“Baiklah anak-anak. Hari ini kita akan bermain olahraga kasti! Setuju?”, tanya pak guru. “Setujuu!”, “Pak, kasti itu melelahkan!”, “Nanti ketek saya tambah bau, pak”. Langsung saja berbagai respon dan keluhan menghujan. “Ssst. Sudah-sudah. Rani, olahraga manapun itu melelahkan, tetapi lelah untuk sehat. Kita harus rajin berolahraga. Kalau tidak, saat kita sudah dewasa tubuh rentan terkena penyakit, karena tidak dibiasakan sejak kecil. Mau begitu?”, jelas pak guru. “Iiihh Rani gak mau, pak”, jawab Rani bergidik. Pak guru tersenyum. “Dodi, bukan Cuma ketek kita yang bau. Badan kita juga bau apabila kita berkeringat. Siapa yang tau keringat itu apa, sih?”, ujar pak guru. Kulihat teman-temanku saling berpandangan. “Pak!”, sahutku sambil mengangkat tangan kanan. “Ya, Fira?”, “Keringat itu hasil sisa buangan dari tubuh kita pak. Kalau kita kepanasan dan sering bergerak, maka semakin banyak pak energi yang kita gunakan”, jelasku bangga. “Hahaha, bagus sekali Fira. Ada yang ingin menambahkan?”, tanya pak guru lagi. “Nah energi yang digunakan itu kan berasal dari makanan. Makanan itu kemudian diolah oleh tubuh kita dan sisanya itu menjadi keringat, maupun zat lain”, sahut temanku, Najwa. “Sambungan yang bagus, Najwa!”, “Baiklah, dalam hitungan ke tiga, kalian semua harus sudah di lapangan besar. Satu… Dua… Ti..”, saat pak guru menghitung, kami semua sudah tergopoh-gopoh berlarian menuju lapangan yang lebih besar. “Ga. Oke. Najwa, ayuk sini ikut bapak”, ujar pak guru kemudian. Digandengnya tangan Najwa oleh pak guru. “Terimakasih, pak”, ucap Najwa dengan suara pelan. Pak guru tersenyum. “Fira”, panggil pak guru. Aku menoleh. “Najwanya tolong dituntun yaaa”, pinta bapak. Aku mengangguuk pelan.
Bagus sekali, ternyata timku berada pada posisi menjadi pemain, bukan penjaga. Najwa pun dimasukkan setim denganku. Saat ini aku duduk bersebelahan dengan Najwa, menunggu giliran. Aku menoleh sedikit padanya, ingin mengajaknya berbicara, namun tak berani. “Kapan giliranku, Fir?”, tanya Najwa tiba-tiba membuka percakapan. “Eh? Ah, aku belum tau, Naj. Nanti kita bakalan dipanggil juga kok satu persatu. Kita juga belum tau bakalan jadi penjaga apa tidak”, jawabku. Najwa hanya mengangguk-angguk.
“NAJWAAAA AWAAAAS!”, teriak seseorang dan… BUAKKK! Sebuah bola kasti menghantam dahi Najwa. “Najwaaaa!”, teriakku histeris. Teman-teman menghentikan permainan dan berbondong-bondong menuju arah Najwa. Pak guru pun berlari panik, kemudian menggendong Najwa dan membawanya ke UKS. Sedangkan aku berlari mengikuti pak guru.
Sesampainya di UKS, Najwa mengeluh pusing katanya. Salah seorang temanku yang menjadi pemukul bola hingga bola kasti tersebut mendarat di kepala Najwa juga mengikuti pak guru sampai UKS. Bu Lora, dokter UKS sekolahku segera memeriksa kondisi Najwa. “Sudah, tenanglah Najwa. Hantaman bolanya tidak begitu keras sehingga kamu hanya mengalami shock pada kepala. Besarnya hantaman bolanya lah yang membuatmu pusing”, jelas Bu Lora menenangkan. Najwa tersenyum kecil. “Baiklah, terimakasih, bu”, ujarnya. “Sama-sama. Pak, biarkan dia istirahat saja dulu sementara”, lanjut Bu Lora. Lantas pak guru menyetujuinya. Sebenarnya aku rela berlari mengikuti langkah pak guru ke UKS, karena aku merasa bersalah karena tak bisa menjaga Najwa. Harusnya aku lebih cekatan, sehingga Najwa tidak akan celaka.
