Hai, perkenalkan namaku Erlangga atau biasa dipanggil Angga. Ini bukan tentang perjalanan kisahku saja tapi ini tentang perjalanan kami bersebelas. Kami berbeda watak tapi mempunyai visi yang sama.
Aku yang hanya berawalkan hobi membaca dan bergabung dalam satu komunitas di bandung. Aku ingat waktu itu, kala pertama kali akan bergabung, dengan sangat antusias aku bangun di pagi hari. Mempersiapkan diri untuk pergi ke perpustakaan. Pergilah aku jam 10 pagi, seperti biasa jika berpergian aku pamit kepada Ibu dan memberitahu beliau aku akan pergi kemana. Bukan anak mami, tapi menurutku itulah salah satu cara menghargai Ibu dan agar beliau tidak panik.
Singkat cerita setelah mencari alamat perpustakaan, bertemulah aku dengan seorang pria yang mempelopori komunitas tersebut dan kebetulan aku menyukai semua karya-karyanya. Nah bergabunglah aku dengan komunitas tersebut, mereka menyambutku dengan sangat antusias. Bertanya tentang asal aku darimana, buku apa yang aku suka dan sebagainya, karena awalnya aku belum tergabung di grup regional Bandung.
Dan kami tidak selalu serius membahas perihal apapun. Agar tidak tegang, beberapa anggota komunitas tersebut melemparkan banyak candaan dan rayuan gombal disana. Dan berkaitan dengan wawasan, tentunya banyak sekali ilmu yang aku dapatkan setelah bergabung dengan komunitas tersebut terutama tentang buku.
Kegiatan kami diluar ngobrol di lingkup grup, kami sering mengadakan lapakan buku gratis walau kadang pengunjung tak sedikit mengira bahwa kami sedang berjualan buku.
Salah seorang temanku, Adam sering berkata “udah tau lapakan baca gratis, kok masih ngira jualan juga ya?” “Mungkin banner kita terlalu kecil zuh” jawabku santai. “Ahh masa sih? Kita pasang banner kan 3, jelas kali, Ngga” balas Adam dengan wajah protes. “Yasudah biar saja zuh, toh banyak juga pengunjung yang datang untuk membaca” timpal Aryo.
Aryo adalah salah seorang anggota komunitas juga, perawakannya yang besar dan selalu bertingkah lucu membuat kami dan pembaca yang hadir tertawa.
Lain hal dengan lapakan kami di Cimahi, kalau kami mengadakan lapakan disana yang datang kebanyakan anak kecil. Seperti anak-anak SD dan banyak juga anak jalanan yang tetap bersekolah, tiap sabtu malam minggu kami habiskan untuk menemani adik-adik kami. Kami senang menemani mereka belajar, dan aku pribadi lebih senang menemani mereka yang ingin belajar menggambar. Karena semua panitia sudah mempunyai tugasnya masing-masing
“Kak… Kak… Kak” teriak Reza salah satu anak yang lumayan kritis saat memberikan sebuah pertanyaan-pertanyaan. “Kenapa, Dek?” tanyaku sembari menatapnya dengan tersenyum. “Itu, kak Virli ngambil semua pensil wananya, aku mewarnai pakai apa?” tanyanya dengan wajah polos sembari menunjuk anak gadis yang dimaksudnya “Sudah-sudah biar kakak ambil ya pensilnya. Sekarang kalian berdiri dulu, terus duduknya dibuat lingkaran” ucapku seraya memberikan mereka arahan agar membentuk lingkaran. Sedangkan anak yang lain membaca, menceritakan dongeng. Itu adalah pengalamanku yang tidak bisa dilupakan. Apa yang mereka gambar, apa yang mereka tulis, dan apa yang mereka cerita kan kami beri nilai. Tujuannya, agar semangat mereka terpacu untuk tetap belajar karena mereka adalah aset bangsa.
Di luar itu kami sering sharing tentang apapun yang sedang ramai dibicarakan. Tapi tidak melulu kami ini serius. Becanda itu harus, untuk mencair kan suasana. Dan tak lupa, kamipun sering diundang untuk menghadiri siaran sebuah stasuin radio di kota Bandung untuk mewawancarai kami. Itu sebagian dari kegiatan saya di komunitas ini.
Setelah beberapa bulan aktif di komunitas ini, aku jadi lebih gemar membaca dan alhamdullilah wawasanku bertambah. Seiring waktu akupun memberanikan menulis sebuah puisi untuk aku konsumsi sendiri, tetapi rasa penasaranku muncul ketika melihat banyak teman-temanku yang menulis puisi mereka dan memposting karya mereka di sosial medianya.
Sepertinya mereka memang benar, menulis apa yang mereka rasakan seperti alunan nada dalam suara menghayati setiap bait dan setiap kata yang mereka tulis. Setelah membaca beberapa cerpen, puisi, dan sajak. Akhirnya aku mencoba membuat puisi yangg lebih hidup dibandingkan dengan tulisanku yang sebelumnya, satu per satu aku tulis selaras dengan apa yang aku pikirkan.
Dan semakin kesini jika sedang jalan. Entah saat melihat wanita cantik, melihat langit, pohon, gunung, air apapun itu yang membuat kutertarik, aku mengabadikannya dalam bentuk puisi.
