Orangtuaku bukanlah pengusaha kaya, bukan pula pegawai negeri akan tetapi mereka hanyalah petani biasa, tetapi perhatian mereka pada pendidikan begitu besar. Ayahku tamatan SMA sederajat dan ibuku tidak lulus SD dikarenakan saat ibuku duduk di bangku kelas 5 SD Ayahnya meninggal dunia ibuku pun berhenti sekolah untuk membantu nenekku.
Yang menjadi titik ledakan adalah saat kakakku pertama melanjutkan studinya di jenjang perkuliahan di UIN Malik Ibrahim Malang ketika itu aku duduk di bangku kelas 3 MI yang bertepatan pada tahun 2006 Ayahku harus pergi meninggalkan kami mencari pekerjaan di Negeri Jiran agar bisa membiayai perkuliahan kakakku. Bekerja di luar negeri tidak semudah membalikkan telapak tangan, bagi Ayahku yang saat itu karena Dia tidak mempunyai persyaratan agar dapat menetap di negara lain yaitu tidak memiliki pasport, itu merupakan saat terberat yang dirasakan oleh Ayahku saat pertama kali menginjakkan kakinya di Negeri orang lain.
Hutan adalah tempat favorit bagiNya dan gubuk yang dia miliki bersama teman-temannya untuk bertahan hidup juga seekor anjing untuk mengawasi mereka jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terjadi, selama dua tahun Ayahku harus seperti itu pagi hari pergi bekerja dan sorenya kembali bersembunyi di dalam hutan menghindari petugas yang mencari keberadaan orang asing yang belum memiliki pasport. Aku masih ingat saat itu pada malam hari kebetulan ibuku beada di kebun sedangkan aku dititpkan di rumahnya nenekku, telepon bulekku berdering, setelah dijawab ternyata itu telepon dari malaysia mengabarkan bahwa baru saja Ayahku dan teman-temannya tertangkap penggerebekan oleh para petugas kepolisian malaysia, mendadak jantungku berdetak begitu kencang pikiranku tidak karuan dan aku pun tidak bisa tidur saat itu dengan tangisan yang tidak mampu kubendung lagi aku pun hanya berdo’a pada Allah untuk melindung Ayahku sampai aku tertidur dengan pipi berbanjir air mata.
Sekitar kurang lebih tiga hari lamanya Alhamdulillah pertolongan Allah pun datang, kami dapat telepon kembali dari malaysia bahwa setelah diinterogasi Ayahku dibebaskan, tidak henti-hentinya kupanjatkan puji-syukur pada yang maha kuasa.
Setelah kepergian Ayahku Ibuku bekerja banting tulang sendiri untuk mengurus kebun kami, kebun di sini adalah kebun yang hanya mengandalkan air hujan pada musim hujan tiba, disebabkan oleh sumber air di sini yang jauh dari kebun kami. Jalan menuju kebunku tidaklah dekat, pertama-tama harus singgah di Desa Bean terdahulu perjalanannya menuju ke sana memakan waktu kurang lebih tiga jam dengan berjalan kaki. Setelah sampai di desa Bean harus melewati dua buah bukit terdahulu bisa dibayangkan bagaimana jauh nan menegangkan, sebanarnya ibuku takut berjalan seorang diri tetapi apa boleh buat jika ibu tidak berkebun mau makan apa kami? aku tidak dapat menemani dia karena harus sekolah, ibuku juga tidak akan mengizinkan aku untuk meninggalkan sekolah. Jadi aku hanya bisa membantu ibu saat liburan sekolah.
Berkebun hanya dilakukan saat musim hujan saja jika sudah tiba musim kemarau Ibuku mengalihkan ke pekerjaan lain yaitu mencari kemiri di gunung, mengumpukan jambu mete dan berbagai pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ayahku pulang sekali saat puasa ramadhan ketika itu aku sudah duduk di bangku kelas lima Ibtidaiyah, bahagia sekali yang kurasakan saat itu. Karena bisa bermain bersama Ayahku dan yang paling berkesan yang tidak bisa aku aku lupkan ialah belajar bersama ayahku, tadinya aku tidak bisa hitung-hitungan pembagian bersusun akhirnya aku pun bisa dengan kesabaran Ayahku dalam membimbingku. tetapi ini tidak berlangsung lama ayahku harus kembali bekerja ke negeri Jiran, mau tidak mau aku harus merelakan kepergian Ayahku begitu juga yang dirasakan oleh ibuku bahkan lebih dalam lagi harus merelakan suami yang dikasihinya merantau ke negeri orang lain, itulah orangtua lebih mementingkan kebahagiaan anaknya, keberhasilan anaknya meskipun dengan mengorbankan hidup mereka.
Seperti itulah kehidupan kami sampai tahun 2009. Aku pun menyusul kakak-kakakku menuntut ilmu di tanah jawa, karena ibuku tidak menginginkan anak-anaknya sekolah di kampung, kata ibuku. “kalau kamu sekolah di dekat sini lebih baik kamu tidak usah melanjutkan sekolah saja”. Dulu aku bingung dengan perkataan ibuku ini, “kok bisa ibuku mengatakan seperti itu?”. Akan tetapi semenjak di tanah jawa barulah kutemukan jwabannya sendiri, ibuku tidak ingin aku terpengaruh dengan anak-anak di kampung dan pendidikan waktu yang sangat minim begitu pula pendidikan agama yang kurang diperhatikan.
