Bandung, 2000 Aku memandang keluar jendela kereta, orang-orang sedang berlalu-lalang menyongsong pagi dengan semangat. Aku melihat segerombolan anak kecil berbondong-bondong menggowes sepeda dengan seragam SD dan senyuman penuh ceria terlukis di wajah mereka. Melihat kejadian itu, terbersit ingatan menghampiri benakku.
Desa Cimangguhilir, 1989 “Bu, Malik berangkat ya!! Assalamualaikum!” “Iyoo, Walaikumsalam”. Teriak ibuku dari belakang menyiapkan kue yang akan segera dibawanya untuk dijual. Aku pun bergegas mengambil sepeda ontelku yang sudah lusuh, peninggalan ayahku saat muda. Sudah lama sejak aku dan ibuku ditinggalkan olehnya tanpa sepengetahuan kami, meninggalkan tanpa penjelasan. Ibuku adalah wanita hebat. Dengan hanya seorang diri, mampu membesarkanku selama ini tanpa mengharap imbalan.
Waktu menunjukkan pukul 7 kurang 15, sebentar lagi aku akan telat! Tadi pagi aku bangun kesiangan karena harus belajar sampai tengah malam. Pergilah aku ke rumah Banyu, teman baikku. “Nyuu, ayo berangkat nyu!” “Yuk Mal nanti kita telat!” Lalu berangkatlah aku ke sekolah dengan segera bersamanya.
Aku dan Banyu setiap hari harus menempuh jarak sejauh kurang lebih 1 kilometer, belum lagi jalannya berbatu-batu dan berliku-liku. Ada pula jembatan yang harus kami lewati di atas sungai yang jernih, yang kondisinya sudah tidak layak, membuat kami harus ekstra hati-hati. Lalu menyusuri sawah, naik-turun bukit, ah semuanya lengkap. Terkadang aku berpikir mengapa aku harus melewati jalan yang penuh rintangan hanya untuk menimba ilmu. Padahal, di desa ini ada bapak kepala desa yang seharusnya membangun prasarana yang lebih layak.
15 menit kemudian, aku sampai di bangunan yang lebih pantas disebut ‘gubuk’ daripada sebuah sekolah. Atap yang bolong-bolong, hanya berlantaikan tanah, fasilitas yang seadanya.. Namun kenyataannya itulah tempat dimana selama ini aku menghabiskan waktuku belajar. Murid di sekolah kami tidak pernah bertambah, malah semakin berkurang karena kebanyakan dari mereka putus sekolah demi bertahan hidup. Ada 3 ruangan di sekolah kami. Ruangan pertama untuk anak berusia 6-11. Ruangan kedua adalah tempat di mana aku berada, ini adalah untuk anak usia 12-14. Ruangan ketiga adalah untuk anak berusia 15-17. Sekolah kami hanya memiliki 3 guru dan guru kami Bu Lia juga adalah seorang kepala sekolah.
Kegiatan belajar baru akan segera dimulai. “Maaf Bu, kami telat!” kata kami bersamaan. “Silakan duduk Malik, Banyu” Balas Bu Lia ramah, Bu Lia hampir nggak pernah marah.
Pemandangan yang biasa kulihat setiap pagi, Irsan yang sedang tidur dengan pulasnya. Ia adalah anak dari Bapak Kepala Desa kami. Hidupnya jauh lebih beruntung daripada kebanyakan dari kami. Baju yang putih bersih, perlengkapan sekolah yang lengkap, sepatu yang selalu tampak seperti baru karena masih mengkilap. Namun mengapa dengan segala kemewahan dan kesempurnaan hidup yang ia miliki, ia tidak pernah memanfaatkannya dengan baik. Ia justru bermalas-malasan mengira hidupnya sudah memadai untuk masa depannya.
Hari itu keresahanku sudah sampai puncaknya, aku pun menegur Irsan dengan berkata “San, daripada kamu gak ada kerjaan, lebih baik kamu belajar. Kasian kan itu bukumu diabaikan.” Irsan membantah “Heh, siapa kamu berani-beraninya menyuruh apa yang harus saya lakukan? Kamu gak tau bapak saya siapa? Kalau mau saya juga bisa membiayai hidup kamu selama kamu hidup. Orang miskin seperti kamu bisa apa sih? Sok-sokan negur saya.” Aku tersentak. Ternyata tidak hanya pemalas, Irsan ini juga orang yang angkuh. Selama Irsan pindah ke sekolah kami, aku tidak pernah melihatnya berbicara dengan siapapun dari kami, mungkin ia merasa kalau kita tidak pantas berbicara dengan orang ‘mulia’ sepertinya. Wajahnya yang kelihatan menyebalkan dan tidak ramah hanya membuat kami semakin takut membuka percakapan dengannya. “Saya sekolah di sini itu terpaksa. Kalau bisa memilih, saya gak mungkin mau belajar di tempat yang seperti kandang sapi ini.” Kalau Bu Lia dengar, ia pasti sangat sedih. Tidak mau berdebat pagi-pagi, aku memilih mundur.