“Najwa, ini aku Raihan. Maafkan aku. Kalau aku hati-hati saat mengukur pukulan bolanya, pasti kamu gak akan sakit begini”, ujar temanku itu tiba-tiba. “Ya ampun, tak apa kok, Raihan. Aku baik-baik saja. Lagian kamu kan bebas mau lempar bola ke mana. Akunya aja yang ngapain duduk di situ, hehe”, jawab Najwa ramah. Raihan tersenyum senang. “Benarkah? Terimakasih!”, ujarnya kembali.
Setelah beberapa menit menunggui Najwa, pak guru pun mengajak kami untuk kembali mengikuti pembelajaran. Namun hatiku masih resah karena belum meminta maaf pada Najwa. Aku.. Aku takut. “Fira? Ayuk balik!”, ajak pak guru. “Pak, tunggu sebentar boleh? Maksudnya, saya nanti nyusul pak guru!”, pintaku. “Memangnya mau ngapain?”, tanya pak guru heran. Lalu aku membisikkan apa yang ingin aku lakukan pada pak guru. “Hmm… Baiklah, tapi jangan lama-lama ya”, ujar pak guru. Aku mengangguk senang, dan kembali memasuki ruang UKS. Aku langsung duduk di samping ranjang Najwa.
“Najwa..”, panggilku lirih. Najwa menoleh. “Siapa?”, tanyanya. “Fira”, “Oh, Fira. Kenapa? Gak balik sama pak guru?”, tanyanya lagi. “Gak, Najwa. Aku mau di sini. Aku mau minta maaf sama kamu. Aku seharusnya membantu menjagamu tadi saat permainan berlangsung. Padahal aku kan duduk di sebelahmu, eh akunya malah melongo”, jelasku sedih. “Kikiki, tidak masalah, Fira. Bukan salahmu. Lagian, bolanya memang suka kali sama jidatku, hahaha”, jawab Najwa riang. Aku bertanya padanya, “Najwa. Kenapa sih kamu periang banget. Maaf, aku gak bermaksud apa-apa, loh. Kamu kan tidak bisa melihat, Naj. Bukankah dunia ini terlihat amat gelap bagimu?”. “Tidak sama sekali. Aku tidak peduli jika orang-orang mengatakanku buta, tak punya masa depan. Aku tetap bahagia seperti ini. Mungkin dibalik mataku ini, tuhan menjaga mataku dari pandangan dunia yang belum tentu semuanya baik atau positif, dengan cara ya, menghilangkan penglihatanku”, jelas Najwa sambil tersenyum. Aku terkejut mendengarnya. “Lalu, bagaimana dengan teman-teman yang sering bertanya tentang bagaimana rasanya tidak bisa melihat apa-apa?”, tanyaku kembali. “Maksudmu? Apa aku harus marah? Sedih? Senang? Aku masih bersyukur kok. Jika begitu, teman-teman kan selama ini hanya bertanya kondisiku. Biarkan mereka mengetahuinya. Bukankah aku tidak rugi? Yang aku takutkan itu adalah, ketika teman-teman tidak bisa menerima kondisiku yang cacat, dan mereka menanyakanku sebagai hinaan”, jawab Najwa. Aku benar-benar tak menyangka, dengan kondisi seperti itu, Najwa terus bersyukur akan segala keadaannya. “Najwa, kamu.. Ah, aku bangga sekali punya teman sepertimu”, ujarku terharu. “Aku juga bersyukur punya teman sepertimu dan juga teman-teman sekelas yang senantiasa toleransi, menerima seseorang apa adanya”, balas Najwa. Aku pun memeluk Najwa erat, sembari berdoa dalam hati, ‘Ya Tuhan, tolong sadarkan aku akan indahnya syukur sepertinya, berikan temanku yang hebat ini kemudahan dalam menjalani hari-harinya, amin’
Cerpen Karangan: Luthfia Zahra Larosa Blog: luthfiasasa.blogspot.com Halooo para pembacaaa! Terimakasih sudah meluangkan waktunya untuk membaca karyaku, mohon komentar, kritik dan sarannya, yaaa. Salam semangat!