Tiba-tiba… “Shofia, kamu kenapa?” tanya Tika khawatir. “Hidungmu berdarah!” sambung Ulfa yang juga takut terjadi sesuatu pada Shofia. “hh…” Shofia tampak bingung. Sepertinya dia masih ingin menyembunyikan penyakitnya itu. Dia segera mengambil tisu di bawah sejadahnya. Dia mengusapnya hingga tisu itu berubah menjadi merah, namun darah itu tetap mengalir. Dia mencoba bangkit, namun keinginannya. Sebenarnya tadi Shofia sudah mengerahkan seluruh kemampuannya berjalan ke kamar mandi untuk berwudlu. Sehingga dia tetap menjalankan rutinitasnya, sholat malam. Tadi dia melangkah tertatih sembari berpegangan pada tembok atau apapun yang bisa dijadikan tumpuan. Dan sekarang dia sudah tidak bisa untuk sekedar berdiri.
Tika dan Ulfa memegang lengan Shofia untuk membantunya berdiri. Hampir semua santri sudah naik ke masjid. Nia yang baru menapakkan kakinya di tangga masjid, kaget serta diselimuti rasa khawatir melihat sahabatnya, Shofia, dalam keadaan seperti itu. Diapun berlari mendekat untuk ikut serta membantu Shofia. Tika, Ulfa dan Nia ingin mengantarnya ke kamar, tapi Shofia menolak. Dia memohon kepada mereka agar diantar ke kamar mandi. Mereka tidak bisa memaksa Shofia. Jadi mereka menuruti saja apa kemauannya.
Di kamar mandi Shofia tak hanya membersihkan darah itu, ia juga memperbarui wudlunya. Lantas saja hal itu membuat Tika, Ulfa juga Nia kagum padanya, mereka menaruh hormat pada sahabatnya yang satu itu.
Setelah selesai, Shofia dibantu teman-temannya kembali kemasjid. Di tangga masjid ada Nuri dan Wilda yang membantu mengangkatnya menaiki masjid. “Sudahlah Shofia, kamu istirahat saja.” Ujar Nuri mencoba membujuk. “Apa perlu aku ke pengurus agar memberitahu orangtuamu sekarang.” Wilda menawarkan. “Besok saja.” Jawab Shofia lirih menampakkan senyuman.
Seperti biasa, Shofia dan sahabatnya selalu menempati shof pertama. Dan tentu kejadian tersebut menjadi tumpu pandangan dari semua pasang mata yang ada di masjid itu. Sebagian dari mereka ada yang saling memandang dan bertanya-tanya. Dan ada yang bertanya langsung pada salah seorang dari kelima sahabatnya. Namun tak ada yang berani bertanya langsung pada Shofia karena enggan.
“lepaskan, aku sudah bisa berdiri.” Ujar Shofia lembut. “Tapi, Shof, kamu akan terjatuh.” Kata Tika yang kelopak matanya mulai basah oleh selaput bening. “Tidak, Insyaallah.” Jawab Shofia dengan senyuman yang indah. Tidak pernah terlihat dari rona wajah Shofia ia tersenyum terpaksa. Semua senyuman tampak bercahaya dari relung hatinya. Dan kali ini senyumnya lebih bercahaya dari yang biasa.
Perlahan mereka melepaskan tengannya. Sedangkan Shofia memulai takbir sholat fajar. Sekali lagi mereka dibuat tercengang, Shofia mampu berdiri dan Sholat seperti biasa. Namun Tika dan Shofia masih berdiri di samping Shofia, takut dia akan terjatuh. Baru ketika Shofia rukuk Tika dan Ulfa meninggalkannya untuk sholat sendiri.
Ketika Shofia selesai salam, Tika, Ulfa dan Nia duduk di sampingnya. Nuri dan Wilda duduk di belakang Shofia, mereka ingin bertanya, sebenarnya Shofia sakit apa? Sembari menunggu iqomah. “maafkan aku, aku sudah banyak salah pada kalian.” Ucap Shofia sebelum mereka sempat bertanya. Mereka hanya menggeleng, sebenarnya ingin berkata “tidak Shofia, tidak. Kamu adlah sahabat yang paling baik diantara kami.” Nmun kata itu tercekat di tenggorokan mereka. “Maafkan aku sahabat. Aku telah merepotkan kalian, aku hanya bisa membebani kalian.” Lanjut Shofia dengan nada serak. “Tidak, kami tidak pernah merasa terbebani.” Namun kata itu tidak terlontar dari mulut mereka. Lidah mereka terasa kelu, bibir mereka membeku. Sedangkan air mata mereka mulai berjatuhan. Hanya Shofia yang tetap tersenyum, ia tak ingin membuat sahabat-sahabatnya bersedih.
