Merdekaa !! Merdekaa !! Merdekaa !! Gemuruh lantang kata itu terucap dari setiap bibir bangsa Indonesia. Berabad-abad lamanya Indonesia terbelenggu dalam haru, tertindas dengan keras dan terjajah oleh para penjajah. Segalanya telah dikorbankan, harta, benda, jiwa dan raga. Pun tak sedikit pejuang yang harus gugur di medan pertempuran demi membela Negeri Indonesia tercinta.
Namun kini, Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan. Dengan disaksikan ribuan pasang mata dan telinga. Sang Saka Merah Putih telah berkibar gagah di ujung tiang tertinggi dan tak ada satu orang pun yang berhak menurunkannya lagi. Indonesia Raya, Indonesia Pusaka, Indonesia Merdeka!
Mereka sudah pergi Meninggalkan bumi pertiwi Kami bebas! Ya kami telah bebas Tak ada lagi tangisan Tak ada lagi ratapan Tak ada lagi kesengsaraan Kemarilah, wahai kebahagiaan Mendekatlah, duhai ketenangan
“Apa kau yakin kita sudah merdeka?” tanyanya kepadaku. Kutatap wajahnya lekat, wajah yang mulai nampak lelah dan kian menua. Sesaat, ia pun mendaratkan tatapannya ke arahku. “Dengan terbebasnya Negeri ini dari penjajah, kurasa kita memang sudah merdeka.” Jawabku. Lalu kami kembali terdiam untuk beberapa saat. “Kita semua memang sudah terbebas dari para penjajah. Namun, kemerdekaan yang sesungguhnya masih enggan menyapa penduduk di desa ini.” Ujarnya kala itu memecah keheningan yang tercipta diantara kami. “Maksudmu?” tanyaku sedikit bingung dengan pernyataannya barusan. “Kau akan segera mengerti maksudku.” Dengan menyimpulkan senyum, Ia pun bangkit dari duduknya dan menggandeng lenganku. “Sudah hampir magrib, kita harus pulang.” Aku pun mengangguk dan berjalan mengekor di belakangnya.
Pagi telah kembali, kala satu mimpi terbangun lagi, dan satu malam terlewati lagi. Sejuk, tenang dan damai. Itulah suasana pagi yang selalu tercipta di desa ini. Berbeda 180 derajat dengan tempat tinggalku di Ibu Kota. Desa ini memang terpojok dan berada di pelosok, namun bagiku tempat ini lebih menjanjikan kehidupan yang menenangkan untuk para penduduknya. Tak kudengar suara bising klakson kendaraan, hanya terdengar suara nyaring burung-burung camar yang mulai berterbangan meninggalkan sarang untuk mencari makan.
Pagi ini aku sudah berpakaian rapi, dengan mengenakan atasan dan bawahan yang senada aku sudah siap untuk mengabdikan diri sebagai tenaga pendidik di desa ini, desa kecil di Timur Indonesia.
“Imah, mari cepat!” Bu Mira datang dengan sepeda tua yang dipinjamkan oleh sesepuh adat desa ini. Sepeda ini memang sengaja dipinjamkan kepada kami sebagai sarana transportasi untuk dapat menjangkau sekolah di ujung desa yang jaraknya puluhan kilometer dari rumah singgah kami berdua. “Kau sudah siap?” tanya bu Mira dengan senyuman khasnya. Aku pun mengangguk dan segera membonceng di belakang.
Perjalanan kami untuk sampai di sekolah kira-kira memakan waktu sekitar 1-2 jam. Dengan melewati berbagai rintangan yang tak mulus, akhirnya kami pun tiba di sebuah sekolah yang berada di ujung desa tersebut. Batinku seketika berkecamuk melihat sekolah yang fisiknya terlihat seperti kandang binatang tak terurus. Aku melangkah lunglai di belakang bu Mira, menyoroti tajam setiap sudut bangunan yang hampir tidak ada dinding. Semua terbuat dari kayu yang mulai rapuh oleh rayap. Hingga akhirnya kudapati sesosok anak laki-laki di suatu kelas.
“Kamu sendirian?” kududuki bangku tua berdebu yang berada tepat di sampingnya. Ia hanya mengangguk. “Teman-temanmu dimana?” tanyaku lagi, mencoba sedikit lebih mendekatkan posisi duduk ke arahnya. Namun Ia justru menjauhkan posisi duduknya dariku. Ia hanya menggeleng dan belum mau mengeluarkan sepatah kata pun. “Siapa namamu?” Aku pun mengulurkan tangan kepadanya. “Bertus.” Jawabnya tanpa meraih tanganku. Aku pun mengela napas, “Kenalkan nama saya Fatimah. Kamu boleh panggil saya ibu guru Imah.” Ia kemudian memutar bola matanya, kala tatapannya tepat mendarat di wajahku. Kusimpulkan senyum kepadanya dan dengan sedikit keraguan ia pun menyimpulkan senyum sekedarnya.
