Teriknya mentari tak membuat orang-orang itu bubar. Mulut mereka terus meneriakkan kata-kata ketidaksetujuannya dengan pilihan para petinggi. Tak mengenal lelah mereka terus berdiri di depan rumah dinas Bupati.
Seorang pemuda dengan segenap emosinya yang berkobar di dalam hati terus melempari batu-batu kecil ke arah bangunan kalsik itu. “Batalkan penggusuran Slogohimo! Batalkan pembangunan pabrik tripleks!” teriaknya lantang.
Tiba-tiba seorang nenek yang rambutnya telah memutih menghadang tangan pemuda yang akan kembali melempar batu itu. “Apa yang kamu lakukan to le? Jangan merusak rumah dinas bupati. Bisa-bisa mereka malah ora mendengarkan kita. Wis ora sah aneh-aneh,” bujuk nenek tua itu.
Pemuda itu hanya menatap sang nenek dengan pandangan kesal. Dengan berat hati ia tarik lagi tangannya yang akan mengambil batu.
Acara unjuk rasa itu berakhir dengan para polisi yang membubarkan mereka. Dengan geram mereka pergi tanpa mendapatkan apa yang mereka inginkan. Rasa lelah yang mereka rasakan tak mendapatkan hasil yang sepadan.
Pemuda yang tempo hari ikut acara unjuk rasa dan melempari batu ke rumah dinas Bupati itu berjalan mengendap-endap memasuki tanah kosong yang beberapa bulan lalu masih berisi pohon-pohon singkong yang akan bergoyang jika tertiup angin. Tanah kosong itu kini berisi truk-truk kontainer dan juga bahan-bahan material untuk membangun pabrik. Dengan masih mengendap-endap pemuda itu menuangkan bensin dari dalam jeriken.
“Hei! Apa yang sedang kau lakukan!” tegur seseorang di belakang pemuda itu. Dengan gelagapan pemuda itu langsung menjatuhkan jerikennya begitu saja. Kepalanya menggeleng-geleng karena tertangkap basah. “A… aku… aku sedang…” cecitnya dengan tergagap-gagap. “Sudahlah tak usah mencari alasan. Ayo ikut aku ke kantor polisi, akan kupenjarakan kau karena telah mencoba untuk membakar material-material ini!” sentak bapak-bapak yang tadi menegurnya itu. Ia langsung menyeret tangan kokoh si Pemuda.
“Lepaskan aku! Aku tidak bersalah! Mereka yang membuatku melakukan itu!” teriak si Pemuda dengan meronta-ronta ingin dilepaskan. “Apa maksudmu? Siapa yang menyuruhmu?” tanya bapak-bapak yang menyeretnya dengan sedikit mengendurkan seretannya. “Tak ada yang menyuruhku untuk melakukannya! Aku melakukannya karena aku tak ingin pabrik itu dibangun di wilayah perkebunan kami. Jika anda tak ingin aku membakar material-material itu, maka jangan bangun pabrik di sini!” ketus pemuda itu yang langsung melepaskan cekalan di tangannya dan segera pergi. “Hei nak, jika kau terus melakukan hal-hal itu, maka aku jamin apa yang kau lakukan itu hanya akan sia-sia saja!” teriak bapak-bapak itu tanpa mencoba untuk mengejar si pemuda.
“Aaah! Mengapa aku harus ketahuan di saat aku akan berhasil?! Aaah sial!” gerutu seorang pemuda yang tadi siang katahuan akan membakar material pabrik. Ia menggerutu sembari menggebrak meja ruang tamu di rumahnya. “Ada apa to le? Kok kamu marah-marah koyo ngene?” tanya nenek tua yang tempo hari melarangnya untuk melempari rumah dinas Bupati dengan batu. “Aku gagal membakar material pabrik nek, padahal aku kira rencanaku itu berhasil!” gerutunya dengan kesal. “Oalah le-le ada-ada saja kamu ini. Memang jika kamu berhasil membakar material pabrik, pembangunan pabrik itu dibatalkan? Wes ra sah aneh-aneh, untung koe ra dilaporkan nyang polisi,”
“Terus gimana nek? Apa yang harus kita lakukan supaya pembangunan pabrik itu dibatalkan? Nenek tahu kan kalo pabrik itu dibangun warga desa kehilangan lapangan pekerjaan? Belum tentu semua warga bisa bekerja di pabrik itu,” “Iya le, nenek ngerti, tapi mbok yo pakai cara sing apik. Kalau caranya apik ngko lak yo hasilnya apik,” “Terserah lah nek, aku lelah,”
“Nenek punya cara le,” kata nenek tua itu yang berhasil menarik perhatian si pemuda. “Apa?” “Nenek akan memasung kaki nenek. Mereka pasti akan terharu dan membatalkan pembangunan pabrik itu,” “Nenek akan memasung kaki nenek? Di depan rumah dinas bupati besok? Nggak! Aku nggak setuju, daripada nenek yang memasung kaki, lebih baik aku. Nanti kaki nenek sakit lagi,”
“Kamu ini lho le, lha kalo kamu yang masung kaki bukannya terharu, mereka malah akan menertawaimu. Sudahlah nggak usah mikirke kaki nenek, yang penting pembangunan pabrik itu dibatalkan,”
Unjuk rasa itu kembali dilakukan dengan api semangat yang begitu menggebu. Teriakan mereka lebih lantang dari sebelumnya. Aksi nenek tua itu menjadikan unjuk rasa semakin heboh. Banyak kalangan wartawan yang meliput aksi demontrasi karena aksi si nenek tua yang bisa dibilang tidak biasa itu.
Aksi itu membuat Bupati menampakkan wajahnya. Akhirnya beliau mau diajak berunding dengan camat Slogohimo. Setelah berunding hampir dua jam, dapat ditemukan ujungnya. Bupati memilih membatalkan pembangunan pabrik tripleks itu.
Sorak-sorai mewarnai rumah dinas bupati pagi itu. Senyum lebar tercetak jelas di masing-masing bibir demonstran. Api kebencian memang tidak membuat aksi itu berhasil. Justru api semangatlah yang membuat semuanya berakhir seperti ini. Karena selamanya, sesuatu yang buruk pasti berakhir buruk dan sesuatu yang baik pasti berujung baik pula.
SELESAI
Cerpen Karangan: SaoriCHAN Facebook: Saori Higashikuni SaoriCHAN merupakan nama pena saya. Sebenarnya nama asli saya Sri Hartini. Saya lahir di Karanganyar pada 27 Juni 2001 dari sepasang suami istri bernama Parmin dan Dwi Atmini. Saya tinggal di Gondang Sari RT01/RW01 Petung, Jatiyoso, Karanganyar, Jawa Tengah. Saya tergolong baru belajar di dunia tulis menulis, jadi mohon dimaklumi ya. Kunjungi juga akun wattpad saya @Saori_Higashikuni. 🙂