Bagaikan ingin menggapai gemerlapan bintang jauh dari dalam dasar lubang cacing, begitu pula rasanya diriku berusaha mencari lembar-lembar ilmu. Yang begitu sangat mustahil bagi orang berpenampilan kumuh seperti ini, setiap hari hanya bergulat dengan batu, debu dan kerikil, serta peluh yang bagai air hujan mengguyur deras dari kepala sampai ke ujung kaki, setiap saat menanti harapan yang seakan membuat semangat hampir pupus.
Desa Batu, sebuah desa di dasar lembah pedalaman Flores yang sangat terisolir dari namanya teknologi, transportasi dan edukasi. Setiap hari penduduknya harus naik turun bukit hanya sekedar mendapatkan tetes-tetes air. Bagi orangtua di sana pendidikan bukanlah hal penting yang harus mereka pikirkan untuk anak mereka dan mungkin mereka juga tak tahu apa itu pendidikan. Bisa hidup sampai esok hari saja sudah merupakan hal yang baik dan teramat sangat membanggakan. Tiada hari tanpa bekerja dan tiada hari yang mereka kenal untuk belajar.
“Beta O Ina, cita-cita beta seorang guru, kelak beta akan mengajarkan ilmu yang banyak untuk anak-anak di sini, sehingga kami tak kan tertinggal lagi di kedalaman lembah”, setiap malam sebelum kembali ke peraduan, selalu kutekadkan itu di dalam hati berharap esok ada harapan cerah yang datang. Walaupun kami tinggal jauh dari keramaian, namun itu tidak serta merta membuatku ingin berpemikiran tertinggal pula, pernah terdengar olehku berita tentang sekolah di kota dan tentang bagaimana orang-orang di sana bisa sukses dari seorang paman, teman ayahku yang sesekali berkunjung ke sini. Saat itu seakan kulihat harapan bak sinar terang yang keluar dari batuan bukit, bagaimana bisa pendidikan membuat orang semaju ini?.
Paman Ori namanya, lelaki berumur 40 tahun yang sering berkunjung ke rumah, berperawakan ramah, bijak dan penyabar, ia adalah seorang guru. Setiap cerita yang ia bawa dari kota selalu membuka cakrawala pemikiranku, ingin pula rasanya diri ini bisa berpendidikan sepertinya. Paman itu pernah berjanji padaku, bahwa suatu hari ia akan mengajarkanku kalau memiliki waktu luang, rasanya tak sabar menunggu hingga saat itu tiba.
Kokok ayam membangunkan sang fajar, pagi dengan kabut tebal, udara sejuk serta bau-bau pepohonan beriringan bergantian dengan bau bebatuan yang begitu khas. Suasana pagi cerah di desa Batu, seperti biasa semua orang telah bangun dari awal, bersiap melanjutkan hidup mendaki bukit-bukit yang ada di sekitar lembah, berusaha mencari jalan-jalan air yang bisa ditampung dan mencari buah serta bahan makanan untuk dimasak, karena sepertinya belum ada satu tungku pun yang mengepul dari rumah-rumah yang tersusun rapi di lereng itu.
Tak ingin kalah oleh kokok ayam yang begitu bersemangat, aku pun mulai bergerak, berusaha membangunkan badan, mempersiapkan peralatan untuk mencari makanan, kayu bakar serta air di bukit. “kapan aktivitas ini bisa berganti dengan aktifitas lain, rasanya setiap hari hanya ini yang bisa kulakukan, memikirkan soal perut, perut dan perut, apakah tak bisa sekali saja aku bisa memikirkan tentang ilmu atau pelajaran seperti yang diceritakan paman Ori?”, mulutku bergumam sendiri, hanya semilir angin yang mendengar gerutuan itu, mataku nanar, merasa percuma karena angin tak bisa menjawab, buatku pergegas langkah. Sepertinya semua orang sudah pergi ke bukit, aku tak boleh terlambat kalau tidak nanti aku bisa sendirian saja di kaki bukit yang berhutan lebat.
Letak desa Batu yang berada di dasar lembah, berkelilingkan bukit-bukit berhutan lebat dan berbatu cadas, membuat desa ini benar-benar terisolir, jangankan kecanggihan teknologi yang mereka dapat. Bantuan medis, tenaga pendidik serta bahan makanan pokok pun tak terjangkau ke sana. Bukannya pemerintah tak ingin, namun transportasi yang tak memadai. Mungkin hanya segelintir orang yang telah terbiasa dan berurusan penting saja bisa ke desa ini. Hal ini menyebabkan anak-anak jauh dari namanya pendidikan, setiap hari mereka hanya disibukkan dengan urusan perut belaka. Entah kapan penduduk di sini bisa dijamahi oleh kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi dan entah kapan masanya anak-anak di sini dapat mengenyam namanya pendidikan, padahal mereka adalah harapan bangsa, dari tangan-tangan mungil mereka itulah kelak penentu ke mana negeri ini akan dibawa.
