Aku terbangun dari tidurku. Terbangun oleh batukan knalpot motor tua yang tiap pagi dipanaskan ayah. Saat aku sibak tirai dari jendela tak berkaca kamarku, asap knalpot membumbung tinggi akibat solar si motor. Hari ini, memang begini. Hari lainya pun begitu. Keseharian berulang yang membuatku jenuh tanpa bisa mengeluh. Aktifitas tiada bosan berulang bagaikan piringan hitam yang terus berputar, melantunkan lagu yang sama tiap hari.
Kegiatanku juga masih sama. Dengan malas, kuucek-ucek rambutku, mengambil ancang-ancang, kuhirup nafas, dan kemudian, kuhembuskan dengan keras. Cukup sudah relaksasi pagiku. Tidak ada sambutan spesial dari seorang pelayan ataupun roti panggang di atas meja sebelah ranjangku.
Durasi permainan lagu ini masih amat panjang. Banyak kewajiban yang harus kulakukan. Dengan kaos singlet oblong dan celana pendek butut, aku mengambil ember serta menyampirkan handuk buluk di leherku, lantas mendatangi sumur belakang rumah. Satu lagi kebiasaan, ada lansia yang selalu kutolong untuk menimba air rumah tangganya. Anehnya selalu kulayani dengan senang hati meski aku tahu aku tidak akan dibayar. Mungkin, ada rasa kasihan, juga peduli. Namun, aku hanya senang ketika si Mbah tersenyum kepadaku sebagai tanda terima kasih dengan senyumnya yang tulus. Dengan senyumnya yang sudah tidak ayu lagi seperti dulu. Inilah salah satu simfoni dalam piringan hitam yang merdu. Ketika senyum orang-orang menyapa, siapapun itu, dengan senyum yang seperti mengisyaratkan “Monggo mas, ada yang bisa saya bantu?”. Merdu sekali.
Ayahku telah mematikan mesin motornya ketika aku membuka pintu depan untuk berangkat sekolah. Seperti biasa, aku duduk di teras, mengambil cangkir kopi, dan menuangkan kopi tanpa gula yang disediakan ayahku. Aroma khas kopi lampung yang sedikit amis masuk ke dalam rongga hidungku, merayuku untuk segera meminumnya. Sesapan pertama kunikmati sambil mendengarkan berita radio hari ini, diselingi dengan suara gesekan sapu lidi ibu tetangga, juga suara tawar menawar tukang sayur gerobak didepan rumahku. Suara-suara itu bercampur dengan nasihat-nasihat ayahku tiap pagi sebagai percakapan bapak-anak yang mungkin kurang diminati oleh anak-anak jaman sekarang ini. Terlalu banyak suara bertabrakan. Berpadu, tapi setidaknya bukanlah hal yang tabu.
Onthel peninggalan kakekku ini melaju lincah disela-sela mobil-mobil, motor, bahkan becak sekalipun. Tas selempang kulit yang kupakai kubiarkan menjuntai di sebelah kiri badanku. Sebuah genangan air kecoklatan berhasil kuterobos. Masa bodoh dengan celana abu-abu sekolahku ini. Kemudian, aku berhenti di sebuah lampu merah perempatan yang sepi. Kusandarkan kakiku di trotoar, beristirahat sejenak, menunggu.
“Hoii!.. sedang apa pulak kau? Mikir cewek kah? Hahaha”. Fatah, teman sebangkuku menepuk pundaku dari belakang. Orang batak laten bermarga Siregar ini memang sudah menjadi sahabatku sedari pertama kali duduk di bangku SMA. Banyak pengalamaku bersamanya. Terutama hal yang mungkin kurang baik. Tetapi, tenang saja, Fatah orang batak yang benci dengan hal sia-sia seperti merokok ataupun zina. Logatnya yang khas, dan suaranya menjadi hal yang menarik bagiku. Namun, yang membuatku jengkel adalah suara terbahak-bahak keras sekali saat dia bercanda dengan orang lain. Terutama denganku. “Woy.. ayolah jalan. Jika terlambat, mampus kau dihukum pak Kumis.. hahaha”. Dia kembali tertawa seperti biasa. Merinding mendengarkan ucapanya, aku mulai mengayuh sepedaku menyusul Fatah yang mulai menjauh. BK sekolah kami itu memang benar-benar disiplin. Tak heran beliau menjadi guru teladan se-Kota kami.