Dimulai dari situ, puisiku tak selalu bertemakan cinta, atau apa yang aku rasakan tapi aku membuat logika dan instingku bermain walau aku selalu merasa tulisanku masih biasa. Bertemulah aku dengan akun bidadari syair, aku membaca puisi dia yang menceritakan tentang cinta dan dari situ aku mulai menyukai karyanya. Walau aku tak tau siapa dia, jika saja aku tahu; pasti sudah kudekati dia.
Dan suatu kebetulan mungkin, aku juga menjadi salah satu anggota komunitas yang berasal dari kota Jogja. Dimana dalam komunitas tersebut, terdapat banyak member yang tersebar di seluruh Indonesia. Memulai dari mengulas buku, bercerita, membuat puisi, sajak, cerpen dan berbalas puisi hingga keluar kata-kata maut dari setiap member di komunitas tersebut.
Aku sebagai pemula kagum pada mereka yang pandai merangkai kata. Sekalipun dalam keadaan bercanda tetap saja kata-kata maut itu terlontar dari mereka para pecinta aksara. Tapi seiring berjalan waktu komunitas itu menjadi sepi, akhirnya aku bertanya kepada salah seorang anggota di grup itu. Dia adalah Fairiiy lestarii orang pertama yang aku tanyakan tentang menulis, terutama puisi.
“Kak, kenapa ya puisi yang aku bikin seringkali merasa kurang hidup atau biasa saja?” tanyaku kala itu. “Nah, kalau kamu saja sudah beranggapan seperti itu sama puisimu, lalu bagaimana dengan orang lain? Penggemar tulisan kita yang pertama, adalah diri kita sendiri. Jika orang lain pun suka dengan tulisan kita, itu adalah bonus dari hasil pemikiran kamu, El” jawabnya. Jawaban dia sontak membuatku melamun, karena aku tidak sadar sama sekali akan hal itu. “Hatur nuhun SeBandung raya” seruku. Itu pertanyaan pertamaku soal puisi kepadanya, dan semakin kesini dia jadi tempat curhatku. Dan aku merasa nyaman curhat dengan dia soal apapun, mungkin bukan hanya aku yang merasakan hal itu kepadanya.
Dikarenakan komunitas yang di bentuk di Jogja itu sepi, akhirnya si Fairiiy membuat kembali grup dengan nama Seniman Berkarya tidak banyak anggota di grup itu hanya ada 12 orang termasuk aku. Tidak jauh berbeda dengan komunitas sebelumnya kami membahas buku, bercerita, berpuisi, membuat sajak dan berbalas puisi dengan sesama member.
Dan pada satu waktu kita membahas tentang Bipolar. Nah!! Perjalanan gilaku di mulai. Bipolar adalah gangguan mental yang menyerang psikis seseorang yang ditandai dengan perubahan suasana hati. Nah sebagian kawan di grup merasa kalau mereka pun mengidap Bipolar, termasuk aku pribadi. Karena seringnya mood itu berubah, dan malah jika sampai depresi bisa berakibat fatal.
Tapi saya pribadi akan lebih menjelaskan tentang Bipolar tersebut. Saya tegaskan, pengidap Bipolar itu bukan untuk dijauhi, tetapi untuk di dukung penuh oleh lingkungan. Karena ketika si pengidap ini didukung penuh oleh lingkungannya, maka dia akan lebih berprestasi.
Pada akhirnya grup ini berganti nama menjadi SenBi atau Seniman Bipolar. Mengapa dikatakan Seniman? Karena kami adalah pecinta aksara, dimana menulis menjadi kelebihan dibalik banyaknya kekurangan kami.
Terasa indah bukan? Sebuah aksara alfabet yang kami rangkai, menjadi maha karya puisi, sajak dan sebagainya. Tidak hanya itu, kami mengulas banyak hal yang sedang ramai dibicarakan terutama tentang kegiatan menulis atau buku. Kami sangat antusias saat salah seorang penulis terkenal seperti Darwis Tere Liye yang menggusur semua bukunya karena pajak yang tinggi.
Gila di grup ini, bukan sakit jiwa melainkan candaan dalam grup yang membuat kita merasa gila sendiri, saling jahil, saling bully, saling menggodai, tapi kami terima dan kami paham akan hal itu. Dan jelas kami berbeda kota walau dikatakan teman dunia maya di karenakan kami semua belum bertatap muka, tapi pertemanan kami sudah bagai keluarga hangat dan manis. Tidak mengenal waktu itulah kita, bercanda di waktu kapan pun oke saja asal kita bahagia dan tertawa terbahak sendiri.
“Semenjak gue masuk sini otak gue ko jadi agak miring” Ujar salah seorang member grup. “Ngga lu doang kok, kita semua sama. Barisan otak miring” seru yang lainnya.
Kita mempunyai rencana membuat cerpen dengan tema SenBi atau Seniman Bipolar, dimana setiap anggota grup wajib membuat 2 cerpen. Walau sebagian kawan lebih suka berpuisi dan bersajak tapi, sekali lagi kami menyambut baik semua itu. Dan yang spesialnya lagi, cerpen itu akan dibukukan.
Setiap orang akan mati dan hanya akan ada ALM di belakang nama. Tetapi sebuah karya yang dibuat dengan sepenuh hati, segenap jiwa. Dialunkan dengan nada-nada minor dan mayor, diselaraskan bagai irama yang merdu dan terpahat dalam hati setiap insan, tak akan pernah mati dan terganti.
Cerpen Karangan: Erlangga Imam Saputra Blog / Facebook: Erlangga Imam Saputra