Kakiku untuk pertama kalinya menginjak tanah di desa ini. Ya, desa ini sangat terpencil, begitulah kata orang-orang. Aku pun sependapat dengan mereka setelah aku melihat langsung kondisi desa ini. Desa ini sangat terpencil, tak ada listrik. Ya walaupun sekitar sepuluh persen anak di desa ini yang menjamah pendidikan. Itupun mereka harus berjalan jauh karena sekolah yang paling terdekat berada di luar desa ini.
Aku Hendra. Cita-citaku menjadi seorang guru. Aku telah lulus SMA. Aku tak bisa melanjutkan pendidikanku karena aku tak punya modal cukup banyak untuk kuliah. Lalu, aku memutuskan kesini untuk memberikan ilmu yang aku punya ini kepada mereka yang tak bisa sekolah.
“Oh, sampeyan mau jadi guru disini?” Tanya kepala desa. “Iya Pak, saya ingin jadi guru. Daripada ilmu yang saya miliki terbuang sia-sia, mending saya bagi ilmu saya ke mereka,” jawabku. “Oh ya nak, nama sampeyan siapa?” Tanya kepala desa. “Oh ya pak, saya sampai lupa memperkenalkan diri,” aku tertawa kemudian tersenyum. “Nama saya Hendra, Pak,” sambungku sambil mengulurkan tangan berjabat tangan. “Saya Winoto,” ujar kepala desa yang bernama Winoto yang lantas menerima jabat tanganku. “Kalau lihat dari wajah nak Hendra, mirip sekali dengan anak saya,” sambung Pak Winoto. “Emm, lalu anak bapak dimana sekarang?” Tanyaku penasaran. “Anak saya telah gugur dalam peperangan saat dia masih menjabat sebagai anggota tentara,” jawab Pak Winoto sambil meneteskan air mata. “Maaf pak, saya tidak tahu,” ujarku turut bersimpati. “Ya tidak apa-apa nak, orang bapak yang mulai bercerita kok,” ujarnya.
“Kembali ke persoalan tadi, masalah gaji, saya tidak bisa menyanggupi jumlah gajinya, nak,” keluh Pak Winoto. “Ah tidak apa-apa, pak. Jangan khawatir dengan masalah itu. Saya menerima gaji dengan sukarela kok,” jawabku. “Oh ya pak. Malam ini saya tidur dimana?” Tanyaku. “Nanti mas Hendra bisa menempati rumah kontrakan saya. Bisa mas Hendra pakai sampai kapanpun mas Hendra mau,” ujar Pak Winoto. “Wah, terima kasih banyak, Pak!” Sahutku. “Mari saya antar,” ajak Pak Winoto.
Aku menatap lekat wajah-wajah di dalam foto yang tak asing bagiku. Mereka yang telah merawatku, membimbingku, dan menafkahiku selama 20 tahun terakhir ini. Ya, mereka adalah orangtuaku. Yang mendidikku dari TK hingga SMA. Hingga suatu saat kejadian itu terjadi…
“Ayah, bunda gak sabar deh lihat ekspresi Hendra saat melihat kado ulang tahunnya ini,” ujar bunda bersemangat. “Iya bun, ayah juga gak sabar. Pasti mata Hendra berkaca-kaca melihat isi kado ini,” sahut ayah.
Di tengah asyiknya mengobrol, ayahku tak sengaja menabrak sebuah pohon yang menewaskan ayah dan bundaku. Saat itu, aku lagi di rumah menunggu kepulangan mereka. Waktu telah menunjukkan pukul 23.00. Namun, ayah dan bunda belum juga pulang. Aku lantas menelepon orangtuaku. Kedua-duanya tak menjawab panggilanku. Lantas sesaat kemudian, aku mendapat telepon dari pihak kepolisian yang menyatakan bahwa ayah dan bundaku mengalami kecelakaan yang menyebabkan mereka pulang ke rahmatullah.
“Ayah, bunda! Bangun! Jangan tinggalin Hendra! Hendra gak bisa hidup tanpa ayah dan bunda. Bangun ayah! Bangun bunda!” Teriakku histeris saat jenazah mereka tiba di rumahku. “Sudahlah Hendra, ikhlaskan saja. Ayah dan bundamu tak akan bangun lagi,” ujar tanteku menghiburku agar aku tenang.
“Maaf, kami dari pihak kepolisian ingin memberitahukan bahwa kami menemukan sebuah kado di dalam mobil kejadian. Ini kadonya,” ujar Pak Polisi yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah dan memberikan kado itu padaku. “Terima kasih banyak, Pak!” Sahutku sambil menerima kado itu.
