Kopi ini membuat otakku merangkai semua kejadian yang aku saksikan tadi sore, di pinggir jalan depan masuk gang. Ibu tukang sampah membawa dua anaknya untuk ikut bekerja bersama. Dua anak itu ikut memunguti sampah. Sesekali mereka berhenti dan duduk duduk atau bahkan tiduran di pinggir jalan. Aku menghela nafasku. Hatiku teriris melihat pemandangan itu.
Banyak hal yang ada di benakku. Aku masih menjadi satu dari sekian milyar orang yang beruntung bisa menikmati tidur di kasur yang empuk dan nyaman. Aku tak ingin seperti itu jika tua nanti. Aku harus bekerja keras sekarang untuk membanggakan anak anakku, kelak. Aku tak bisa menahan tangisku saat melihat mereka memakan nasi dari bungkus yang mereka temui di tempat sampah. Sungguh. Aku terisak. Aku seringkali membuang sisa nasi, walaupun itu masih layak dimakan. Aku sering mengeluh karena lauk yang tidak sesuai selera.
Bagaimana dengan dua anak itu? Mereka masih bisa makan makanan sisa dengan senang, lahap, tak ada rasa jijik. Tuhan, aku menjadi satu dari milyaran manusia serakah itu. Satu dari mereka yang tak bersyukur. Aku kembali menarik nafas dan menghempaskannya dengan beribu kegundahan hatiku. Hingga akhirnya ada niatan baik itu muncul.
Kakiku melangkah menuju toko dan membeli beberapa jajan. Lalu, aku berjalan ke arah ibu dan dua anaknya. Aku tersenyum.
“Selamat sore, Ibu”. Ibu itu membalas senyumku. “Sore, mbak” “Ini anak Ibu?” Aku menunjuk kearah dua anak itu dan tersenyum ramah pada mereka. “Iya mbak”
“Hai, kalian siapa namanya?”. Aku menunduk, menyamakan tinggiku dengan mereka. “Aku sani, dan ini Ridho adikku” “Hai, Sani. Hallo, Ridho. Kalian umur berapa?” “Aku empat tahun”, kali ini si Ridho yang menjawab sembari mengangkat lima jarinya. Aku terkekeh. Bahkan mereka belum mengerti hitungan.
“Oh, iya. Mba punya jajan buat kalian. Ada cokelat, permen, dan roti. Kalian suka?” Aku memberikan plastik yang ada di tanganku pada mereka. Aku melihat senyuman mengembang di bibir mereka berdua. “Suka, mbak. Ini buat kita?” “Iya, itu untuk kalian. Dimakan ya.”
Aku terkejut ketika tiba-tiba tubuhku ditarik dan tanganku disalami oleh Ibu itu. Dia menunduk-nunduk. “Terimakasih. Terimakasih” Aku menarik tanganku lalu mendekap ibu itu. “Iya, Bu. Aku senang melihat anak anak ibu bahagia. Mereka kelihatan suka dengan jajanan yang saya belikan” “Sekali lagi terimakasih” Aku tersenyum
Harusnya aku yang berterimakasih. Ibu dan dua anak ibu itu mengajarkan banyak hal padaku. Tentang rasa syukur, kepedulian, kemanusiaan. Juga membenarkan perkataan guruku. “Ilmu tidak hanya kau dapat di sekolah, kau bisa mendapatkan ilmu di manapun dan kapanpun”
Cerpen Karangan: Desi Indriyani Facebook: Desi Indriyani