Kembali menyusuri jalan. Terdengar lagi suara mobil, dan motor beserta dengan asap-asap kendaraan yang mengepul dari knalpot mereka yang hendak menuju tempat kerjanya masing-masing. Kota sibuk ini memang menyimpan berbagai keributan yang bisa keluar meledak sewaktu-waktu. Namun, itulah yang paling kutunggu. Aku akan sangat menikmati kebisingan kota ini, mulai dari suara knalpot hingga suara musisi jalanan yang mencari sesuap nasi. Sementara Fatah mengayuh sepedanya, aku menjajarinya. Gerbang sekolah mulai terlihat. Murid-murid bergerombolan masuk. Sedangkan aku dan Fatah memarkirkan sepeda di lapangan sekolah.
Lagi-lagi, semua terasa seperti biasa. Kebisingan kelas di pagi hari, celotehan Fatah tentang intrik politik dengan logat batak kentalnya, suara bel kuno yang membuat para murid mengeluh, juga khotbah guru yang membri bekal masa depan murid-muridnya. Peristiwa yang terulang kembali, seperti Déja Vu difilm-film barat. Melodi musik yang terdengar kembali sepanjang durasinya.
Setiap guru sudah memasuki kelas yang akan diajarnya masing-masing. Fatah langsung memasang wajah masam ketika teringat bahwa yang mengajar pagi ini adalah guru sejarah. Tanganya mengisyaratkan untuk mengajaku izin keluar. Mau tidak mau, aku mengikutinya. Saat pelajaran dimulai, Fatah berdiri dan meminta izin ke kamar mandi –yang sebenarnya jauh dari apa yang dipikirkan guru sejarah kami ini. Aku hanya berjalan pelan di belakang Fatah yang dengan santainya melangkahkan kaki di lorong kelas. Kami berjalan ke arah lapangan, suara guru-guru yang dengan lantang menyampaikan materi-materi menemani langkah kami di sepanjang koridor. Entah kenapa, aku merasa miris menemani temanku bolos seperti ini. Meskipun aku tahu Fatah mencari hal yang lebih menarik dibandingkan dengan sejarah Eropa, ataupun Arab kuno. Ditengah-tengah waktu pelajaran sedang disampaikan seperti ini. Padahal, guru sejarah kami itu orangnya baik, namun menjadi membosankan karena cara mengajar terdahulu yang beliau gunakan.
“Hei, mungkin kali ini petualangan kita akan menyenangkan, kau nak ikut?”. Aku hanya bisa mengangguk. Bukanya aku tidak punya pendirian atau prinsip. Aku juga ingin melarikan diri dari jeratan khotbah panjang membosankan yang disampaikan guru sejarahku itu. Dan juga, pelarianku bersama Fatah selalu menakjubkan. Tapi kali ini, dia sampai bicara seperti itu, berarti ada hal teramat penting yang akan ditunjukanya. Seperti bolos kami biasanya, kami mengendap-endap ke lapangan tengah sekolah tempat dimana sepeda kami di parkirkan. Lapangan sekolah sebenarnya juga adalah tempat yang rawan, lapangan ini dijaga oleh BK kami sendiri, Pak Kumis. Beruntung, Pak Kumis sedang tidak ada di sekolah karena urusan pemerintah, ini mempermudah kami untuk akses keluar sekolah.
Petualangan kami kali ini, aku juga tidak tahu kami akan kemana, Fatah yang tahu. Seragam yang masih kami pakai membuat kami sedikit waspada terhadap patroli. Sepeda kami hanya satu-satunya yang bergerak di sepanjang jalan dengan batang-batang pohon rindang disisi-sisi jalan. Suara gemersik dedaunan pohon yang bergerak diterpa angin menggugurkan beberapa daun yang sudah kekuningan menemani laju sepeda kami, suaranya indah. Dan aku tidak tahu kenapa Fatah menuntun kami melewati jalan yang bahkan belum pernah kami lalui sebelumnya.
