Hujan rintik-rintik turun sepanjang siang. Aku duduk termenung di depan laptop di sebuah ruang perpustakaan. Buku-buku perpustakaan itu berserakan di mana-mana. Wajar saja karena ruangan yang tidak mencukupi. Namun, ruang perpustakaan itu begitu mengenakan selama jam kosong.
Ujian Akhir Semester telah usai selama dua minggu. Sebenarnya hari ini aku tidak masuk pun sebenarnya tidak masalah. Hanya saja jika aku terus berada di rumah yang ada pasti diomelin oleh orangtua. Jadi, aku memutuskan untuk pergi ke sekolah saja.
Sepanjang jalan tadi pagi begitu kering. Awan yang bergantungan di langit sudah berkumpul hingga menutupi langit biru. Suasana kembali suram. Hampir setiap hari kota Surabaya diguyur hujan. Tetapi, hanya sore saja hingga menjelang malam. Pagi pun terkadang hujan, tetapi lebih sering tidak hujan.
Setiap tuts papan ketik aku sentuh tiada henti, selama imajinasi di kepalaku terus bermunculan. Terkadang juga terhenti bukan karena kehabisan ide, melainkan ada bagian-bagian yang salah dalam novelku. Ini sering terjadi. Namun, kadang muncul rasa malas untuk menghapusnya. Dan aku pun berhenti menulis.
Perpustakaan yang sempit itu tidak hanya terdapat aku saja, ada juga teman sekelasku yang memang dia adalah petugas perpustakaan. Tentu saja dibantu oleh seorang guru yang juga petugas perpustakaan. Kadang aku juga turut membantu mereka. Kadang juga tidak sama sekali. Ya, perpustakaan hari ini amat sepi. Tidak ada jadwal pengembalian buku pinjaman. Jadi, perpustakaan ini leluasa. Pendingin ruangan yang terlihat usang itu ternyata masih mampu mendinginkan ruangan ini. Hal itu juga yang membuatku betah di perpustakaan. Kalau di kelas, yang ada malah aku diganggu terus tiada hentinya.
Pintu perpustakaan terbuka, sepasang siswa memasuki ruangan. Aku mengenal mereka. Mereka adalah adik kelasku yang juga merupakan anggota klub bahasa Jepang. Mereka masuk dengan menandatangani buku pengunjung.
“Kak, lagi apa?” tanya siswa cowok yang namanya adalah Arion. “Biasa, melakukan hal yang gabut,” aku menjawab sembari memandang laptop. “Bikin cerita lagi?” tanya siswa gadis yang bernama Nara. Aku mengangguk untuk menjawab jawabannya. Arion dengan cepat merebut laptopku untuk membacanya. “Lagi tidak laku dibaca di website?” tanya Nara sekali lagi. Aku merogoh saku celana untuk mengambil ponsel. Lalu, kutunjukkan pada Nara untuk melihat lebih jelasnya. Kalau tidak salah lihat pembacanya hanya 50 orang saja. Benar-benar nahas nasibku, sembari menghelakan napas. Nara menaikkan alisnya dan tengah mencari jawabannya. “Mungkin kurang ilustrasi, lihatlah! Ilustrasi kakak hanya berupa tulisan untuk kovernya.” “Iya, itu karena aku tidak bisa menggambar, jadi wajar saja aku memakai ala kadarnya. Ngomong-ngomong dirimu bisa menggambarnya?” tanyaku. “Selama tidak rumit tidak masalah.” Aku terdiam menopang dagu sembari memikirkannya. Tanpa berpikir panjang, aku pun menyetujuinya. Namun, entahlah hasilnya bagaimana ke depan. Akan bernasib baik atau buruk, aku tidak tahu. Saat itu juga, perjanjian seorang penulis dan ilustrator pun dimulai.
“Ini, akan menjadi kisah yang keren,” balas Arion. “Aku harap begitu juga.” Aku menyahutnya.
Setelahnya aku melanjutkan menulisku hingga siang hari. Setidaknya sudah menyentuh 50 lembar yang kutulis selama dua hari belakangan ini. Bagus atau tidak, aku juga tidak bisa menilainya tanpa ada pembaca. Kalau aku boleh membocorkannya, sebenarnya tulisan yang kini kutulis itu merupakan seluruh pengalaman saat aku bersekolah di sini. Aku kini sudah kelas tiga SMA. Waktu masa SMA-ku kini hanya tinggal 6 bulan lagi sebelum Ujian Nasional dan juga SBMPTN.
Alasan aku memilih meringkas seluruh kenangan itu adalah untuk membuat satu novel. Impian itu baru muncul dua hari yang lalu. Tujuannya supaya kisahku ini bisa dijadikan motivasi bagi orang banyak. Seluruh imajinasi, pengalaman, aku luapkan dalam bentuk cerita.
Setiap naskah yang sudah selesai, aku memberikan pada Nara untuk menggambarnya. Hanya saja, terkadang kami malas untuk melanjutkan proyek ini. Kadang dia malas karena laptopnya lemot, diriku juga kadang malas karena ide yang tak kunjung datang.
Aku juga tengah mencari beberapa penerbit juga termasuk penerbit mayor dan juga indie. Hanya saja, aku kerap kali syok melihat biaya yang harus dikeluarkan untuk diterbitkan melalui penerbit indie. Mengirim ke penerbit mayor juga terlihat begitu mengerikan. Yang membuat ngeri adalah banyak novel-novel yang benar-benar populer terbit di sana. Sedangkan, diriku bahkan tidak punya pangsa pasar di platform online. Kadang juga, aku melupakan semuanya, sehingga aku fokus pada menulis ceritanya.
