Hari wisuda semakin dekat, tinggal menghitung minggu. Aku yang bertugas meng-handle berbagai urusan, hampir tak pernah beristirahat. Selalu sibuk. Mengurangi waktu ngopi tiap harinya. Kalaupun ada kesempatan, aku lebih memilih untuk istirahat. Bahkan, beberapa hari ini aku tak bertemu dengan kedua sobatku. Aku tak tahu begaimana keadaan mereka. Maklum, kami berbeda asrama. Intinya, mulai beberapa waktu lalu hingga entah kapan, mungkin hingga seluruh rangkaian acara kelulusan selesai, kami sibuk dengan urusan masing-masing.
Beberapa hari kemudian, seluruh acara kelulusan sukses kami jalani. Tepat setelah malam terakhir acara, mereka berdua kupaksa ‘damai’. Aku tak ingin pergi dengan meninggalkan permusuhan. Setidaknya, bila bertemu baik-baik, harus berpisah baik-baik pula. Saat itu, di bawah cahaya bulan yang terlihat lebih besar daripada biasanya, -mungkin supermoon-, mereka berdamai untuk berpisah sebentar lagi. Setelah itu, kukatakan kepada mereka, bahwa aku ingin bekerja. Membantu kedua orangtuaku yang sudah sepuh. Mereka kutanyai, akan kemana setelah ini. Dulkamdi menjawab, bahwa ia ingin mengabdi di sini. Menjadi pengajar atau apapun itu, yang penting mengabdi, katanya. Roma pula, ia ingin kuliah ke luar negeri. Dengan otak cerdasnya, itu sangat mungkin. Ia bisa dengan mudah memperoleh beasiswa. Dan kami tertawa bersama malam itu. Tawa yang mungkin masih lama lagi akan terulang.
—
Dengan semangat kuselesaikan pekerjaanku di atas kereta. Kukirimkan lay-out-¬nya kepada RM134. Ia setuju. Mengajak bertemu seminggu lagi. Ingin mengajakku bisnis, katanya. Aku menyetujuinya. Sementara itu, kereta telah sampai pada tujuannya. Peluitnya lagi-lagi membuyarkan anganku. Kutengok arlojiku, jarum menunjukkan angka empat. Aku turun, mencari penginapan terdekat. Setelah lima jam perjalanan, aku butuh istirahat.
Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa. Setelah bertemu klien hari itu, aku kembali tenggelam dalam pekerjaanku. Dan seminggu kemudian, sesuai yang dijanjikan, aku bertemu dengan RM134. Di kafe yang cukup terkenal, ia menemuiku. Kau tahu yang tak biasa? Aku terpaku saat menemui orangnya. Tubuhku membeku, tak percaya dengan diriku sendiri. Mataku tak berkedip, mulutku menganga. Kaget mengetahui siapa sebenarnya RM134. Sementara ia hanya tersenyum, seperti sudah menduga.
Aku bertemu Dulkamdi. Penampilannya jauh berbeda ketimbang dulu. Kalau dulu ia bersarung samarinda yang sudah sangat tipis, berbaju takwa yang sudah kucel dan menguning, sekarang ia tak kalah dengan pengusaha yang sering muncul di televisi. Necis, gagah dan terlihat ‘sukses’. Tak perlu menunggu lama untuk mencairkan suasana. Kami langsung berpelukan setelah sekian lama tak bertemu. Hanya soal waktu, setelah kami duduk, ia bercerita bahwa dulu, sewaktu ia menjadi pengurus di sana, ia diutus abah Yai menjaga toko milik pondok yang berada di seberang jalan. Ia yang pasrah sepenuhnya ikut saja pada abah Yai, meskipun ia sendiri tidak suka dengan pekerjaannya, sebab tak bisa belajar. Namun siapa tahu, sekarang ia telah menjadi pemilik puluhan toko yang, tanpa kusadari, sering kukunjungi. Ia sukses sekarang. Setidaknya karena barokah abah Yai, katanya semangat. Dan ia mengajakku ke sini menawarkan kerjasama denganku. Ia ingin membuka distro untuk ekspansi imperium bisnisnya. Ia tahu kalau aku seorang desainer, makannya tadi ia tak kaget sepertiku saat bertemu.
Tapi bukan hanya itu saja yang membuatku tecengang. Sewaktu kami berbincang seru, minuman yang kami pesan datang. Aku yang tidak terlalu peduli hanya menoleh sekilas, mengucapkan terima kasih. Tapi tidak dengan Dulkamdi. Ia terdiam seketika melihat si pengantar. Setelah beberapa langkah menjauh, ia memanggilnya kembali. Ia terpaku melihatnya berdiri di samping meja kami. Aku pun juga. Meskipun sudah tumbuh cambang di sana-sini, aku tetap mengingat pandangan itu, mata itu.