Sejak saat itu, aku berlatih hidup mandiri tanpa ada bantuan orangtua. Aku juga terpaksa tidak dapat melanjutkan kuliah karena keterbatasan ekonomiku. Rumah orangtuaku juga kujual karena aku harus membayar hutang-hutang orangtuaku. Sekarang aku tinggal bersama tanteku yang bernama Diana. Tante Diana tak bisa berbuat banyak ketika aku mengutarakan maksud dan tujuanku datang ke desa ini. Tante hanya berharap aku berangkat dan pulang selamat sampai tujuan.
Ini hari kedua aku menempati desa ini. Sebelumnya, Pak Kades menerangkan tujuan dan maksud kedatanganku ke desa ini kepada warga. Sebagian dari mereka bersorak senang dan sebagian dari mereka bingung karena anak-anak mereka tidak dapat membantu mereka bekerja.
“Begini bapak dan ibu, kita tentukan harinya dan jam belajarnya. Bagaimana kalau pagi saja?” Tanyaku dihadapan warga. “Oh tidak bisa mas. Anak-anak biasanya membantu kami pagi hingga siang hari,” sahut salah seorang warga. “Nah, bagaimana kalau sore jam 4?” Tawarku lagi. Sebagian warga mengangguk-angguk mendengar tawaranku yang kedua.
Mulai hari itu juga, setiap Senin hingga Sabtu pukul 4 sore, aku mengajari mereka pelajaran yang semestinya mereka dapatkan sejak dini. Ternyata, pengetahuan mereka memang minim, terutama Matematika. Padahal, Matematika sangat penting untuk dipelajari sebab mereka akan bertransaksi saat menjual padi yang mereka panen. Menjelang Maghrib, kami pun menyelesaikan pembelajaran ini.
Malam harinya, aku diundang ke rumah Pak Kades. “Yah, beginilah mas, suasana di desa ini saat malam. Tak ada listrik, sehingga suasananya mencekam. Setiap malam kami hanya menggunakan lilin,” kata Pak Winoto memulai pembicaraan kami. Aku pun mengangguk dan tersenyum seolah mengerti perasaan dan apa yang mereka alami. Di hadapanku ada beberapa lauk pauk, nasi, serta sambel terasi yang diterangi oleh cahaya temaram lilin serta Pak Winoto yang berada di sampingku. “Ayo mas Hendra, dimakan,” pinta istri Pak Winoto yang menawariku sambil tersenyum ramah. “Iya bu,” jawabku sambil menuangkan beberapa sendok nasi ke piringku. Lauk pauknya berupa ikan asin, tahu dan tempe. Selama makan, aku terdiam sambil melamun. Ternyata beginilah kehidupan di desa ini. Bahkan, saat malam tiba, seakan tak ada kehidupan di desa ini. Sunyi dan mencekam. Baru beberapa hari aku disini, aku dapat merasakan menjadi seorang penduduk di desa ini. Ah, tidak, aku belum merasakan bagaimana rasanya berpanas-panasan di sawah untuk menanam dan memanen padi. Aku sangat bersyukur, kehidupanku di kota tidak sesusah di desa.
Satu bulan sudah aku menetap di desa ini. Aku rasa cukup banyak ilmu yang kuberikan kepada mereka. Aku segera kembali ke kota. Memang, targetku berada di desa memang hanya satu bulan. Mereka kini sudah mengerti berhitung, sudah mengerti tentang benua, samudera, ibukota provinsi di Indonesia, dan lain sebagainya. Mereka juga telah kutambahi ilmu agama yang tentunya bermanfaat di dunia dan akhirat.
“Hati-hati ya di jalan, Kak!” Pesan murid-muridku sebelum aku meninggalkan desa ini. “Terima kasih banyak Kak karena telah mengajari kami disini dengan berbagai macam ilmu yang tentunya sangat berguna bagi kami,” sahut salah seorang muridku. “Ya dek, rajin-rajin belajar ya!” Pesanku kepada mereka.
Akhirnya, dengan berat hati aku meninggalkan desa ini. Aku juga harus mencari masa depanku agar masa-masa belajarku tidak sia-sia. Karena aku tahu, pendidikan merupakan hak setiap orang.
SELESAI
Cerpen Karangan: Vikio Setyobudi Facebook: Vikio Setyobudi Seseorang yang ingin menjadi penulis hebat. Lahir di Lamongan, 18 Oktober 2002 pada hari Jumat. Sedang bersekolah di SMKN 1 PPU, KALTIM. Beri komentar kalian atas cerpen pertamaku ini di www.cerpenmu.com.