Namaku Sola. Aku adalah mahasiswi jurusan statisika di salah satu universitas swasta di Bandung. Di kampus ini, aku tidak memiliki banyak teman. Hanya 3 orang temanku, yaitu Alena, Dara dan Meitha. Kami berada pada jurusan dan juga kelas yang sama di tingkat satu. Di kampus, kami berempat dikenal sebagai geng kupu-kupu alias mahasiswa kuliah-pulang. Nilai kami juga tidak terlalu bagus, sehingga tidak ada yang mau bergabung dengan kami saat diberikan tugas kelompok. Wajar saja aku tidak punya teman lain selain mereka bertiga. Dan kisah ini merupakan perjalananku menggapai mimpiku selama duduk di bangku kuliah.
Hari itu adalah hari pertama perkuliahanku di tingkat dua. Meskipun sedikit telat bangun, aku dapat sampai di gerbang kampus tepat waktu. Aku sangat bersemangat di hari pertama kuliah setelah melewati libur sebulan yang cukup membosankan. Aku pun bertemu dengan Alena, Dara dan Meitha. Sebelum memasuki aula utama, kami berbincang sedikit mengenai kegiatan kami selama liburan.
Tak lama setelah selesai berbincang-bincang, aku melihat ada sesosok perempuan dari sebelah kiri. Aku tidak tahu siapa dia, namun aku langsung mengenalnya saat melihat semua mata tertuju padanya. Ya, siapa lagi kalau bukan Theara. Gadis manis nan cantik, pintar di kelas, aktif di kegiatan kampus, disenangi banyak orang bahkan senior, dan masih banyak lagi keindahan dirinya. Ohh… betapa enak hidupnya. Jujur, aku selalu bermimpi ingin menjadi dirinya.
Setelah melewati segerombolan mahasiswa yang sibuk menyapanya, ia bergabung dengan gengnya yang berisi 5 orang. Geng itu berisi anak-anak di kampus dengan IP tinggi, dan juga punya posisi penting di organisasi dan kepanitiaan. Lagi-lagi, aku juga ingin berada di dalamnya. Tiba-tiba, ada yang menepuk bahuku. “Astaga! Kaget aku. Hai Artur!” sapaku. Sepertinya, dia adalah satu-satunya lelaki di dunia ini yang menyukaiku. Dia selalu ada di dekatku kapan pun dan di mana pun aku berada, juga selalu memberikan banyak perhatian kepadaku, meski aku tidak pernah membalas perasaannya.
Di aula, sedang dilaksanakan upacara penyambutan mahasiswa, sekaligus pemberian penghargaan bagi mahasiswa berprestasi. Saat pembacaan mahasiswa terbaik untuk jurusan statistika, aku sangat berharap namaku dipanggil, meski aku tahu itu sangat tidak mungkin. Namun apa daya, dunia berkata sebaliknya. “Selamat kepada… Theara Dinna!” Suara tepukan tangan memeriahkan seluruh aula. Bodohnya aku, mengira akan mendapatkan penghargaan itu. Bahkan, nilaiku tidak sebanding dengannya. Aku hanya bisa bermimpi menjadi seorang Theara yang selalu disebutkan namanya di setiap acara kampus.
Suatu hari, kampus kami mengadakan rekrutmen panitia wisuda. Awalnya, aku tidak tertarik sama sekali. Sembari melihat poster rekrutmen di koridor, aku melihat Theara datang, melihat poster sekilas, kemudian ia tersenyum, lalu berbalik badan. Saat berbalik badan, teman-temannya datang menghampirinya. “Kamu pasti akan ikut kepanitiaan wisuda ini, kan?” tanya Prita, salah satu temannya. “Enggak dong, aku kan sudah di-booking dari awal sama kating untuk jadi panitia,” jawab Theara dengan senyuman dan kedipan mata. Mendengar itu, rasa iriku semakin besar. Aku semakin ingin menjadi dirinya. Tidak hanya dikenal banyak senior, bahkan dia mendapatkan tiket gratis untuk berada di kepanitiaan. Karena itu, aku segera mendaftarkan diri mengikuti kepanitiaan bersama Alena, Meitha dan Dara. Walau aku tahu, diriku sangat tidak cocok dengan yang namanya kepanitiaan maupun organisasi.