Setiap hari sehabis pulang sekolah, sekitar pukul 1 siang aku membantu ibuku menjual kue gemblong. Aku berkeliling menjajakan kue yang berwarna cokelat keemasan itu di pasar dekat rumahku. Tidak banyak penghasilan yang kudapat, ya hanya dapat menjual sekitar 10-20 biji lah. Satunya seharga Rp. 2000. Uang hasil penjualanku dipakai untuk biaya perlengkapan sekolah dan untuk membiayai kehidupan aku dan ibu, kalau dapat lebih kadang aku tabung untuk biaya kuliahku nanti. Aku berhenti jualan sekitar pukul 4 atau pukul 5 sore. Setelah aku pulang bekerja, aku makan dan setelah itu aku mandi dan pada malamnya belajar. Aku belajar setiap hari sekitar 1-2 jam. Walaupun terkadang aku letih setelah bekerja, aku tetap harus belajar karena keduanya adalah demi bertahan hidup. Aku pun tetap bersyukur karena aku masih bisa sekolah sementara teman-temanku harus putus sekolah karena kurangnya biaya. Satu hal lagi yang membuat aku terdorong untuk sekolah adalah karena impianku untuk menjadi arsitek yang harus aku kejar.
Desa Cimangguhilir, 1992 Hari demi hari, tahun demi tahun telah terlewati. Tidak terasa, sudah saatnya aku mengejar angan-anganku yang sejak dulu aku impikan. Aku pun ingin melanjutkan studiku ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu kuliah. Suatu hari “temanku” Irsan memberitahu kepada ayahnya bahwa aku sedang berusaha mau kuliah. Ngomong-ngomong, Desa Cimangguhilir semakin tidak terawat di bawah pimpinan yang sekarang, yakni ayahnya Irsan. Ia tidak pernah mempedulikan kami. Sudah 1 tahun masa jabatannya terlewati, namun hanya ada satu perubahan yang ia lakukan, itu pun hanya menaikkan harga sayur di pasar. Bukannya memajukan desa kami, rumornya sih beliau mengambil uang rakyat alias korupsi. Kami sudah sering demo, namun dari pemerintah atasnya pun tidak menggubris permasalahan ini dan memilih untuk tidak menindak-lanjuti. Mereka hanya senang berfoya-foya di atas penderitaan kami. Tak kusangka, sifat tercela ayahnya menurun juga ke anaknya. Atau memang, semua orang kota seperti itu? Aku tidak tahu bagaimana Irsan memberi tahu ayahnya soal keinginanku untuk kuliah, namun tiba-tiba sepulang sekolah saat aku ingin menaiki sepedaku, Pak Yogi, ayahnya Irsan mendatangiku setelah kulihat Irsan menunjuk-nunjuk ke arahku.
“Eh kamu anak kampung! Sok-sokan aja mau kuliah, emang mampu? Hahaha” katanya kepadaku sambil tertawa merendahkan. Sontak aku merasa kaget, namun juga kesal. Ada Irsan juga di sebelahnya, memandangku dengan senyum yang sinis sambil melipat kedua tangannya di dada. “Jangan mentang-mentang Bapak itu Kepala Desa, Bapak jadi meremehkan rakyat kecil seperti saya. Pegang kata-kata saya ya, saya pasti bisa berangkat kuliah!” Sebenarnya aku tidak terima harga diriku diinjak-injak, namun daripada urasannya makin panjang, aku memutuskan untuk pergi meninggalkan keduanya.
Mendengar hal itu tekadku untuk kuliah menjadi lebih bulat. Aku mencari informasi ke semua orang yang aku kenal termasuk Bu Lia. Bu Lia adalah guru yang paling baik yang pernah aku temui. Ia sangat cerdas, sopan dan juga perhatian kepada murid-muridnya. Dari dulu saat aku masih duduk di bangku SD, aku memang sudah dekat dengannya. Kami selalu berbincang-bincang sepulang sekolah di tanah lapang yang dipenuhi alang-alang, letaknya tepat di sebelah sekolahku. Dan karena sekolahku terletak di bukit, angin pada sore hari selalu dapat menenangkan hatiku bila sedang kacau, apalagi jika ada Bu Lia yang siap membantu apapun masalah yang sedang kuhadapi. Aku sudah menganggapnya selayaknya ibu keduaku, dan karena ia belum memiliki anak, dia juga sudah memperlakukanku seperti anaknya sendiri.