Sudah lebih dari 7 generasi keluargaku berada di kedalaman lereng ini, tak satu pun dari mereka mengenal apa itu sekolah, apa huruf itu dan apa gunanya angka-angka, bagaimana ilmu alam itu, bagaimana alam ini bisa terbentuk, tak satu pun yang paham. Pernah ku bertanya, bagaimana kupu-kupu bisa berubah dengan begitu indah, padahal ia berasal dari seekor ulat, bagaimana? dan seberapa panjang proses yang telah ia lalui?, sekali lagi tak ada yang bisa menjawabku. Tersadar diriku bahwa begitu lemahnya pemikiran orang yang tak berilmu, membuat ku tak ingin seperti mereka. Aku ingin seperti paman Ori.
Dulu pernah suatu ketika aku berkisah bodoh dengan selembar kertas, saat itu, seperti biasanya kulangkahkan kaki mendaki batuan bukit, tak sengaja tampak olehku selembar kertas kumuh, dengan gambar yang tak jelas lagi serta remukannya yang menggambarkan sudah terlalu lama kertas itu terbuang. Sepertinya peninggalan dari pendaki bukit yang sering melewati jalur setapak ini. Namun, penemuan kertas itu membuatku sangat girang, dengan begitu senangnya kupeluk kertas lusuh tak berbentuk itu, bak mendapat sebuah hadiah besar.
Setelah kuperhatikan lama sesuatu yang baru kutemukan itu, diriku terdiam sejenak, “apa yang ada di dalam kertas ini? apa arti semua tulisan yang beta tak mengerti ini? begitu banyak dan tersusun rapi, namun beta tak mengerti”.
Pergi berlari kuturuni batuan bukit, tak peduli tajamnya batuan kerikir menusuk kaki, kucari mama dan kutanyakan apa ini?, tapi mama juga tak mengerti kutemui oma-oma yang sedang menganyam, sama, mereka juga tak mengerti “bagaimana kau ini Ina, melihat anyaman ini saja oma tak bisa, apalagi kau suruh membaca bahasa yang tak pernah leluhur ajarkan”. Saat itu ku benar-benar tersadar, bak tertampar diri ini, betapa rendah dan jauh tertinggalnya kampungku, hanya untuk mengetahui isi selembar kertas saja pun tak bisa?.
Duduk terdiam ku di atas bebatuan di tepi hutan sambil memegangi kertas lusuh itu, sambil berpikr keras apa sekiranya isi kertas ini?. Dengan tak sengaja paman Ori menghampiri, ternyata ia baru saja sampai ke kampung. Kuutarakan semua kegalauanku, dan ternyata ia mengerti, dengan senyumnya yang simpul dibacakannya semua kata-kata yang ada di kertas, dan diajarkannya aku apa itu huruf dan bagaiman cara membacanya. Akhirnya ku mengerti, bahwa paman Ori lah orang yang sedari tadi seharusnya kucari, semakin bertambah kekagumanku pada sosok satu ini, kuberharap kelak bisa benar-benar sepert dirinya.
Suatu hari, paman Ori datang lagi ke rumah, namun kali ini ia tak datang dengan hanya berlenggang, sepertinya ia membawa sebuah bingkisan, apakah kiranya isi bingkisan itu?. Bertanya-bertanya sendiri, karena paman Ori selalu saja membawa kejutan kalau berkunjung ke rumah. Kejutan dari kisah-kisah barunya atau kejutan lainnya yang membuatku selalu menunggu kedatangannya. Dikeluarkannya bingkisan berbentuk kotak berbungkus biru, ternyata hanya sebuah kardus yang tampak tak ada istimewanya, “kenapa paman membawa kardus itu untuk kami, apa gunanya?”, pertanyaanku yang lugu dijawabnya dengan penuh wibawa “jangan lihat sesuatu dari luarnya, lihat dari apa yang ada di dalamnya, karena mungkin di dalam ini penuh dengan ilmu yang tak ternilai harganya”, mendengar kata ilmu membuatku antusias, apakah kiranya ini?.
Kardus terbuka tampak olehku tumpukan buku yang sesak mengisi setiap sudut, paman Ori memang selalu membawa kejutan yang tak terduga. Kubuka lembar demi lembar satu persatu, namun tak satupun yang bisa kumengerti. Maklumlah jangankan untuk membaca, huruf pun aku tak tahu, yang kutahu hanyalah jalan setapak menuju bukit melewati batuan tajam, dan tak ada bacaan yang harus kulihat untuk pergi ke sana.