Baru beberapa menit aku tiba di sekolah ini. Aku sudah menemukan banyak hal yang tak mungkin kutemukan di Ibu Kota, tempatku berasal. Betapa jauhnya jarak untuk sampai ke sekolah dan betapa sulitnya medan yang harus ditempuh. Jalanan berdebu dan berbatu sampai harus menyebrangi sungai dengan perahu kayu. “Wahai Indonesia, Tanah Air tercinta. Saksikanlah perjuangan anak bangsa pelosok Timur Negeri ini.” Air mata mulai memenuhi pelupuk mataku, hingga tak dapat lagi terbendung dan akhirnya menetes sampai perlahan menganak sungai di pipi.
“Ibu guru Imah kenapa?” “Tidak, tidak apa Bertus.” Segera kuusap air mata itu, dan tersenyum haru menatapnya. “Sebentar lagi beta punya teman-teman datang.” Aku mengangguk dan mengelus kepalanya dengan lembut.
Beberapa menit kemudian, beberapa anak mulai berdatangan. Kutatap mereka lekat-lekat. Mereka datang dengan pakaian lusuh yang basah oleh keringat dan tanpa alas kaki. “Mereka belum merdeka.” Desahku kala itu.
Setelah semuanya datang, aku pun mulai melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Semua anak terlihat sangat bersemangat dan antusias. Tak sedikit pun terlukis rasa lelah di wajah manis mereka, hanya tergambar jutaan asa yang mereka gantungkan di langit Timur Negeri Indonesia.
Malam kembali hinggap bersama suasana yang senyap. Gelap berjalan menyelinap. Kupandangi langit malam yang cerah mengandung rembulan. “Bu, miris sekali ya menyaksikan perjuangan anak-anak untuk dapat sampai ke sekolah..” Ujarku memecah keheningan malam itu. “Ya begitulah. Itu yang setiap hari saya saksikan selama setahun terakhir ini.” “Tadi, di kelas saya bertemu dengan seorang anak, namanya Bertus. Dia bercerita banyak tentang dirinya, teman-temannya dan juga keluarganya.” “Anak-anak di desa ini memiliki impian dan semangat belajar yang sangat tinggi. Namun karena kurangnya perhatian untuk desa terpencil dan pelosok seperti inilah yang terkadang perlahan meruntuhkan impian mereka.” Bu Mira bangkit dari duduknya dan mendekati perapian yang ada di hadapan kami. “Selain itu juga, tidak sedikit orangtua mereka yang melarang anaknya untuk pergi ke sekolah dengan alasan tidak ada gunanya dan hanya membuang-buang waktu saja. Mereka berpikir lebih baik anak-anaknya pergi untuk mencari air bersih atau membantu orangtuanya bekerja.” Lanjutnya yang membuatku terdiam tanpa kata. Ku resapi setiap kalimat yang terucap dari bibir bu Mira. “Lalu apa yang harus kita lakukan, Bu?” aku pun bangkit dan mendekati bu Mira. “Jadilah pengajar yang baik, dan bantu mereka wujudkan jutaan asa itu. Karena mereka pun ingin merdeka.” Bu Mira menepuk pundakku dan kemudian berlalu meninggalkanku sendiri di depan perapian.
Aku masih terjaga malam itu, bola mataku masih enggan terpejam. Tidak ada posisi tidur yang terasa nyaman. Duduk, tidur lagi, duduk, tidur lagi. Begitu hingga berjam-jam lamanya. Pikiranku kalut, carut marut mendengar ucapan terakhir bu Mira tadi. “karena mereka pun ingin merdeka.” “Apa mereka belum merdeka?” “Belum, mereke belum merdeka!” “Mereka masih terbelenggu oleh kebodohan dan terjajah oleh ketidakadilan. Mereka pun harus mendapatkan pendidikan yang sesuai sebagaimana pendidikan yang ada di Ibu Kota.” Aku terus bermonolog sepanjang malam. Kulirik jam tangan yang melingkar di lengan kiriku. Ternyata waktu telah menunjukkan pukul satu dini hari. Kucoba pejamkan mata sekali lagi, menepis setiap hal yang membuat pikiran ini semakin kusut.
Ternyata, sisi lain Bumi pertiwi masih berkabut Gelap dan carut marut Merdeka belum menapaki sudut Timur bumi Jutaan anak masih bermimpi Dan Asa belum terpenuhi
Mentari mulai mendaratkan sinarnya di ufuk timur. Hangat sinarnya perlahan menyapa tanah berbatu di setiap sudut desa. Membiaskan cahaya yang sedikit menyilaukan setiap pasang mata. Masih ku dengar suara riuh burung-burung camar yang berlomba mencari makanan.
