Siapa dia? mungkin hati ini terus bertanya ketika melihatnya lewat. Entah mengapa tapi pertanyaan ini selalu terulang ketika melihatnya berjalan di antara ramainya menusia yang berlomba untuk mencari untuk sekedar sesuap nasi yang terkadang cara untuk mendapatkannya terlampau kotor untuk diketahui, ya telampau kotor hingga mengorbankan rakyat yang tidak berdaya untuk melawan kezaliman yang telah nyata di depan mata mereka yang dimana mereka belum siap untuk semua ini. Ya siapa dia? masih pertanyaan ini yang sama ketika ku mendapatinya sedang terduduk di antara ramainya manusia berlari masih berlomba mencari-cari sececer harta yang bersembunyi di antara kejamnya dunia yang dikecam sebagai penyebab semua masalah ini.
Ya dia? huh hati ini selalu mempertanyakan pertanyaan yang sama terus menerus tak bosannya bertanya siapa dirinya, tapi kenapa? mungkin hati ini mulai bergejolak karena terus menerus tidak puas dengan jawaban yang kudapatkan dari mulut mereka yang duduk di kedai kopi yang kusinggahi setiap pulang dari jam kuliah yang membosankan, “nak kalau kamu mau tahu siapa dia ya tanya langsung aja” celoteh pelanggan kedai kopi itu ketika mendengar pertanyaanku kesekian kalinya yang mendapat dukungan dari orang-orang yang mendengarnya dengan anggukan yang berulang. “tapi, di mana aku harus mencarinya?” tanyaku dengan wajah yang serius mungkin karena rasa penasaran ini telah bercampur dengan aroma kopi yang kuminum kali ini. “ya, kamu tunggu aja di seberang jalan itu” jawab salah satu dari ramainya pelanggan yang menikmati kopi di sore yang melelahkan ini. “di mana?” tanyaku lagi. “itu” jawabnya sambil menunjuk ke arah seberang jalan yang ternyata hanya tempat sampah yang kulihat tiap hari. “itu?” tanyaku dengan rasa heran karena yang aku tahu itu hanya tempat sampah yang menggunung. “ya, itulah tempatnya” jawabnya menyakinkan. “Oke akan aku tunggu orang itu di sana” celoteh hatiku dengan penuh semangat. “terimakasih ya pak” ucapku menutup pertanyaan yang aku ajukan diantara rasa penasaran yang bersemayam di hati ini.
Setelah membayar aku pun langsung berjalan meninggalkan kedai kopi yang ramai dengan orang orang yang sibuk membahas apa yang mereka dapat hari ini. Ya, mungkin itu hanya sekedar untuk melepas penatnya beban hidup yang mereka tanggung selama seharian berkerja mengejar kebahagian dunia yang terasa semakin mahal seiring bertambahnya waktu. Benar saja kata bapak itu tidak begitu lama aku menunggu di sini dia pun datang membawa kotak yang berat, “assalamuailaikum boleh saya bantu membawa kotak itu” sapaku sambil menawarkan bantuan. “waalaikumsalam, emm” belum sempat dia menjawabnya aku pun mengambil kotak dari tangannya itu yang ternyata di dalamnya terdapat banyak buku yang berwarna-warni. “eh nggak usah nanti ngerepotin” jawabnya sambil berusaha untuk mengambil kotak itu kembali. “enggak kok aku di sini juga lagi nungguin kamu” jawabku dengan senyum yang bercampur rasa penasaran yang sangat besar. “kira-kira buku yang banyak ini mau dibawa ke mana” sambungku lagi. “eh nungguin aku?” ucapnya dengan nada bingung. “ya, kamu” jawabku dengan santai meski aku pun tak tahu siapa yang berdiri di hadapanku. “Ayo, mau dibawa ke mana buku buku ini, nanti aja nanya kenapa aku nungguin kamu” sambungku lagi. “iya deh tapi kamu bukan orang jahat kan, bukan preman kan” tanyanya bagaikan tampangku ini bagaikan penjahat kelas kakap saja. “eh kok ngomongnya seperti itu” jawabku. “emangnya tampangku ini menakutkan ya” sambungku lagi. “enggak cuma buat jaga-jaga aja, karena ke mana aku pergi ini ke tempat yang sangat penting yang di mana kalau aja para preman itu tahu di mana tempatnya maka mungkin anak anak itu nggak bisa belajar” jelasnya. “preman? anak anak?” tanyaku penuh dengan rasa penasaran. “Nanti aja ngejelasinnya panjang ceritanya, ayo” jawabnya sambil berjalan meninggalkanku masuk ke arah sampah sampah yang berserakan. “ke mana?” tanyaku lagi. “sudah nggak usah ditanya nanti kamu tahu juga” jawabnya.
Srek srek srek bunyi langkahku menembus tempat pembuangan akhir [TPA] ini, preman? anak anak? belajar? apa yang sebenarnya dia maksud aku belum benar benar mengerti. “yee.. kakak ayis udah datang!!!” teriak salah satu anak anak yang bermain di antara sampah itu. Eh ternyata ada kehidupan di balik sampah sampah yang ada di sini bisik hatiku yang baru mengetahui fakta ini, sungguh ironis negeri ini padahal banyak sekali pembangunan yang terjadi apakah mereka lupa akan kehidupan mereka yang sangat jauh dari kata layak, padahal negeri ini sangatlah sangat kaya raya tapi apakah mereka menutup mata atas kehadiran mereka yang merupakan tanggung jawab negeri ini, ataukah mungkin negeri ini hanya untuk mereka yang menang, mereka yang terpandang dan mereka yang memiliki jabatan yang sangat berpengaruh, sungguh ironis sekali.