“Kamu anak yang cerdas Malik. Kejarlah impianmu setinggi langit, kalaupun kamu gagal kamu akan jatuh di antara bintang-bintang. Ibu yakin dan Ibu percaya, kamu pasti bisa.” Kata-kata itulah yang selalu terlontar dari mulutnya. Ditambah lagi, beliau juga yang paling membantuku untuk dapat menggapai cita-citaku. Ia dengan cuma-cuma memberikanku bimbingan belajar tambahan selepas sekolah bersama beberapa murid lain yang juga bertekad melanjutkan ke perguruan tinggi negeri. Maklum, di desa kami tidak ada tempat bimbingan belajar seperti di kota yang memudahkan agar diterima di perguruan tinggi. Bu Lia hanya mengajarkan kami bermodalkan buku bekas ujian nasional tahun kemarin yang sudah lecek. Aku dengan giat selalu memperhatikan apapun yang diterangkannya karena impianku yang ingin berkuliah di Universitas perguruan teknik ternama di Bandung. Bu Lia dulu sempat mendaftar ke Universitas itu, makanya ia bisa membantu aku mendaftar juga.
Jerih payahku akhirnya terbayarkan. Aku telah dinyatakan diterima di Universitas tersebut setelah sebulan sebelumnya mendaftar. Mungkin juga karena Ibuku yang senantiasa mendoakanku. Entah mengapa aku tidak bisa mendapatkan beasiswa bidikmisi, padahal pemasukan Ibu dan aku saja tidak tentu. Mungkin, karena faktor pemerintah yang terkadang masih lalai dalam persoalan ini. Namun aku harus menyudahi untuk meratapi masalah ini dan harus berjuang sendirian mencari beasiswa.
Tiba-tiba aku mendapat surat dari sebuah perusahaan kontraktor, isinya adalah bahwa aku mendapat beasiswa dari sana. Semuanya karena prestasi yang aku dapatkan dari menjuarai olimpiade-olimpiade tingkat kecamatan maupun kabupaten. “Buk, Malik dapet beasiswa Buk!” Teriakku kegirangan dari ambang pintu kepada Ibu yang sedang sibuk di dapur. Terdengar ibu lari menghampiriku. “Alhamdulillah, Malik!!” Kata Ibu sambil memelukku erat, “Ibu nggak percaya nak, kamu bisa sampai seperti ini.”
Bandung, 1995 Dalam 3,5 tahun aku telah menyelesaikan studiku, waktu yang terbilang cepat untuk mahasiswa teknik sepertiku. Semua berkat perjuanganku bersungguh-sungguh menempuh ilmu, maka semuanya berbuah manis. Aku dapat lulus lebih dulu di banding teman-temanku yang lain. Betapa bahagia dan gembiranya aku. Lega dan puas, hanya kata itu yang bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Semua ilmu yang telah aku dapatkan semenjak aku bersekolah di Desa Cimangguhilir, sampai akhirnya aku dapat berkuliah di Universitas yang sangat amat bergengsi (yang kadang masih membuatku tidak percaya aku dapat berkuliah di sini), tidak sia-sia, dan akhirnya terbayarkan dengan gelar Cumlaude yang kuraih. Kabar suka cita ini akhirnya sampai ke telinga ibuku. Senyum sumringah nan hangat terpancar dari bibir manisnya itu. Ia sampai menitikkan air mata, pertanda dia bangga dengan anak semata wayangnya itu.
Setelah wisuda, aku pun melanjutkan impianku yang sebenarnya. Menjadi arsitek. Aku memutuskan untuk bekerja di Bandung saja, karena sudah nyaman dengan kota ini. Sudah cukup lama aku bekerja menjadi arsitek, dan aku merasa senang akan hal itu. Lalu ingatanku tertuju kepada Desa Cimangguhilir. Apa kabar desa itu? Aku pun memilih cuti sementara dan berniat kembali ke Desa tercintaku untuk bertemu ibuku yang sudah lama tak kujumpai. Sekarang aku berdiri di sini. Desa di mana aku membesar, menimba ilmu, menghabiskan masa kecilku yang begitu ceria.