Kami berhenti di depan sebuah jalan masuk yang diapit oleh 2 rumah di sampingnya. Jalan masuk ini hanya ditutupi dinding seng tipis dengan kayu sebagai penyangganya. Di dalamnya ada lapangan kering yang luas sekali. Bukan sekedar lapangan, namun ini pemukiman yang sangat amat luas. Jangan kira ini pemukiman mewah atau jajaran apertemen di ibukota. Tempat ini seperti lapangan tempat sampah dengan kardus dan seng berkarat yang diberdirikan vertikal sebagai dinding. Atap-atap dari tumbuh-tumbuhan kering menghiasi setiap dinding kardus. Tanpa jendela ataupun saluran air. Dari pertama kali aku memasuki kawasan ini, aku mengambil kesimpulan: tempat ini adalah pemukiman orang-orang miskin kota ini.
Kami turun dari sepeda kami, kemudian menuntunya perlahan. Aku ternganga dengan pemandangan ini. Aku bahkan tidak tahu bahwa ada pemukiman seperti ini di kota tempat tinggalku. Fatah berjalan di depan dengan jalan santainya yang biasa dia pakai dimanapun. Sepertinya aku tahu jika dia sudah sering ke tempat ini. Orang-orang yang ada disini menyapa Fatah seperti sudah kenal untuk waktu yang cukup lama. Mereka rata-rata adalah bapak-bapak telanjang dada dengan tubuh kurus dan tidak terurus. Pemukiman serba sederhana ini, aku merinding melihatnya. Aku seperti terbawa oleh berita radio pagi beberapa hari yang lalu tentang krisis di Somalia.
Fatah menengok kearahku, lantas tersenyum kecil. Aku bingung kenapa dia tersenyum seperti itu kepadaku. Ada segerombol anak-anak kecil berlarian kearah Fatah dengan girang. Fatah tersenyum kecil kearah mereka. Mengenaskan sekali penampakan mereka, kecil dengan kepala yang lebih besar dari badan mungil mereka. Tungkai kaki mereka yang kurus mereka pakai berlari. Salah seorang diantara mereka mengalihkan pandanganya kearahku, kemudian tersenyum seperti yang dia tunjukan ke Fatah sebelumnya, senyum lebar yang tidak menunjukan kesakitan atau rasa tertindas. Dia berlai kearahku dengan semangat. Kemudian tersenyum kembali saat sudah berdiri di sampingku. Dia menarik-narik tas yang ada di tubuhku, aku hanya melihatnya dalam. Sementara anak yang lain masih sibuk dengan Fatah, dia malah tersenyum padaku. Sungguh, tidak bisa dipercaya, masih ada suara kebahagiaan di dalam piringan hitam yang bergenre sedih dan menyiksa ini.
Aku bingung harus menunjukan wajah seperti apa terhadap melodi yang saat ini tersenyum lebar dengan tulus kepadaku. Aku hanya bisa pura-pura tersenyum kepadanya. Anak itu hitam dibakar cahaya matahari yang terus-terusan memanggang kulitnya. Rambutnya keriting tipis di kepalanya. Aku mencoba bersalaman dengan anak itu. Tangannya kasar dan kotor. Dia terlihat bahagia sekali. Kemudian dia melihat kearah seragam yang kukenakan, Dia seperti kagum dengan seragam yang kupakai ini. Jadi, aku senderkan sepedaku di tembok semen terdekat yang ada, dan aku berjongkok di depan anak itu agar dia bisa melihatnya dengan jelas. Kembali dia tersenyum dengan girang saat dia bisa menyentuh seragamku secara langsung.
Fatah memanggilku untuk mendekat. Dia ingin bilang sesuatu sepertinya. Aku mulai mengerti kenapa dia mengajaku kemari hari ini. Aku belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya. Aku mengerti apa yang dipikirkan Fatah. Suara yang lebih indah daripada sebuah ketenangan rumah dengan secangkir kopi pagi dan nasehat ayah yang mengalir cepat dan terulang begitu saja. Melodi yang tidak begitu tabu dibandingkan dengan kebisingan motor yang menekan klaksonya dengan keras. Musik yang lebih nyaman didengarkan dibandngkan dengan kebisingan murid-murid di kelas.