Seminggu setelah hari pendaftaran berakhir, tibalah hari pengumuman hasil rekrutmen panitia. Kami berempat bergegas ke koridor untuk melihat daftar nama yang lolos seleksi panitia wisuda. Syukurlah, kami berempat lolos. Namun, ada satu hal yang meresahkanku. Ternyata, aku berada pada divisi yang sama dengan Theara, yaitu divisi EO. Namun bagiku, ini juga merupakan kesempatan yang baik, karena aku dapat melihat apa saja yang ia lakukan di kepanitiaan ini dan mempelajarinya. Dan, aku juga berharap dapat berkenalan dengan beberapa senior supaya aku juga bisa memperluas relasi sepertinya.
Karena belum mempunyai pengalaman dalam berorganisasi, aku cukup sering melakukan kesalahan. Misalnya, membuat rundown yang tidak sesuai arahan. Karena itu, aku sering dimarahi oleh ketua divisiku. Padahal, aku sudah berkali-kali meminta maaf dan bertanya mengenai hal-hal yang tidak kumengerti. Namun mau bagaimana lagi, tidak ada satu orang pun di antara mereka yang mau mengajariku. Bahkan, mereka menertawai kebodohanku. “Daripada kamu jadi orang gak guna, mulai sekarang tugas kamu jualin ini aja ya,” kata ketua divisiku sambil memberiku satu keranjang berisi beberapa snack dan gorengan. Aneh, seharusnya ini bukan pekerjaanku. Tapi, mengapa aku disuruh melakukan ini? Aku kan divisi EO. Namun daripada membuat keributan, akhirnya aku tetap menerimanya.
Setiap hari, di saat teman-teman divisiku berkumpul di aula untuk membahas konsep dan susunan acara, aku sendirian berpanas-panasan menjual barang dagangan yang dititipkan kepadaku. Meski sudah menghasilkan cukup banyak uang, tetap saja, mereka memarahiku karena tidak dapat menjual lebih banyak.
Seiring waktu, aku mendapat julukan baru yaitu si “Gadis Lampu Merah” karena sering berjualan sendirian dari pagi, siang, hingga malam hari. Orang-orang hanya datang untuk menertawaiku, tanpa membeli satu pun daganganku. Terkadang, supaya tidak dimarahi, aku rela membeli daganganku dengan uangku sendiri. Aku mencoba membuka beberapa jasa seperti jasa membuat CV, surat lamaran kerja, dan masih banyak lagi, agar dapat menghasilkan uang tambahan untuk membayar dagangan yang belum laku. Namun, tidak ada satu pun usahaku yang diapresiasi oleh teman-teman divisiku. Terutama Theara, yang hanya bisa menertawaiku. Mungkin baginya, aku hanyalah gadis bodoh yang tidak bisa melakukan apa-apa.
Julukan itu pun semakin dikenal oleh hampir seluruh mahasiswa di jurusan statistika. Hal ini pula membuat ketiga temanku Alena, Dara dan Meitha menjauhiku. Entah apa alasan mereka, sepertinya mereka malu berteman dengan si “Gadis Lampu Merah”. Terkadang, aku sangat ingin menangis dan menceritakan semua hal ini kepada seseorang. Namun apa daya, aku tidak pernah memiliki “seseorang” di hidupku. Teman-temanku sudah meninggalkanku. Sementara orangtuaku, tidak peduli sama sekali dengan keadaan mentalku. Yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana agar anaknya dapat lulus dengan IP yang tinggi dan segera mendapatkan pekerjaan setelah lulus. Ya, sebegitu kesepian dan menyedihkannya hidup seorang Sola.