Namun sekarang yang terlihat di depan mataku adalah kota mati. Yang tersisa hanyalah sisa puing-puing bangunan. Sawah dan pepohonan sudah lenyap. Semuanya sirna. Aku tertegun sesaat. Tidak ada lagi pasar yang ramai dipenuhi oleh ibu-ibu yang berdesakan ingin membeli sayur, tidak ada lagi peternakan kambing, tidak ada.. Aku kembali untuk melepas kerinduanku kepada desa ini, namun bukannya kondisinya membaik, sekarang malah hancur lebur. Setelah mendapat informasi dari masyarakat-masyarakat di sini yang sebagian wajahnya masih kuingat, ternyata baru sekitar kurang lebih satu minggu yang lalu terjadi gempa dahsyat di desa ini. Seluruh penduduk Desa Cimangguhilir terpaksa diungsikan di sebuah posko. Lalu kusambangi posko itu, keadaannya sungguh memprihatinkan. Hatiku terpukul. Mereka dibiarkan terlantar begitu saja, tanpa ada bantuan yang signifikan. Ternyata Kepala Desanya masih sama, Pak Yogi. Kulihat, nampaknya ia kelihatan begitu kewalahan mengatasi semua ini. Dengan inisiatifku sendiri, kudatangi Pak Yogi.
“Siang Pak, masih ingat saya? Malik.” “Malik yang mana ya?” “Malik yang Bapak bilang cuma anak kampung yang tidak mungkin bisa kuliah. Sekarang saya sudah lulus kuliah dan sedang menjadi arsitek, Pak.” Nampak mukanya berubah menjadi terheran-heran seakan tak percaya. “Ooh, kamu rupanya. Selamat kalau begitu.” Jawabnya acuh tak acuh. “Terima kasih. Hmm, saya tidak menyangka situasi desa kami saat ini sangat hancur, keadaannya sudah tak layak huni. Lagi pula mau sampai kapan penduduk diungsikan di sini? Kasihan mereka. Jadi saya sepertinya mau membantu. Saya mau mendirikan kembali rumah-rumah untuk kami semua. Segala bangunan yang runtuh akan saya bangun kembali. Bapak tinggal menyiapkan dana saja, nanti saya dan teman-teman kerja saya yang akan merancang semuanya.” Ia menatapku dengan takjub. Lalu perlahan menganggukkan kepalanya dengan tegas.
Beberapa bulan penuh telah terlewati, kini Desa Cimangguhilir yang aku impikan telah terwujudkan. Sayangnya, ibu tidak bisa menyaksikan proyek yang telah aku kerjakan ini. Ibu sudah berpulang kepada Sang Pencipta. Dan di saat-saat terkahirnya pula, aku tidak bisa berada di sisinya untuk mendampingi. Hatiku terenyuh. Lalu di sela-sela kesedihan, aku tersenyum, nasihat Ibu dulu saat aku masih kecil terngiang-ngiang di kepalaku kembali, bunyinya “Malik, jadilah anak yang hebat, anak yang bisa membawa perubahan. Kelak, sejahterakanlah rakyat kecil seperti kita agar nanti tidak usah ada lagi orang-orang yang hidup susah kaya kita ya nak, ya. Majukanlah desa kita, supaya bisa dapat perhatian dari pemerintah, tidak seperti sekarang. Dan musnahkanlah para koruptor yang hanya bisa merampas uang kita.” Sambil mengelus kepalaku.
Desa Cimangguhilir, 2000 Dan begitulah kisahku. Sekarang keretaku sudah berhenti di stasiun pemberhentian terdekat dari desa yang telah kuhidupkan kembali, Desa Cimangguhilir. Aku sangat bangga atas semua pencapaianku, rasanya mau pamer saja sama ibu. “Ibu, Malik sudah melaksanakan semua pesan Ibu. Sekarang semua rakyat sudah bahagia dan sejahtera, persis seperti yang ibu mau. Andai saja Ibu masih ada di sini, andai saja…” Kataku pada diriku sendiri. Lantas kupeluk erat foto kesukaanku dengan ibu, tatkala hari pertama aku masuk sekolah saat masih berumur 6 tahun, menggunakan seragam merah putih yang tampak baru dan ibu yang sedang menggendongku dengan bahagia. Tak terduga, sebulir cairan bening mengalir ke bawah pipiku. Dan saat itu juga, langit yang sedari tadi mendung sekarang menurunkan pasukannya untuk membasahi bumi. Sepertinya, semesta sedang mewakili perasaanku. Apabila Ibu dengar, Malik rindu ibu.
Cerpen Karangan: Dyra Daniera Facebook: facebook.com/dyra.daniera Gadis bernama Dyra Daniera ini sekarang berumur 14 tahun dang tengah duduk di bangku kelas 9 di sebuah sekolah yang berlokasi di Bekasi. Ia gemar menulis, membaca, menari hingga menyanyi. Cerpen ini adalah salah satu cerpen karangannya yang inspiratif dan penuh amanat, semoga suka!