Aku suka puisi. Puisi itu dapat mengobarkan semangat ketika diambang keputus asaan, memberi kesabaran dalam menapaki berbagi duri kehidupan, terkadang membuatku tersenyum walau hati dalam kedukaan. Menurutku puisi itu lebih mendekati kebenaran dibanding sejarah, puisi itu lebih indah ketika dibaca atau didengar. Lebih dalam menyimpan makna, lebih halus setiap katanya.
Tapi aku juga suka sejarah, sejarah memperkenalkan generasiku pada orang-orang hebat dimasanya. Muhammad Rosulullah sang nabi utusan. Beliaulah –idolaku– seorang yang mampu menyibak tabir jahiliah dan memberikan cahaya terang benderang di bawah bendera Islam. Juga Abu Bakar ketika menggerakkan pesukan memberantas kaum murtad. Dan ketika Umar dengan keberaniannya membuka pintu-pintu kekuasaan Romawi dan Persia. Hingga tahun-tahun kemudian umat islam mampu mengukir sejarah yang gemilang. Sekarang, sejarah sudah mencatat prestasi prestasi mereka. Aku mewakili dunia untuk berterima kasih peda mereka.
Hebatnya, sejarah juga mengajarkan masa depan, apa yang aku lakukan hari ini akan menjadi bekalku dimasa depan. Namun yang paling membuatku penasaran, bagaimana nanti aku akan dikenang? Bagaimana nanti aku akan dikenang oleh kelima sahabatku? Bagaimana nanti aku akan dikenang oleh orangtuaku? Entahlah, kita tidak akan pernah tau sampai saatnya tiba.
Dia menutup diary biru muda itu, diluarnya tertulis Shofia Khoirunnisa dengan huruf indah berwarna emas. Ia menerlentangkan tubuh sembari mendekap buku itu, bola matanya menerawang langit-langit kamar.
“Shofia!” seseorang memanggil di mulut pintu menyadarkanmnya dari lamunan. Dia segera bangkit duduk sembari membetulkan kerudung, pandangannya tertuju pada sahabatnya yang memeluk kitab fathul mu’in di mulut pintu dengan pandangan penuh tanya. “Sudah jam dua sebentar lagi bel berbunyi.” Ujar Tika. Seakan mengerti, Shofia segera meletakkan buku diary-nya dan mengambil kitab fathul mu’in bersampul biru. Dia melempar senyum. Ketika Shofia menapakkan kakinya keluar pintu, sahabat-sahabatnya juga keluar dari kamar sebelah, D4. Ulfa, Nuri, Wilda dan Nia, mereka semua juga membawa kitab yang sama. Setelah saling melempar senyum mereka berjalan menuju kelas. Sambil bercanda ringan tertawa kecil berbagi keceriaan. Dan tidak ada pembicaraan yang berarti.
Ketika sampai di teras kelas, Shofia memaku langkahnya. Tika yang menyadari juga menghentikan langkah, lalu menoleh pada Shofia yang tersandar pada tembok. “Kamu kenapa?” tanya Tika penuh selidik. Sedangkan yang lain terus melangkah menuju kelas, tidak menyadari ketertinggalan mereka. Shofia hanya menggeleng, dia tampak ketakutan. Keringat dinginnya mengalir. Separuh wajahnya kebawah dia sembunyikan dengan kitab. “nggak papa kok.” Suaranya lirih dari balik kitab. Mendengar jawaban itu Tika segera mengejar temannya yang lain, dan menyejajari langkah mereka. Walaupun hatinya sedikit khawatir dan bertanya-tanya tentang sahabatnya yang satu itu. Dia yakin jawaban sahabatnya tadi bukan yang sebenarnya. Sedangkan Shofia berlari ke arah yang berlawanan. Dia menjauh, bukan ada sesuatu yang tertinggal di kamar. Tidak. Dia terus berlari menuju kamar mandi, nafasnya tersengal-sengal. Tiba-tiba darah merembes dari hidungnya. Hingga bibirnya merah oleh darah. Dia mengusapnya dengan air. Namun darah itu tetap mengalir, beberapa tetesan mewarnai lantai berbaur dengan air yang ia usapkan. “Allah,” lirihnya spontan dari bibirnya yang merah pekat; “astaghfirullah, la haula wa la quwwata illa billah.” Seakan tanpa sengaja ia mengucapkannya, mungkin karena sudah biasa.