Sejak saat itu, aku bertekad untuk mengikuti kebiasaan Theara. Aku belajar setiap hari hingga jam 2 pagi agar mendapat nilai ujian yang lebih bagus darinya. Aku mendaftar ke semua organisasi yang ia ikuti, meski awalnya semuanya ditolak. Aku juga mendaftar lomba yang sama dengannya, walaupun berkali-kali gugur di tahap seleksi awal. Namun, aku terus mencoba segala cara sampai aku bisa menggapainya. Ya, aku mulai mengetahui apa mimpiku selama di perkuliahan ini, yaitu mengalahkan Theara dan gengnya, menjadi yang nomor satu di kampus. Dan perlahan, tekad yang bulat itu pun membuahkan hasil.
Memasuki tahun ketiga, aku mulai menemukan titik terang. Dari 10 organisasi yang aku daftar, 4 di antaranya menerimaku. Perlahan, aku mulai belajar mengembangkan diriku di organisasi. Meski organisasiku masih terbilang cukup sedikit, aku berhasil menduduki posisi penting di organisasi tersebut berkat usahaku. Bahkan, aku mendapat jabatan yang cukup bergengsi di Badan Eksekutif Mahasiswa. Berkat hal itu pula, aku berhasil memiliki koneksi yang cukup luas. Tak hanya itu, dari sekian banyak lomba yang aku daftarkan, beberapa di antaranya juga berhasil aku menangkan. Bahkan, 3 dari 7 lomba yang aku menangkan merupakan lomba berskala internasional. Dan yang paling mengejutkan, selama dua semester berturut-turut, aku mendapatkan IP di atas 3,5. Sungguh sebuah keajaiban, bukan? Siapa menyangka, orang yang dulu direndahkan karena bodoh dan tidak berpengalaman, sekarang hidupnya berubah 180 derajat. Sementara Theara dan gengnya, sangat jauh di belakangku.
Seiring waktu, aku menjadi orang yang cukup dikenal di jurusanku berkat pencapaianku. Banyak orang ingin berkenalan denganku. Namun, mengingat hal-hal yang pernah menimpaku di tahun sebelumnya, aku mulai menjadi pribadi yang sombong. Aku tidak mau berteman dengan orang-orang yang menurutku tidak kompeten dan tidak memberikan manfaat untukku. Aku pun mulai menyombongkan diri apabila secara tidak sengaja bertemu dengan Theara dan gengnya. Namun, hal ini juga membuatku tidak memiliki teman dekat, kecuali Artur. Rasa kesepian mulai menyelimutiku. Namun aku menghiraukannya, karena masih ada banyak hal yang ingin aku capai sebelum aku lulus dari bangku kuliah ini. Aku tidak pernah puas atas apa yang sudah aku capai. Aku selalu merasa ingin mendapatkan yang lebih, lebih dan lebih lagi.
Suatu hari, selesai kelas, aku bertemu Artur karena kami berencana untuk makan malam bersama. Setelah makan malam, kami mampir sebentar ke taman di dekat restoran. “Aku cukup lega sekarang, Tur. Aku berhasil mengalahkan orang-orang yang dulu menganggapku rendah. Tapi, kok aku merasa tidak bahagia ya, Tur?” tanyaku dengan bingung. Pertanyaan ini kerap muncul di pikiranku, dan aku merasa saat itu adalah waktu yang tepat untuk meminta pendapat orang lain mengenai hal ini. “Apa yang membuatmu tidak bahagia? Bukankah kamu sudah mendapatkan semua yang kamu mimpikan dahulu?” tanya Artur sambil tertawa. Aku pun terdiam. Ya, aku sudah menggapai semua itu. Namun, mengapa aku masih tidak bahagia? Melihat diriku yang terdiam penuh kebingungan, Artur pun bertanya kembali, “Coba kamu bertanya kepada dirimu sendiri, sebenarnya, apa sih yang kamu mimpikan selama ini?” Duarr.. Seperti terkena bom rasanya saat mendengar kalimat terakhir Artur.