Sebenarnya menimba ilmu di tanah jawa sudah menjadi cita-citaku sejak kecil, entah kenapa tanah jawa membuatku begitu tertarik untuk melanjutkan sekolahku dan kota yang kutuju adalah kota malang, salah stau kota pendidikan di Jawa Timur, perjalananku ke malang pun tidak mudah, ibuku bekerja mengumpulkan kemiri, jambu mete dan kacang tanah lalu dijual sebagai biayaku berangkat ke malang. Aku masih ingat masa itu, sehari sebelum keberangkatanku ke malang aku bermalam di rumah tenga dija. Di rumah tenga dija ibuku berpesan padaku. “ummu jangan nangis ya, ayo kita janji tidak ada yang nangis salah satu dari kita!” Tapi sejatinya itu hanyalah tipuan belaka untuk mengusir kesedihan yang tertanam di dalam hati kami berdua. Nyatanya keesokan hari, saat kaki kananku sejengkal lagi masuk ke pintu gerbang pelabuhan Lewoleba ibuku tidak sanggup lagi membendung air matanya, seketika mengalir seperti air hujan yang sangat deras. Melihat kejadian itu aku pun menguatkan hatiku berjalan kembali memeluk ibuku dengan menahan air mataku yang sudah penuh yang siap untuk ditumpahkan. “Bu.. kita kan udah janji, katanya tidak ada yang boleh menangis di antara kita berdua”. Mendengar perkataanku dengan berat hati ibuku melepaskan pelukannya lalu menghapus air matanya. “sudah nak tidak usah menangis lagi, sana pergi menuntut ilmu agar menjadi anak yang berilmu!”.
Dengan berat langkah aku meninggalkan ibu yang berdiri mematung memerhatikan kepergianku, setelah sampai di dalam kapal aku tidak ingin keluar melambaikan tangan kepada ibuku jadi aku hanya mengintip dari balik kaca jendela kapal sampai kapal beranjak menjauhi pelabuhan Lewoleba.
Perjalanan kami tempuh selama empat hari tiga malam, akhirnya kami tiba di tanjung periuk surabaya pada pukul dua dini hari, saat sampai aku telah dijemput oleh kakakku langsung menuju ke malang.
Selama di malang aku tinggal di kos-kosan kak mila kurang lebih seminggu, dalam waktu singkat itu aku diajak oleh kak mila untuk jalan-jalan mengelilingi kota malang, tempat yang kami tuju saat itu adalah MATOS, Alun-Alun Kota Malang, Gajah Madah dan mengunjungi rumah pamanku. Setalah menjelajahi sebagian kota Malang, inilah hari yang kunanti-nantikan ingin merasakan hawa anak pondok. Di dalam bayanganku aku akan dimasukkan oleh kak mila ke salah satu pondok di kota malang, namun sayang itu hanya anganku belaka, nyatanya aku dimasukkan ke yayasan yang sampai sekarang masih kuanggap sebagai rumah ke dua bagiku, suka dan duka semuanya tersedia di dalamnya, tempat itu ialah “PANTI ASUHAN PUTRI AISYIAH MALANG”. Sedikit kekecewaan yang kurasakan saat itu, namun aku tersadar bahwa kedua orangtuaku belum mampu memasukkanku ke pondok yang harus menanggung biaya sendiri.
Selama enam tahun aku tinggal di PAP’A (Panti Asuhan Putri Aisyiyah) susah maupun senang kujalani dengan ikhlas karena bukan hanya aku yang bernasib seperti itu, masih banyak temanku yang nasibnya tidak jauh berbeda denganku malahan ada yang lebih parah dari aku, kami datang dari berbagai penjuru di indonesia seperti, aceh, bali, makasar, bogor, padang dan yang banyak berasal dari kabupaten malang. Kami hadir dari beragam perbedaan hingga melahirkan segenggam persaudaraan, kami merasakan hal yang sama saat kami hidup bersama, kekeluargaan, persahabatan, canda dan tawa. Belajar bersama, bermain bersama-sama sampai sedih pun juga bersama-sama, begitulah indahnya menjadi anak panti.
Saat aku berangkat ke malang kakakku yang ke dua telah menyelesaikan sekolah menengah atasnya dan belum bisa untuk melanjutkan pendidikannya karena kakakku yang pertama belum selesai, sehimgga harus menunda selama satu tahun. Setelah setahun alhamdulillah datang pertolongan Allah kakakku ibrahim mendapatkan beasiswa untuk melajutkan kuliahnya D3 di Pondok MAIS (Mahzab Imam Safi’i) Cilacap, Jawa Tengah.
Selama di MAIS kakak ibrahim tidak hanya duduk manis menunggu uang dari kedua orangtuaku untuk membelikan kitab-kitabnya atau keperluan lainnya akan tetapi dalam waktu luangnya digunakan untuk mengajar sehingga dapat memenuhi keperluannya tanpa meminta uang dari kedua orangtuaku. Dengan demikian dua tahun kemudian ayahku dapat menguliahakn anaknya yang ke 3 (kak rusman) dengan dibantu oleh kak jamilah yang saat itu telah menjadi guru di SMP NEGERI 1 di kampung dan sekarang kak rusman telah menyelesaikan S1 nya pada bulan oktober 2016 kemarin.
Dan sekarang aku dapat duduk di bangku perkuliahan di IDIA (Institut Dirosat Islamiyah Al amien) perenduan, sumenep madura dengan dibiayai oleh kak ibrahim yang disisihkan sedikit dari beasiswanya di Universitas Islam Madinah semoga dimudahkan oleh Allah dalam belajarnya.
Ini semua bukanlah terjadi secara tiba-tiba, akan tetapi ini semua karena semangat kedua orangtua kami yang memandang pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka dengan dan bekerja bermandi keringat hanya untuk menjadikan kami orang-orang yang berilmu, dan kedua mereka sampai juga ke Universitas Islam Madinah dan tentunya dengan pertolongan dari Allah SWT. Semoga kedua orangtua selalu dalam lindungan Allah SWT.
Cerpen Karangan: Ummu Aiman Facebook: Ummu Aiman