Begitu tertinggalnya desa ini, sehingga semua penduduk di sana rata-rata buta huruf, termasuk kedua orangtuaku. Namun bagi mereka tak ada gunanya, mau mereka buta huruf atau pun tidak, toh tak ada pengaruh juga. Karena hidup mereka akan tetap berjalan seperti ini, tak ada perubahan. Pemikiran orang-orang desa memang sangat jauh tertinggal, mungkin hanya aku satu-satunya yang berharap adanya sekolah atau tenaga pendidik yang bisa mengajar di sini, karena aku sangat ingin untuk bersekolah. Sering kali aku diejek, karena teman-temanku memang tak mengerti. Akhirnya kucoba meminta bantuan pada paman Ori, untuk meminta permohonan pada orang di atas agar bisa melihat kami yang ada di bawah ini, jangan sampai kami benar-benar tenggelam jauh di dalamnya lembah ini, kami juga ingin seperti mereka yang di kota, “tolonglah paman, ina juga ingin seperti paman yang bersekolah, dan menjadi guru”.
Mendengar permintaanku yang tulus, membuat paman Ori tak tega untuk menolak. Ia berjanji kepadaku untuk mencarikan bantuan tenaga pendidik dan meminta bantuan pemerintah untuk menyalurkan bantuan seperti peralatan tulis, buku-buku pelajaran dan lainya, dengan sangat berharap orang-orang itu dapat memenuhi permintaan kami anak negeri yang tertinggal ini.
Hari berganti, minggu bertukar dan bulan pun saling bergiliran menempati posisinya, seakan waktu berlalu begitu cepat namun tak satu pun nampak janji yang terlanjur terucap itu terbukti, telah lama kami menunggu bantuan. Seribu harapan telah ku beri, tak mudah memang mengajak mereka untuk mau berpartisipasi, ditambah lagi dengan larangan orangtua yang membuat mereka terkekang, apakah kami ini tak pantas untuk sekolah juga? apakah waktu hidup ini hanya digunakan untuk bekerja naik turun melewati batuan itu? kapan batu itu bisa jelas ditulis seperti kertas?, kapan pemikiran mereka bisa berubah?
Sia-sia menunggu, tak jua ada yang datang, akhirnya ku kembali kerutinitas awal, kembali bergulat dengan bebatuan bukit. Tak heran memang walaupun seorang anak perempuan, namun, bagiku tanjakan bukit belumlah seberapa dibandingkan tanjakan hidup kedepan yang begitu tinggi.
Malam itu, langit cerah seakan menggambarkan setiap impian yang menjadi angan-angan, “mama tak mengerti mengapa Ina begitu ingin sekolah, bukankah percuma? hidup kita akan seperti ini saja toh”, pertanyaan mama kujawab dengan singkat “beta ingin merubah”, “apa yang ingin Ina rubah?”, “pemikiran kita mama, desa kita, generasi-gerasi penerus biar kita bisa maju”, hanya anggukan yang kuasa mama berikan padaku pengganti kata. Semangat hati akhirnya diakui oleh keluarga, sekarang tinggal menunggu kesempatan yang telah dijanjikan itu.
Suatu ketika, ditengah teriknya mentari, peluh berjatuhan setelah berulang kali turun naik bukit, tampak serombongan orang dari atas bukit yang sepertinya ingin turun ke lembah, orang-orang desa Batu merasa heran, ada apakah gerangan? ternyata janji paman Ori berbulan-bulan yang lalu terwujud juga.
“PONDOK PINTAR” begitulah namanya, terpampang jelas di depan sebuah bangunan, 2 bulan sudah pondok ini berdiri. Setelah kedatangan rombongan paman Ori beberapa bulan yang lalu, akhirnya para pendidik itu bisa mendirikan pondok untuk anak-anak di sini, seperti keinginan O Ina yang begitu besar untuk sekolah. Cerita paman Ori tentang O Ina membuka hati orang-orang besar di sana, sehingga mereka mendapat bantuan untuk mengajar di desa batu, walaupun diawal sangat sulit membuka hati orangtua agar bisa melepas anaknya untuk sekolah dan tidak bekerja lagi, namun si kecil O Ina dengan bujuk rayunya membuat mereka mengerti.
Sekarang paman Ori paham bahwa, walaupun desa ini tertinggal namun tak semuanya berpemikiran tertinggal pula, semangatku mengidolakannya membuka hati orang banyak, begitu pula kisahku dengan selembar kertas telah menyentuh relung hati paman Ori, tak ada yang tak mungkin dengan harapan dan api semangat, tak ada yang mustahil. Mungkin untuk kita menjadikan kertas di tumpukan batu, dan mungkin juga kita menggapai bintang di lubang cacing, dan sekarang aku tahu bahwa butuh proses satu bulan untuk menjadi kupu-kupu berarti juga butuh proses lama bagiku untuk bisa sukses seperti paman Ori.
Cerpen Karangan: PRD Facebook: putri rahmadianti AVG Sang cerita