Tes… Bulir airmata jatuh begitu saja mengenai pipi gadis cantik itu. Perkataan orang yang dihadapannya sungguh membuatnya terperanjat kaget. Dia melangkah mundur seraya membekap mulutnya tak percya. Hingga kemudian, gadis itu sudah terduduk di lantai. Seakan-akan tidak mempunyai tenaga lagi untuk berdiri.
“Green, ini bukan akhir dari semuanya,” Rena ikut-ikutan duduk di samping Green. Ia merangkul sahabatnya itu dengan erat. “Mana pernah aku mendapatkan nilai serendah itu, Rena. Nilaiku biasanya tertinggi di antara semuanya,” ucap Green frustasi. “Iya, aku tau Green. Semua orang pun tau kalau kamu murid terpintar di sekolah ini,” “Tapi kenapa nilai tryoutku terendah kali ini?” Green masih menuntut penjelasan dari Rena. Padahal sahabatnya itu sama sekali tidak tau, kenapa nilainya bisa menurun sebegitu drastisnya. Akan tetapi, Rena tidak protes dengan perkataan Green yang terlihat lebih memojokkannya itu. Kalau seandainya, dia yang di posisi Green saat ini. Pastilah dia akan berbuat demikian pula
“Apa kamu sedang ada masalah dengan Mamamu?” pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Rena. Dan pertanyaan itu sukses membuat tangis Green terhenti. Yang kemudian tergantikan tatapan tak percayaa dari gadis itu. Apa mungkin gara-gara itu? tanya Green kepada dirinya sendiri.
Pertengkarannya dengan Mamanya beberapa minggu yang lalu kembali berputar di dalam ingatannya. Pertengkaran yang membuat Papanya marah besar karena ketidak-sopanannya itu. Tanpa pernah mau tau apa penyebab dari pertengkaran mereka. Itulah Papanya, selalu saja mempercayai perkataan Mamanya. Yang terkadang terdengar lebih memojokkannya. Seolah-olah memang dia yang memicu pertengkaran itu.
“Untuk apa kamu menyesali nilaimu yang kecil itu Green. Toh, tanpa nilai yang tinggi pun kamu bisa kuliah di universitas manapun yang kamu mau. Zaman sekarang apa yang tidak bisa dibeli dengan uang,” ucap Tante Mera seperti biasa, tidak pernah ambil pusing akan suatu masalah. Green yang ada di hadapan Mamanya, memalingkan wajahnya lantaran kesal. Cengkraman tangannya di sofa semakin kuat, takut kalau nantinya emosinya akan meledak. “Kamu tidak terima dengan perkataan Mama?” Tante Mera kembali bersuara. Namun kali ini terdengar ketus. Amarah Green yang memang sudah sampai ke ubun-ubun, tidak bisa lagi ditahannya sewaktu mendengar ucapan Mamanya. “Aku selama ini selalu diam, Ma. Setiap kali Mama merendahkanku seperti itu,” suara Green masih terdengar wajar, “Tapi kalau aku boleh jujur, aku memng tidak terima dengan perkataan Mama barusan. Mama selalu saja mengandalkan segala sesuatu dengan uang. Iya sekarang, kelurga kita masih diberi uang yang banyak. Nantinya? kita tidak pernah tau apa yang terjadi,” “Kamu masih bocah ingusan. Tidak sepantasnya kamu menasehati Mama seperti itu,” “Aku memang bocah ingusan. Akan tetapi, pikiranku tidak pernah sekolot Mama,” suara Green mulai meninggi. Tante Mera yang mendengar itu spontan terdiam. Ternyata anak semata wayangnya itu sudah berani membentaknya. Belum sempat Tante Mera berkata, Green sudah lebih dahulu mengambil alih pembicaraan. “Cukup, Ma. Jangan katakan apa-apa lagi. Mulai sekarang aku akan memulai semuanya sendiri. Tentunya tanpa dukungan Papa dan Mama,”
Apa yang dikatakan Green kepada Mamanya, bukanlah omongan belaka. Dia membuktikan semuanya di tryout selanjutnya. Meskipun nilainya tidak sebagus dulu, tapi setidaknya dia tidak berada di peringkat terakhir lagi. Namanya naik sepuluh tingkat. Semenjak kejadian itu semangat belajarnya semakin kuat. Tak lupa juga di dalam shalatnya, Green menyelipkan sepotong doa untuk keberhasilan ujian nasionalnya nanti.
Hari yang ditunggu-tunggu Green tiba. Saatnya penerimaan kelulusan. Ia berharap kali ini, ia yang menjadi juara pertama seperti tahun-tahun sebelumnya. Untuk usaha dan doa, dia merasa sudah sempurna. Jadi sekarang, hanya menunggu hasilnya saja.
“Green, kamu berhasil. Kamu menjadi juara pertama,” teriak Rena dari kejauhan. Perkataan sahabatnya itu, membuat Green menghentikan langkahnya. Ia memang terlambat dataag, dikarenakan terjebak macet di jalan. Makanya, dia tidak sempat mendengar peraih juara ujian nasional kali ini. Saat sadar dengan apa yang diucapkan oleh Rena, gadis itu langsung memeluk sahabatnya itu. Mereka berteriak penuh kegirangan.
Dari kejauhan, Tante Mera memperhatikan kebahagiaan anak gadisnya itu. Diam-diam beliau tersenyum. Apa yang dikatakan Green memang benar adanya, segala sesuatu itu tidak harus dibeli dengan uang. Dimulai sejak hari itu, Tante Mera tidak lagi berpikiran kolot seperti yang dikatakan Green.
Cerpen Karangan: Andra Grisantina Facebook: andra grisantina