Pukul sebelas siang. Stasiun kota sedang ramai-ramainya hari ini. Puluhan calon penumpang, pedagang asongan, bahkan calo, hilir mudik menuju tujuan mereka. Aku sendiri akan pergi ke kota seberang, menemui kolega guna keperluan bisnis. Di ujung stasiun terdengar suara peluit panjang, pertanda ada kereta yang akan datang. Orang-orang segera memusatkan perhatian mereka pada kereta tersebut. Ada yang memastikan bahwa itu adalah kereta yang akan mereka tumpangi, ada juga yang harap-harap cemas, menunggu kedatangan seseorang. Aku menyaksikan semua rangkaian korelasi sistemik tersebut dari dalam ruang tunggu VIP yang disediakan sambil bekerja menggunakan MacBook-ku yang tiba-tiba berdenting. Menandakan ada pesan masuk.
Setelah kubuka, ternyata ada pesan dari klienku, menanyakan desain yang ia pesan. Sekadar informasi, aku adalah seorang desainer kaos di sebuah distro milik temanku. Selain itu aku juga membuka usaha sampingan dengan membuka orderan secara online. Jadi, kebanyakan klienku hanya kenal secara maya, tanpa mengenal secara nyata. Bahkan klienku kali ini sama sekali tak kukenal. Tiba-tiba saja ada pesanan masuk ke kotak masuk e-mailku. Nicknamenya pun asing, hanya tertulis RM134. Demi kepuasan pelanggan, aku menyetujuinya.
Aku membalas pesan tersebut dengan permintaan maaf sebab belum bisa memenuhinya sekarang. Selepas itu aku kembali tenggelam dalam lautan binarial yang sarat akan informasi. Mencari ada peristiwa apakah hari ini. Kubuka portal berita langgananku. Di sana terpampang berbagai informasi terhangat, mulai dari politik, ekonomi, bahkan gosip artis papan atas tanah air yang sedang naik daun pun tak luput dari coretan kuli tinta.
Beberapa saat kemudian, laptopku berdenting lagi. Ada balasan masuk. Klienku meminta penggantian konsep kaos pesanannya. Ia menginginkan perubahan konsep, ingin lebih islami, katanya. Aku menimbang sebentar, lalu menuliskan balasan. Aku menyetujuinya.
Gegara pesan tersebut, aku teringat pekerjaanku. Keinginanku mencari berita lenyap dalam sekejap. Sejurus kemudian, aku sudah mengetikkan kata kunci pencarian kata-kata islami. Beberapa menit memilah, aku bimbang, rasanya tak ada yang pas.
“Bisa lebih spesifik nggak ya mas? Islaminya yang kayak gimana?” Daripada ragu, kutanyakan saja kepada RM134. Sementara itu, kereta yang akan kunaiki sudah datang. Suara peluitnya membuyarkanku yang tak kunjung menemukan inspirasi. Kututup MacBook-ku, dan bargegas kulangkahkan kaki keluar. Kerumunan orang-orang mulai memenuhi pinggiran rel. Mereka sama sepertiku, menumpang kereta yang sama, namun dengan isi hati yang berbeda-beda.
Dalam kereta, kubuka kembali laptopku. Aku tak bisa tenang kalau pekerjaanku tak tuntas. Kutelaah lagi, mana kata yang pas, mana yang tak pas. Sejenak berlalu, balasan yang kutunggu tak kunjung bertalu. Di benakku berkecamuk berbagai hal saat ini.
Kalian tahu? Aku lebih suka menaiki kereta ketimbang moda transportasi yang lain. Entah kenapa, bagiku terasa lebih efisien. Selain tak ada macet, di dalamnya juga kutemukan sebuah ketenangan yang tak bisa kurasakan di tempat lain. Dan kali ini, untuk perjalanan bisnis, aku sengaja memilih kelas eksekutif. Tak apalah mahal sedikit, yang penting nyaman.
Ping! Balasan itu akhirnya datang jua. Ia ingin kata yang bertema ilmu, katanya. “Baiklah.” Balasku. Kulihat lamat-lamat laptopku. Aku merenung. Otakku memasukkan berbagai variabel pencarian pada memoriku. Lalu setelah mengerucut, sebuah jargon muncul, memaksa untuk diingat.
“Bil Adab Tafhamu al Ilma,” kata tersebut langsung menyeretku bak pusaran kencang yang membawaku ke kenangan masa silam. Masa di mana aku masih mondok di pesantren dulu. Sebuah kisah yang mungkin menjadi titik balik kehidupan sepasang sahabat. Mereka tak menyadarinya, -tapi aku- ingat betul. Hari ini, pukul dua belas, di dalam kereta. Bayangan sebuah kisah menari-nari di pikiranku. Sementara itu, tempias air mulai menitikkan eksistensinya, membuat jendela telihat seperti media kanvas abstraksionalnya.
6 tahun yang lalu… Suara azan maghrib menggema di masjid pondok. Aku bersama kedua teman karibku, Durohman dan Dulkamdi, bergegas melangkahkan kaki menuju tempat peribadatan yang konon dibangun oleh leluhur pengasuh pesantren kami, sebelum diuprak-uprak oleh bagian keamanan yang bertugas. Begitupun ratusan santri yang lain, yang mungkin memiliki perasaaan sama dengan kami. Langkah mereka terlihat dinamis, mantap dan bersemangat.