Darah itu berhenti, dia membersihkan wajahnya dengan tisu. Setelah dirasa bersih, Shofia kembali ke kelas dengan menata kembali kerudungnya. Dia mempercepat langkah, tangannya tetap mendekap erat kitab bersampul biru bergambar masjid itu. Dalam setiap hembusan nafas ada lafadz Allah yang dilirihkan hati kecilnya. Angin bertiup halus mengibarkan pelan kerudung putihnya. Tiupan itu seakan berdendang mengagungkan nama Allah. Daun-daunpun ikut berdzikir ketika terbelai angin, bahkan debu-debu kecilpun ikut terbang menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah, tuhan jagat raya. Perlahan namun pasti matahari turun kebelahan langit barat.
Malam begitu pucat dengan bulan separuh purnama. Jarum jam sedang menunjuk angka tiga dini hari. Hanya terdengar suara detik jam, dan suara angin halus menyibak keheningan. Tak hanya di luar, di dalam kamarpun rasa dingin terasa menusuk. Seseorang terbangun untuk membetulkan selimut yang tidak lagi menutup tubuhnya. Tiba-tiba dia tersadar; “Shofia.” Lirihnya saat dia sadar Shofia tidak lagi disampingnya. Dia segera bangkit sembari merapikan kerudung yang acak-acakan. Dia keluar kamar walaupun tidak tau kemana ia akan melangkah mencari sahabatnya itu. Yang jelas dia tidak mau membuang waktu dengan membuang waktu yang tidak-tidak. “Semoga dia baik-baik saja, dan tidak sampai keluar pesantren.” Gumam Tika ketika teringat kejadian tadi siang. Ya, Shofia sedang menyembunyikan sesuatu.
Guratan wajah Tika berubah seketika melihat sandal biru di tangga masjid. Mungkin Shofia sedang sholat malam. Dan entah apa yang menggerakkan kaki Tika saat itu, seakan kekuatan gaib yang mengarahkan langkahnya untuk berwudlu, mengambil mukena, lalu sholat bermakmum pada shofia. Namun, sesuatu mengganggu fikiran Tika; “Shofia, berdirinya lama sekali.” Sedangkan kaki Tika sudah terasa gatal, karena tidak biasa seperti itu. Sudah terlintas di benaknya untuk mufaroqoh saja, dan rukuk mendahului sahabatnya itu. Tapi hati kecilnya masih berkata; “Jika Shofia bisa, kenapa dirinya tidak!”
Angin masih bertiup halus. Shofia masih berdiri khusuk dalam sholatnya. Begitupun Tika tetap bermakmum, walaupun berkali-kali dia menggaruk kakinya dengan kakinya yang lain. Dan sesekali menggerutu dalam desisnya yang takkan didengar oleh siapapun selain Allah dan iblis itu sendiri, yang telah berhasil menabur bubuk gatal dan membuyarkan kekhusuk-annya.
Jam sudah mengarahkan jarum panjangnya menunjuk angka enam. Shofia baru membungkukkan tubuhnya untuk rukuk. Rukuknya lama sekali hingga membuat pinggang Tika yang bermakmum terasa nyeri. Begitun pula ketika sujud, bahkan lebih lama dari rukuknya. Tikapun merasakan sakit di keningnya kerena tidak biasa.
Shofia berdiri untuk rakaat kedua. Memang tidak selama rokaat pertama, namun sudah cukup untuk membuat kaki kesemutan, bagi orang yang sholatnya biasa dengan al-Kafirun dan al-Ikhlas saja. Biarpun begitu, Tika tetap setia bermakmum pada Shofia. Ya, walau kakinya sudah terasa pegal.