Masih di tempat yang sama, namun dengan semangat yang semakin membara. Perjuangan ini masih panjang, masih banyak mimpi-mimpi yang tertidur dan tidak sedikit harapan yang gersang. Aku harus berjuang bersama dengan anak-anak bangsa di Timur Indonesia. Memperjuangkan mimpi dan harapan. Meraih asa untuk kehidupan yang lebih baik di masa mendatang.
Di sekolah, aku tak hanya dianggap sebagai guru, melainkan juga sebagai kakak untuk mereka semua. Banyak hal baru yang aku dapatkan dari mereka, begitupun sebaliknya. Aku bangga dan terharu dengan semangat mereka. Mereka semua adalah anak-anak yang cerdas dan pantang menyerah.
“Hari ini ibu ingin mengajak kalian membuat sesuatu yang InsyaAllah akan bermanfaat untuk penduduk desa.” “Wah, apa sesuatu itu bu?” Lusi terlihat antusias. “Ada lah, pokoknya sekarang kalian ikut ibu saja.” Kami pun pergi ke sebuah tanah lapang. “Kita semua mau apa di sini? Panas sekali bu di sini.” Bertus mengusap peluh di dahinya. “Sini! kalian semua mendekat dan dengarkan ibu baik-baik ya!” mereka pun saling mendekatkan wajahnya satu sama lain
Beberapa bulan kemudian… “Anak-anak, kemari cepaat!! Ibu ada kabar gembira untuk kalian.” “Ada apa ibu? Kenapa ibu terlihat senang sekali?” tanya Bertus. “Ibu ada kabar gembira untuk kalian.” “Kabar apa itu ibu? Ibu bikin beta orang penasaran saja.” tanya salah seorang murid yang terlihat sangat penasaran. “Inovasi terbaru kita telah diterima dengan baik oleh bapak Presiden Republik Indonesia. Dan beliau akan datang ke desa ini, sekolah kita akan direnovasi dan bapak Presiden akan kirimkan lebih banyak guru dan buku-buku untuk sekolah kita.” Ujarku sambil menunjukkan berita yang ada di smartphone milikku. “Terangi Bumi dengan Tenaga Ramah Lingkungan. Wah ibu, pekerjaan kita orang sudah ada di berita, alat yang kita buat bisa terkenal sudah.” Lusi membacakan berita tersebut hingga semua anak-anak bersorak gembira. Kudekatkan wajahku ke arah mereka, “Kita berhasil, ibu bangga dengan kalian semua.” Mereka pun memelukku dengan erat. “Terimakasih juga ibu sudah bantu kami orang semua. Kami juga senang sekali, tanpa ibu di sini kami orang juga tidak mungkin bisa buat alat seperti itu.” “Sama-sama Bertus.” Ku simpulkan senyuman terhangat untuk mereka, untuk para anak-anak bangsa yang gigih berusaha dan pantang menyerah.
Dan akhirnya, semua harapan perlahan dapat terealisasi. Berkat inovasi yang kami berikan untuk Negeri, kini sekolah yang dahulu fisiknya seperti kandang binatang sudah mulai nampak seperti sekolah pada umumnya. Pun sudah mulai banyak tenaga pendidik muda yang ditugaskan di desa ini. Pendidikan di desa ini sudah terselamatkan dari belenggu kegelapan dan lilitan kebodohan. Kuharap tak ada lagi bagian dari Indonesia yang masih haus akan pendidikan dan kesejahteraan.
“Selamat Imah berkat inovasi darimu sekarang anak-anak dapat bersekolah dengan lebih layak. Terus berjuang untuk wujudkan asa anak-anak Indonesia ya.” Kupeluk bu Mira dengan eratnya. Hingga tak kusadari kristal bening mulai membanjiri pipiku. Bukan, ini bukan tangis kesedihan. Ini adalah tangis haru kebahagiaan, kebahagiaan karena dapat melihat senyum kebahagiaan yang terpancar dari wajah anak-anak di Timur Indonesia.
Sejatinya kemerdekaan adalah milik semua manusia, terutama mereka yang senantiasa terus berusaha untuk meraih asa. Kemerdekaan bukan melulu soal terbebas dari para penjajah, melainkan soal kehidupan yang layak sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Semua berhak merdeka termasuk mereka, anak-anak di Timur Indonesia.
Malam tenggelam bersama rembulan yang pualam Pancaran surya membangunkan impian yang kelam Selalu ada harapan, untuk sejengkal pengorbanan Diriku bukan Tuhan, yang dengan cepat dapat memutar keadaan Namun Tuhan beriku kekuatan untuk berjalan dan keluar dari kegelapan Mencari penerangan dan kembali gantungkan mimpi Di langit nan tinggi, Ya, itulah baktiku untuk Bumi Pertiwi.
Cerpen Karangan: Nazri Tsani Sarassanti Blog: nazritsani.blogspot.com