Sesampainya di kos, aku segera berbaring di kasur. Pertanyaan dari Artur kerap menghantui pikiranku. Apakah yang selama ini aku lakukan? Aku berhasil menggapai semua keinginanku, tapi, mengapa aku masih tidak bahagia? Seperti ada ruang kosong di hatiku yang belum terisi. Saat aku menghadap ke meja belajar, aku menemukan buku harian milikku sejak SD, yang sudah tidak pernah aku buka lagi sejak kuliah. Aku membacanya satu per satu, dan alangkah terkejutnya aku. Setiap halamannya tertulis doaku yang meminta agar Tuhan memberikan orang-orang baik di sekitarku agar aku tidak kesepian. Aku juga menuliskan cita-citaku yaitu menjadi seseorang yang dapat menolong banyak orang. Lalu, aku melihat kertas-kertas pendaftaran organisasi, sertifikat lomba, dan piagam penghargaanku. Aku pun sadar, kalau aku telah mengejar sesuatu yang salah. Nilai dan keaktifan di kampus memang penting, namun apa gunanya semua itu kalau kita tidak bahagia? Apakah selama ini mimpiku salah?
Keesokan harinya, aku menghampiri Artur untuk mengutarakan segala kebingunganku. Aku menjelaskan kepadanya mengenai mimpi dan cita-cita yang pernah aku tulis sejak SD sampai SMA. “Kalau memang mimpiku sesederhana itu, mengapa selama ini aku mengejar hal lain?” tanyaku sambil menunjukkan buku harianku. “Tidakkah kamu ingat? Dirimu yang sekarang sangat berbeda dengan dirimu saat awal masuk kuliah. Dulu, kamu sangat ceria. Berbeda dengan sekarang, kamu sibuk mengejar sesuatu yang bahkan tidak kamu sukai. Untuk apa kamu melakukan ini semua? Sombong? Gengsi? Atau, balas dendam?” Sontak, aku terdiam penuh kebingungan. Benar juga. Apakah aku melakukan ini semua hanya karena masa laluku yang kelam? Apakah ini sebabnya aku tidak pernah merasa bahagia atas pencapaianku? Aku selalu menginginkan sesuatu yang bahkan tidak aku sukai.
Sekembalinya dari kampus, aku sadar bahwa aku sudah mengejar hal yang salah. Ini bukanlah mimpiku yang sebenarnya. Aku selalu merasa lelah dan hampa karena hal ini bukanlah hal yang aku mimpikan. Perlahan, aku mulai mencari informasi mengenai komunitas, kegiatan volunteer, dan kegiatan lainnya yang memang aku minati. Singkat cerita, aku mulai mengikuti kegiatan-kegiatan itu. Dan di sana, aku mendapatkan banyak teman untuk tumbuh bersama. Melalui kegiatan volunteer, aku juga belajar untuk lebih bersyukur, dan mendapat kebahagiaan setelah membantu banyak orang. Aku juga mulai membangun suatu startup yang bergerak di bidang sosial dan edukasi, yang membantu anak-anak kurang mampu untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang lebih layak.
Sejak saat itu, hidupku lebih berwarna dan terasa bahagia. Aku sudah memiliki orang-orang di sekitarku yang peduli dan membuatku nyaman. Aku juga merasakan hidupku lebih bermakna karena dapat membantu banyak orang. Aku pun belajar, kalau mimpi seseorang tidak bisa disamakan dengan mimpi orang lain. Mimpi seorang Sola cukup sederhana, yaitu merasakan kehangatan, tidak merasa kesepian, dan membantu banyak orang; bukan menjadi terkenal dan menduduki jabatan bergengsi hanya agar dihormati orang lain. Namun, aku tidak meninggalkan kegiatan-kegiatanku di kampus. Aku juga tetap rajin belajar di kelas. Dan semuanya itu aku lakukan dengan tulus, tanpa ada rasa ingin balas dendam dan unsur kesombongan. Aku juga belajar memaafkan orang-orang yang sudah mengecewakanku, termasuk ketiga temanku. Ya, inilah hidup yang aku dambakan. Dan aku bersyukur kepada Tuhan karena satu per satu, mimpiku mulai tercapai. Jadi, apa mimpimu yang sebenarnya?
Cerpen Karangan: Liora Parulian Bitya Joanna Instansi: Institut Teknologi Bandung (Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan) Email: liora5702[-at-]gmail.com Instagram: @liorabityajoanna LinkedIn: linkedin.com/in/lioraparulianbityajoanna/