya harapan untuk menyelamatkannya. Meringankan bebannya di akhirat.
Ray.. Nampaknya tugas paman sudah selesai. Penyakit ini juga terlalu sulit untuk dihilangkan. Paman sudah tua, Paman merasa tak akan hidup lama lagi. Kini kau tumbuh dengan shalih, gagah dan cerdas. Paman rasa hal itu sudah cukup untuk menjadi bekalmu nanti. Maafkanlah cara paman nak. Dan ikhlaskanlah paman..
Kau tergugu. Tertunduk dalam. Di belakangmu, ternyata Zenus sejak tadi berdiri. Mematung.
Hujan membasahi pemakaman. Burung-burung berlarian mencari tempat berlindung, Kau tertunduk memeluk nisan pamanmu.
“Kau tidak sebatang kara, Ray”
Guntur menggelegar, hujan semakin deras. Zenus mendekatimu.
“Maafkan sikapku yang selama ini membuatmu tak nyaman berada di pondok.” Zenus memeluk pundakmu.
“Mulai sekarang dan selamanya, kita adalah saudara.”
—
“Sudah. Cepat. Sebentar lagi acaranya dimulai.” Gadis itu kini tak mengenakan sapu tangan tipis itu, begitu cerewet, kau tersenyum melihatnya sibuk mengatur pakaian yang akan kau pakai untuk pidato politik pertamamu sebagai kandidat calon gubernur nanti.
“Aras..” Kau menatap lamat-lamat gadis itu, yang ditatap tetap fokus memasangkan dasi. Tangan gadis itu begitu gesit, kau menahannya. Aras terhenti, menatapmu.
“Bersediakah kau menjadi ibu Negara, kelak?”
Hening.
“Bersiaplah, aku akan menjadi titisan khalifah Abu Bakar.”
Cerpen Karangan: Ayu Wandira Blog: ayu-irwanto.blogspot.com