Waitress itu adalah Roma. Kali ini ia sama terkejutnya dengan kami. Sebuah kebetulan yang benar-benar tak terduga. Setelah ia pulih dari keterkejutannya, ia buru-buru berbalik ke belakang, malu. Namun sebelum langkahnya terayun, kucekal tangannya. Ia yang terlanjur ‘tertangkap basah’ akhirnya duduk. Ia terlihat sangat rikuh, segan. Ia beralasan bahwa ia takut dimarahi bosnya. Dulkamdi serta merta berdiri, lalu berjalan cepat menuju pria paruh baya yang dari tadi mengawasi Roma. Ia terlihat berbincang akrab dengan bos-nya Roma. Beberapa saat, perbincangan itu diakhiri dengan anggukan.
Dulkamdi kembali duduk. Bilang kepada Roma bahwa ia sudah mengizinkannya kepada bos-nya. Lalu dengan sendirinya, Roma menceritakan keadaannya. Setelah ia lulus dulu, ia memang berangkat ke Mesir. Di sana, kata Roma mengawang, ia tak paham apa yang dijelaskan dosennya. Berbeda dengan keadaannya sewaktu di pondok silam. Dua tahun di sana, karena nilainya terus menurun, pemerintah mencabut beasiswanya. Ia yang tak mempunyai pengalaman kerja sama sekali terlunta-lunta menggantungkan hidup pada orangtua. Ia terpaksa dideportasi karena tak memiliki uang.
Tak lama setelah kepulangannya, kedua orangtuanya meninggal karena kecelakaan. Ia mau tak mau harus bertahan hidup dengan segala kemampuannya. Akhirnya, ia bekerja di proyek pembangunan jalan tol di ibukota. Tak mampu bekerja keras, ia dipecat. Ia kembali terkatung-katung menghadapi kerasnya kehidupan. Ia pulang di kampung halaman dengan tangan hampa. Kemudian, berbagai usaha ia rintis demi memenuhi kebutuhannya. Namun semuanya gagal, hingga pada akhirnya salah satu temannya yang kasihan menawarinya bekerja di kafe ini, katanya menutup cerita.
Meja kami berubah menjadi tempat reuni dadakan. Kami saling berbagi cerita, saling bertukar nomor, dan berjanji akan bertemu lagi beberapa hari lagi. Kami tertawa lepas malam itu. Akhirnya tawa kami bisa terulang lagi setelah bertahun-tahun tak terdengar. Kemudian kami berpisah. Aku pulang mengendarai Mustang GT-ku dengan gamang. Belum hilang heranku, melihat kenyataan yang ada. Bagaimana Roma, si jenius yang menjadi harapan bangsa malah mengecewakan. Sedangkan Dulkamdi, yang hanya dianggap sebagai underdog, remeh-temeh, malah menjadi sang ‘juara’. Jika kita hanya mengandalkan logika dan rasio belaka, hal tersebut sangatlah susah untuk dipercaya. Namun seringkali kita lupa, bahwa manusia pandai memprediksi semata. Kita lupa bahwa di tempat yang tak bertempat, ada sebuah kekuatan absolut yang melebihi segala kekuatan nisbi manusia. Yang dengan mudah menimbulkan irasional menurut akal manusia. Ialah kekuatan Tuhan.
Semakin jauh Mustang-ku berlari, anganku makin membumbung tinggi. Semakin dalam kurenungi, benang merah terus kucari. Hingga akhirnya aku menemukan satu titik. Seperti yang telah kutuliskan di desain kaos pesanan Dulkamdi. Benarlah kata pepatah Arab tersebut. “Bil Adab Tafhamu Al Ilma”, hanya dengan etika-lah kau bisa memahami ilmu. Dan ilmu bukan hanya sekedar halal-haram. Lebih dari itu, ilmu ialah setiap sesuatu yang membuat kita lebih dekat dengan Tuhan, termasuk etika dengan ‘orang dekat’nya Tuhan.
Sebagai penutup, malam ini, aku menemukan sebuah pelajaran hidup yang tak ternilai dari dua sahabatku sendiri. Tentang bagaimana etika, karma, dan logika adalah hal-hal yang terkadang sinkron, terkadang kontras. Hal-hal yang tidak memiliki kepastian. Pesanku, ber-etika-lah, niscaya hidupmu akan bahagia. Itu bukan sebuah kepastian, tapi lebih dari itu, sebuah keniscayaan.
Mustang-ku semakin cepat lajunya. Di atas sana, setelah pertemuan kami, supermoon menggantungi angkasa bak anak kecil yang menggelayut manja.
TAMAT Ngangkruk, 20-10-2020
Cerpen Karangan: Irhaamna Blog / Facebook: Irhaamna Irhaamna, seorang remaja biasa yang sedang bertumbuh kembang menuju dewasa.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 18 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com