“hei kamu lagi mikirin apa?” suara itu membangunkanku dari lamunan ku. “eh nggak apa apa kok cuman lagi mikirin apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini” jelasku atas pertanyaannya. “ya, begitulah seperti kamu lihat di sini semuanya terlihat sangat tidak layak” katanya seperti mengerti apa yang aku katakan tadi. “benar, sungguh nggak layak sama sekali” kataku mengiyakan apa yang dia katakan. “tolong bawa ke sini buku bukunya” katanya sambil mengulurkan tangan untuk mengambil buku buku yang dari tadi kubawa. “eh iya ini…” kataku sambil menyerahkan buku buku tersebut.
“baiklah kakak hari ini mau melanjutkan belajar membaca kita kemarin” terdengar suaranya memulai pembelajaran hari ini. Sementara itu aku sibuk dengan duniaku berpikir lagi kenapa terjadi kesenjangan ekonomi yang sangat jauh ini kenapa? Logika ini menuntunku untuk berfikir kenapa hanya orang yang memiliki uang dan jabatan yang dapat menikmati negeri ini. Padahal negeri ini sebenarnya milik rakyatnya bukan siapa siapa.
Tit tit tit bunyi alarm jam tanganku menujukan pukul 5 sore pembelajaran pun telah selesai dengan doa sapujagat dilantunkan penuh semangat oleh anak anak yang belajar kepadanya ya dia. “eh ngomong-ngomong nama kamu siapa?” tanyanya kepadaku. “namaku azri ya pangil aja oji kalo kamu” tanyaku balik meski sebenarnya aku sudah tahu namanya ayis. “ayis” jawabnya singkat, “eh sebenarnya kenapa kamu nungguin aku tadi” sambungnya lagi. “aku kagum sama kamu yis, sebenarnya tiap hari aku melihatmu berjalan dengan santai di antara manusia yang sibuk” jawabku, “aku nggak ngerti aura kamu beda dengan orang orang pada kebanyakannya, sungguh aura yang sangat ceria dan tenang” lanjutku lagi. “apakah seperti itu?” tanyanya lagi. “iya” jawabku sambil melhat jingganya langit sore kali ini. “boleh tahu sejak kapan kamu mulai mengajar anak anak ini yis dan kenapa kamu menyebut preman denganrasa takut seperti tadi?” tanyaku sambil mengambil sebuah buku yang terjatuh ke tanah. “itu dua hal yang sangat berhubungan ya kalo sejak kapan aku mengajar mereka mungkin sejak dua minggu lalu, waktu itu aku menemukan salah satu anak yang sedang menangis di trotoar jalan” ayis pun memulai ceritanya, “lalu ku menghampiri anak itu kenapa dek tanyaku, kamu tahu nggak apa yang dikatakan anak itu?” tanyanya padaku dan lantas aku mengeleng tanda tidak tahu apa yang dikatakan anak itu. “anak itu berkata seandainya ada yang mau mengajarku maka aku aku, tak akan terus begini”, lantas hatiku pun tersentuh mendengarkannya dan mulai keesokan harinya aku memulai mengajar mereka di sini ya mungkin meski yang aku ajar hanyalah cara membaca atau pun menulis tapi setidaknya aku sudah berusaha membantunya” ceritanya panjang lebar. “tapi premannya bagai mana?” tanyaku lagi. “sudah kubilang kalau ini sanagat berkaitan karena mereka akan dilakukan seperti budak kalau ada preman yang tahu kalau di sini anak anak ini bersembunyi dari kebiadaban mereka” jawab ayis dengan singkat, “setidaknya begini usahaku untuk membantu mereka dan membangun negeri ini” sambung ayis dengan keyakinan penuh dengan anggukan dariku tanda setuju dengan apa yang dikatakannya orang yang paling membuatku penasaran sekaligus orang yang membuatku kagum dengan apa yang dia perbuat untuk membangun negeri ini yang sepertinya telah nenutup mata atas kehadiran mereka gelandangan yang berkeliaran mencari perlindungan yang hilang atas keserakahan mereka para wakil rakyat yang sering mengumbarkan janji janji palsu dan menyebarkan kata kata manis yang tak pernah menjadi suatu yang nyata atau pun sebenarnya mereka hanya menebarkan sebuah KEBOHONGAN YANG NYATA.
Ya, akhirnya aku mengetahui namanya ayis seorang wanita yang berhasil mengambil perhatianku dengan keikhlasan dan usahanya untuk memdidik penerus peradaban bangsa yang tak pernah terperhatikan oleh wakil-wakil rakyat yang mungkin sedang bersenda gurau dengan buah hati mereka hingga melupakan mereka para ANAK JALANAN yang mengharapkan bantuan mereka.
Cerpen Karangan: Arzi Abdullah Facebook: Edo Bawarzi