“Bro, nanti ngopi ya..” ajak Roma, sapaan akrab Durohman kepada kami berdua. “Kapan?” tanyaku memastikan. “Abis ini langsung…” jelasnya sambil mengedipkan mata. “Siap bos,” jawabku tanpa pikir panjang. “Kamu gimana Dul?” “Aku.. Mmmm.. ngaji,” jawabnya seperti bimbang.
Di antara kami bertiga, Dulkamdi-lah yang paling rajin perihal urusan belajar-mengajar. Seringkali ia menolak ajakan ngopi kami dengan alasan mengaji atau belajar. Ia sadar betul, ia dikaruniai otak yang pas-pasan. Sehingga mau tak mau ia harus belajar ekstra keras. Aku bahkan sering tengah malam menjumpainya duduk sendirian di depan asrama, menghafalkan pelajaran esok hari. Berbeda dengan Roma yang sekali melihat langsung hafal. Ia memang punya semacam photographic memory, kemampuan menghafal sekali lihat, seperti kamera. Dan pada malam ini, ketika kami mengajaknya membolos, lagi-lagi ia menolak, bilang bahwa ia ingin mengaji sajalah.
“Lah… ngapain ngaji kalau yang mulang nggak kompeten..” Roma nyerocos begitu saja. Kami membolos memang bukan tanpa alasan. Kami bolos karena pada pengajian kali ini, yang mengajar adalah Pak Salimin, guru yang di-haters-i mayoritas santri. Bahkan ia memiliki julukan sendiri di mata kami, para santri mbedhik -yang mulutnya kayak cabai, sekali menggojlok minimal harus sampai membuat objek gojlokan menangis- yaitu “Bongkrek”. “Emang siapa yang mulang, Ma?” tanyaku tak ingat. “Biasalah.. Bongkrek.” Sahut Roma datar.
Dulkamdi nampak tak enak sebab menolak ajakan Roma. Terlebih setelah melihat raut wajah karibnya itu berubah. Sementara itu, iqamat telah dikumandangkan dari masjid. Kami shalat dengan kecamuk di benak masing-masing.
Selepas shalat kami berpisah. Aku dan Roma langsung menuju ke belakang masjid, sedang Dulkamdi balik ke asrama. Saat ngopi, topik pembahasan kami tak jauh-jauh dari Pak Salimin, itu pun Roma yang memulai, sementara aku lebih banyak diam.
Persahabatan kami bertiga memang bisa dibilang ‘unik’, sebab sifat Roma dan Dulkamdi yang cenderung berseberangan. Dulkamdi dengan segala ketaatannya, Roma dengan egois-liberalisnya. Sedangkan aku menjadi semacam penengah antara keduanya. Meski begitu, kami saling menoleransi satu sama lain dalam banyak hal. Kami paham, teman terdekat pun tak selalu sependapat dengan diri sendiri.
Hari berhitung hari, bulan berbilang bulan, tahun merajut tahun. Kelulusan ada di depan mata. Dulkamdi masih rajin, otaknya juga masih pas pasan. Sedangkan Roma, ah, ia semakin menggila. Setelah ia mendapat juara di kelas tahun lalu, ia semakin tak karuan. Semakin bad. Sekarang tak hanya Pak Salimin yang ia rasani, namun hampir seluruh ustadz yang ia anggap tidak berkredibilitas. Yang paling parah, kemarin waktu kami ngaji di ndalem abah Yai, ia membuat beliau tersinggung, atau bahkan sakit hati sebab ucapannya. Maksudnya memang baik, ia ingin mengkritik kebijakan pengasuh yang -menurutnya- otoriter. Di depan teman sekelas, berapi-api ia matur pada abah Yai, bilang jika ia tak setuju dengan kebijakan beliau, tanpa menggunakan etika sama sekali. Seakan-akan ia lupa sedang berbicara kepada siapa.
Setelah ia selesai berbicara, abah Yai yang rona wajahnya terlanjur merah padam langsung mengakhiri pengajian saat itu. Beliau duko, marah. Bahkan Roma sampai didiamkan hingga saat ini, beberapa bulan setelah kejadian itu. Aku yang tak pernah lelah mengingatkan sohib-ku itu hanya mengelus dada. Pasrah dengan perilakunya sekarang. Apalagi Dulkamdi, ia hampir tak peduli dengan Roma sekarang. Seperti ada tembok penghalang antara mereka. Persahabatan kami renggang, berada dalam ambang kehancuran. Dulu, ketika tiap kali bertemu kami langsung akrab, sekarang menjadi acuh tak acuh. Aku sampai lelah sendiri mencari topik pembicaraan, saking pendiamnya dua orang tersebut ketika bertemu.
Cerpen Karangan: Irhaamna Blog / Facebook: Irhaamna Irhaamna, seorang remaja biasa yang sedang bertumbuh kembang menuju dewasa.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 18 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com