Katika selesai salam, Tika langsung menyelonjorkan kakinya. Sejenak dia melihat jam yang melekat pada dinding bagian depan masjid. “huh…” desah Tika menghembuskan nafas. Jam empat kurang lima menit. “Shofia!” “mm…” Jawab Shofia sembari menoleh dengan senyumnya. “Baca surat apa kamu barusan? Lama sekali. Kakiku sampe pegal, terasa mau jatuh aku menunggumu untuk rukuk. Huh, apalagi ketika rukuk. Hampir saja aku tersungkur kalau kamu menambah durasinya. Huh… lama sekali, dak kuat aku kalau disuruh sholat lagi.” Celoteh Tika sambil menggerutu. Shofia hanya tersenyum tipis mendengar keluh temannya. “Surat an-Nisa’ dan al-Kahfi.” Jawabnya, yang tentu saja membuat Tika tercengang kaget. “Memangnya kamu hafal?” Shofia mengangkat alisnya serta mengangguk kaku. “Wah. Kamu memang hebat, Shof.” Tika memandang mata Shofia lalu bertanya; “apa kamu hafal al-Quran?” Shofia menggeleng lugu sembari berkata; “belum. Tapi itu sudah masuk dalam daftar cita-citaku” “Dua jempol untukmu. Nge-like banget. Hmm…” Tika melirikkan bola matanya, seakan berfikir sesuatu. “Tunggu dulu! Bukankah cita-citamu dulu ingin mengubah dan memperbaiki Indonesia?” “Iya.” Jawab Shofia mantap. “Tapi, Shof. Perempuan itu kan! Tidak boleh jadi pemimpin.” “Siapa yang bilang mengubah negeri itu harus menjadi pemimpin?” Shofia menghirup nafas dalam lalu melanjutkan. “kita, perempuan, tidak perlu bekerja di depan untuk memperbaiki negeri, tidak perlu bergulat dalam dunia politik, tidak perlu menduduki jabatan-jabatan tinggi. Kita cukup bekerja di belakang layar, kita cukup beraksi di balik tirai. Menemani suami, melayaninya, memotivasinya, menguatkannya, menjadi surga baginya, menjadi tempat kembali setelah suami kita membakar keringatnya. Sebagaimana yang dicontohkan oleh ummul mukminin, Sayyidatuna Khodijah. Selalu setia menemani Rosulullah dalam setiap duka dan duka”. “iya, kalau kamu mendapatkan suami yang paham agama dan peduli Negara. Seumpamanya kamu nanti mendapat suami seperti…” Tika sengaja menahan ucapannya, agar Shofia penasaran dan menebak-nebak dalam hatinya. Tentu saja Shofia tersenyum tersipu, dia sudah mengerti siapa yang dimaksud, namun dia masih menunggu Tika mengatakannya. “…mas Abdullah.” “mas Abdullah, siapa?” Shofia pura-pura tidak tau. “Abdullah Khoirul Anam.” “Apa-apaan sih kamu ini.” Shofia menunduk menyembunyiakan senyumnya. “Kalau dia kan…” Tika diam sejenak untuk menyusun kata yang tepat. “… ilmu agamanya sih, tidak diragukan lagi. Tapi dia orangnya anti politik. Seandainya dia jadi suami kamu, apa dia mau ya, terjun ke dunia kenegaraan?” “Kamu bicara apa?” ujar Shofia berusaha keluar dari pembicaraan itu. “apa kamu lupa janji al-Quran?” orang yang baik akan dipertemukan dengan orang yang baik pula. Dan jika aku sekarang berusaha menjadi orang yang berguna bagi agama dan bangsa. Ya, Insyaallah. Allah akan menyiapkan orang yang sama denganku.” “hmz… iya, iya.” Tika memandang Shofia dengan senyuman aneh; “mungkin saja Allah akan mengubah mas Abdullah seperti yang kamu mau.”
“Amin.” Jawab Ulfa yang tiba-tiba muncul dari belakang Shofia, lalu ikut bergabung bersama mereka. “shofia menunduk tersipu malu. Namun Tika dan Ulfa masih bisa melihat senyuman merekah di bibirnya yang tampak pucat. Mereka tidak curiga, karena sudah biasa melihat bibir Shofia yang putih pasi begitu. Kalaupun ditanya kenapa, pasti jawabannya, baik-baik saja.
Cerpen Karangan: Miftahul Anam Blog / Facebook: zauhirl aqrof orang yang merindukan surga