Beberapa ilustrasi yang dibuat oleh Nara sudah setengah jadi. Kebanyakan memang sangat bagus bagiku. Ini bukan ilustrasi seorang pemula, melainkan ilustrasi seseorang yang sudah mahir. Aku meminta untuk tidak diwarnai karena, kebanyakan ilustrasi novel tidak diwarnai pada bagian dalamnya.
Selang dua minggu berlalu, tulisanku akhirnya selesai dengan cepat. Aku bernapas lega kali ini. Nara menggambar ilustrasinya, juga mencapai tahap akhir. Sesekali aku melirik melihat hasil gambaran Nara yang digambar menggunakan pentab. Memang benar-benar menakjubkan. Entah bagaimana juga, feel yang didapatkan juga terasa.
“Gambaranmu sangat hidup,” ucapku. Nara sekilas melirik diriku. “Terima kasih, kak. Tapi aku masih terus berlatih.” “Semoga saja, bisa masuk di DKV,” balasku.
Pada pukul dua belas tepat, ilustrasi yang digambar telah usai. Kini aku lebih bernapas lega lagi. Aku bersadar di kursi sembari menutup laptopku yang baru saja dimatikan. Mungkin malam ini aku hendak mengirimnya pada penerbit mayor. Tidak peduli diterima atau tidak, aku hanya bisa berharap saja.
Bertepatan jam makan siang, aku memilih untuk pulang ke rumah. Karena tidak banyak hal yang dapat kulakukan di sekolah. Palingan hanya membaca buku. Hanya saja, buku yang ada terlihat sangat membosankan.
Selang tiga bulan berlalu, aku menanti sebuah kabar dari pihak penerbit. Hanya saja tidak ada kabar menanti. Setidaknya beri aku jawaban apa pun itu. Namun, pada pukul empat tepat sebuah notif masuk pada e-mail-ku. Aku membuka pesan itu dan membacanya dengan perlahan. Ternyata dugaanku benar, novel itu ditolak. Aku mengepalkan tanganku dengan sangat erat. Rasanya seperti tertusuk oleh sebuah harapan.
Esok harinya, aku melangkah seorang diri di lorong menuju kelas. Seketika semuanya jadi suram dalam sekejap. Padahal awan di langit tengah bersinar terang. Semalam aku juga sudah menghubungi Nara, terkait penolakan novel itu. Kelihatannya dia juga sedih.
Aku memasuki kelas, duduk di bangku sembari mengeluarkan ponsel yang kuletakkan di dalam tas. Aku membuka pencarian untuk menelusuri penerbit-penerbit yang ada. Namun, entah kenapa aku kini merasa lemah, tak mampu mencari lagi. Entahlah tanpa berpikir panjang aku mengirim ke berbagai penerbit. Lagi-lagi aku menunggu tiga bulan lagi. Mungkin itu saat aku telah lulus.
Tiga bulan telah berlalu, benar saja aku sudah lulus dari sekolah itu. Aku juga telah mengikuti berbagai tes dan juga Ujian Nasional tentunya. Di samping itu aku juga memperhatikan notifikasi e-mail yang masuk. Kebanyakan dari mereka menolak. Namun, hanya ada satu notifikasi yang berbeda. Naskahku diterima. Aku sekali lagi mengucek mata untuk memastikan kalau semua ini bukanlah mimpi. Jantungku bedebar dengan amat cepat, tidak percaya pada jawaban yang satu ini. Aku lekas menghubungi saudara dan juga teman-temanku. Termasuk Nara juga tentunya.
“Eh serius kak?” “Iya, aku tidak bohong, naskahnya diterima.” Aku terus tersenyum dan bahagia ada yang mau menerima naskahku. Semalaman bahkan aku tiada hentinya melihat pesan yang bertajuk pada penerimaan naskah. Mereka mengatakan naskah yang aku kirim sudahlah bagus ditambah ilustrasi yang sangat cocok dengan isi ceritanya. Di sisi lain mereka meminta untukku mengisi revisi.
Selang berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan novel itu berhasil dirilis di pasaran. Berbagai pesan dan kesan pembaca menganggap novel itu sangat indah bahkan ada yang menganggap ilustrasinya sangat cocok dengan tulisannya. Begitu serasi dan seolah saling mendukung. Di samping itu juga aku diterima di jurusan sastra Indonesia. Sedangkan Nara, aku hanya tinggal menunggu kabarnya agar dia dapat diterima di DKV.
Tetapi, apakah aku hendak berhenti menulis? Tidak, aku akan menulis, terus menulis dengan diselingi oleh ilustrasi. Dunia ini masih sangat luas dan banyak yang belum kujelajahi. Tulisanku pertama memang membuatku sedikit senang bisa bersaing dengan novel lainnya. Bagiku, ini adalah langkah awalnya.
TamaT
NB: Kisah ini berdasarkan kisah nyata Misaka Takashi dan Iroyurei semasa SMA dan juga terinspirasi dari lagu Yorushika yang berjudul “Cappucino with Rain”.
Cerpen Karangan: Misaka Takashi Blog / Facebook: Takashi Misaka Lahir: 07 Oktober 2000 Tinggal: Surabaya