“Kenapa kamu tidak pulang saja, Shof? Kamu bisa periksa ke dokter.” Ucap Wilda memberi saran. “Iya Shof. Aku yang akan ke pengurus untuk menelepon orangtuamu.” Sahut Nia menawarkan diri. “Iya, aku akan ke pengurus sekarang.” Kata Nuri yang segera berdiri, namun Shofia menahan tengannya. “Tidak perlu. Iya. Bosok, insyaallah aku akan pulang.” Ucap Shofia lirih. Jawaban itu membuat wajah sahabat-sahabatnya berubah. Mereka takut salah bicara. “Bukan, Shof. Bukan begitu, kami tidak bermaksud mengusirmu, adamu disini tidak merepotkan kami, hanya saja kami mengkhawatirkan kondisimu.” Jawab Tika mewakili yang lain. “Iya, iya, aku mengerti. Insyaallah besok aku akan pulang.” Shofia kembali tersenyum. Mereka ikut tersenyum walau bercucuran air mata.
Iqomah terdengar, semua santri berdiri untuk sholat Shubuh berjemaah. Tika menyarankan agar Shofia Sholat duduk saja. Tapi Shofia menolak. “Jika aku masih bisa berdiri kenapa aku harus duduk untuk menghadap Allah.” Merekapun menuruti keinginannya, lalu segera membantunya berdiri.
Neng Zainab datang dengan mukena putih tanpa motif. Semua santri menunduk takdzim. Biasanya kalau neng Zainab yang jadi imam, rokaat pertama membaca surah as-Sajadah, rokaat kedua membaca surah al-Insan. Dan harai jumat itupun begitu, tidak berbeda dengan sebelumnya.
Air mata Tika tiba-tiba meleleh, diikuti suara sedu-sedan dari bibirnya. Dia mendengar desah Shofia. “Allah, Allah, Allah” seaakan ia tidak mampu lagi untuk tegak dari rukuk. Namun Shofia tetap memaksa walau sangat lambat, membuatnya tertinggal dari imam. Ketika sujud neng Zainab lama sekali, hingga Shofia menututi untuk sujud dan tumakninah bersama imam.
Beberapa detik kemudian, neng Zainab duduk. Namun Shofia tetap dalam sujud. Lalu imam kembali sujud dan berdiri untuk rokaat kedua. Sedangkan Shofia tetap dalam sujudnya yang pertama.
Tika menumpahkan air matanya. Dia membungkam, mencoba menahan isak tangisnya yang ingin meledak. Begitu pula dangan Ulfa dan Nia di samping kiri. Juga Nuri dan Wilda yang ada di shof kedua, tepat di belakang Shofia. Beberapa santri yang melihat Shofia tetap bersujud matanya berkaca-kaca, walau mereka tidak kenal langsung, tapi mereka mereka mengenal kepribadiannya.
Namun akhirnya Tika tak kuasa lagi menahan isak tangisnya. Ia duduk dan mengangkat kepala sahabatnya itu. Dia memeluk erat sahabatnya dan tangisnya pecah. Sedangkan neng Zainab tidak melanjutkan membaca rurat al-Insan. Beliau langsung rukuk serta mempercepat sholatnya. Mungkin beliau mendengar isak tangis Tika.
“Shofia?” lirih Tika di telinganya. “Shof, bangun.” Tidak ada jawaban dari bibir Shofia yang putih pucat itu. Bibirnya mengatup seakan masih ingin tersenyum. Metanya terpejam, namun tetap indah dengan warna hitam dari celak yang biasa dipakainya. Tika menatap dalam wajah sahabatnya. Walaupun pucat, namun masih terlihat anggun dan bercahaya dari wajah lugunya.
Begitulah istriku mengahiri cerita tantang sahabatnya. Ya, istriku, Atiqoh Naila Maghfiroh, atau di pesantren sahabat-sahabatnya biasa memanggil Tika. Air matanya menetes di tanganku yang memeluknya dari belakang. Dari tadi dia bercerita di pangkuanku.
“Mas Abdullah!” Dia memanggil sembari menoleh memandang wajahku. “Apa?” jawabku lembut menatap matanya yang basah. “Aku punya sesuatu untukmu.” “Apa itu?” Dia tidak menjawab, dia bangkit dan mengambil sesuatu di lemari. Dia mendekap sebuah buku, dan melangkah kearahku. Sembari menyeka air matanya dia menyerahkan sebuah buku biru muda, bertuliskan Shofia Khoirunnisa. “Bisakah kamu mewujudkan cita-citanya?” ujar istriku. Aku agak ragu untuk mengambilnya. Namun ketika teringat cerita tentang Shofia, dengan berat hati aku menyanggupi.
Aku jadi teringat pesan kyai dulu. Apa benar Shofia adalah orang yang didawuhkan kyai itu. “Alhamdulillah, saya melihat ada dua santri banat (putri) yang sudah sampai di pintu surga.” Dawuh kyai waktu itu, kalau tidak salah ketika Shofia baru masuk pesantren. Dan dawuhnya kyai itu seakan terbukti enam tahun kemudian. Ketika Shofia kelas tiga ulya. Dia meninggal dalam keadaan bersujud bertepatan shubuh hari jumat. Subhanallah, aku baru mendengar cerita yang sebenarnya sekarang, dari istriku, Atiqoh, sahabat terdekatnya. Namun aku masih penasaran, siapa satu lagi yang dimaksudkan oleh kyai…?
Cerpen Karangan: Miftahul Anam Blog / Facebook: zauhirl aqrof orang yang merindukan surga