“hehe, maaf ya, aku bawa kau kesini.. pasti tak ada menariknya buatmu.” Ujarnya sambil masih bermain dengan anak-anak lainya. Anak yang tadi bersamaku juga mengikutiku. Kulihat Fatah memberikan anak-anak itu roti dari tasnya. Tak lupa anak yang sedari tadi bersamaku diberi roti olehnya. Huh, dasar. Temanku ini, memang tidak ada habisnya memberi suara tambahan disetiap putaran piringan hitam yang membosankan. “kau tahu tak, aku tak suka mereka disini terlantar dan dibiarkan pemerintah. Bukannya aku menyalahkan pemerintah atas semua ini. Aku berpikir positif saja mereka sedang merencanakan untuk menyelesaikan masalah ini.” Bukankah mereka memang tidak akan menyelesaikannya? Pikirku. Aku memang tidak suka dengan politik sejak kecil. Ibuku meninggal karena politik pengadilan. Kakekku mewariskan sepeda perangnya karena gugur dalam mempertahankan negaraku saat ini yang tidak jelas bagaimana pemerintahanya. “Bukan.. bukanya pemerintah tidak mau menyelesaikan masalah ini.” Lantas, jika kamu bicara begitu, apa yang sebenarnya harus disalahkan? Aku tidak berani mengucapkan kata-kataku. “Coba kau pikir? Bangsa ini kekurangan apa?” Fatah melanjutkan kata-katanya sambil bermain dengan anak anak itu. Aku melihatnya. Tak bisa mengucapkan apapun. Aku tidak tahu apa yang kurang dari bangsa ini. Aku tidak pernah memikirkanya. “Manusia harusnya terus berkembang kawan. Manusia adalah pendaki dari gunung yang bernama kehidupan. Orang-orang bangsa ini mungkin memang sudah banyak yang menggapai puncak. Namun mereka kerurangan satu hal. Apa kau tak nampak kekurangan orang-orang golongan atas bangsa ini?” aku semakin bingung mendengarnya. Aku penasaran dengan apa yang akan dia sampaikan setelah ini. “mereka kurang peduli terhadap orang-orang yang berada di bawahnya. Mereka tidak mau mengulurkan tangan mereka yang sudah dicuci sesampainya di puncak. Bahkan, mereka tidak mau repot-repot melihat ke bawah.” Itu memang benar. Apa yang dikatakanya benar. Namun kenapa dia tidak mau menyalahkan orang yang sudah di atas? “ahah.. mereka yang diatas tidak bisa dilihat oleh orang yang di bawah kecuali dia yang ada di atas menjulurkan kepalanya. Aku tidak menyalahkan orang yang di atas. Tapi, aku mencoba mencari tahu apa yang salah di dalam diriku. Dan,. kawan. Aku menemukan bahwa tidak harus sampai puncak baru harus menolong orang lain. Saat inipun kita bisa. Aku pun begitu. Namun, kenapa? Aku menatap ke tanah. Ke arah sepatu kulit yang kupakai. Di atas tanah yang kering ini. Aku berpikir tidak ada yang bisa kulakukan. Namun, Fatah menunjukan caranya, tidak harus sampai puncak untuk menolong orang lain. Tidak harus kaya untuk ikut menyumbangkan harta bagi mereka yang berada di bawah.
“oh iya, aku nak minta maaf kepadamu. Karena aku, kita berdua sering bolos sekolah. Habisnya, aku senang kesini tiap pulang sekolah hanya untuk bertemu dengan anak-anak lucu ini.” kata Fatah memecah lamunanku. Aku tidak peduli, aku terkesan dengan Fatah kali ini. dia benar benar orang yang baik. “aku janji tak akan bolos sekolah lagi. Lagian kasihan orangtuaku bayar untuk sekolah, tapi aku malah bolos. Hehe..” Aku tersenyum. Terima kasih Fatah, kamu yang telah membawaku bertemu dengan suara yang sebelumnya belum pernah kudengar sebelumnya. Yang lebih merdu dan meriah dibandingkan kebahagiaan di pasar malam. Ini suara yang lebih indah dari semua itu. Aku minta maaf padamu, bangsaku. Maaf karena aku tidak sanggup memperbaiki setiap suara fals di piringan hitam ini. aku janji padamu untuk membuatmu terus berputar, memainkan lagu yang indah meskipun diulang berkali-kali.
Maafkan aku Indonesiaku, aku masih kurang rasa “Indonesia” didalam benakku. Namun, saat ini aku bisa dengan lantang berteriak :INILAH AKU, INI INDONESIAKU, INI AKU YANG INDONESIA, Aku adalah Indonesia.
TAMAT
Cerpen Karangan: Farhan Anas Blog / Facebook: Farhan Anas