Segelas moccachino mengepulkan uap nan harum. Sinar lampu lima watt dengan temaram menyinari seluruh ruangan. Tape di pojok langit-langit mengeluarkan nyanyian wanita yang diiringi bebunyian akustik. Tanaman merambat dari plastik terayun ayun didorong angin dari luar. Dua orang barista mengelap gelas-gelas kaca. Sambil memperbincangkan kegiatan weekend yang lalu.
Seorang perempuan menyangga pipi dengan kedua tangan. Sepasang mata miliknya mengarah ke layar laptop. Namun, pikirannya melanglang buana memikirkan banyak hal. Terutama keadaan dirinya di profesi saat ini. Perusahaan multimedia memberikannya gaji di atas Upah Minimum Regional. Tentu saja tanggung jawabnya juga besar. Akan tetapi akhir-akhir ini ia cukup stres. Beberapa pencapaiannya tak memuaskan hati. Ditambah lagi ia sering berdebat dengan rekan tim mengenai kinerjanya.
Ya Tuhan, ternyata semakin hari hidupku semakin rumit. Banyak uang tak membuatku bahagia Tuhan. Aku hanya ingin hidup bahagia tanpa banyak masalah seperti ini. Sepoi–sepoi angin malam datang menelisik rambut sebahunya. Ia merasa Tuhan mendengar doa hamba-Nya. Widya membuka mata setelah sejenak berdoa dalam hati. Ia melepas kepalan kedua tangan. Disibaknya rambut hitam ke belakang telinga. Lalu melihat ke arah luar jendela kafe. Ia melihat dua anak kecil, perempuan dan laki-laki, menggendong karung di belakang punggung mereka.
Anak laki-laki lebih tinggi dari satu lainnya. Sepertinya ia kakak dari anak perempuan itu. Terlihat dari tempatnya, sang kakak menuntun adik di tepi trotoar. Duduk bersisian sembari melepaskan gendongan karung. Tangan mungilnya menepikan poni adiknya. Berpandangan dan mengucap beberapa kalimat. Setelahnya kedua anak itu tertawa bersamaan. Tawa indah terukir di wajah lesu nan kotor kehitaman. Beberapa kali sang kakak melihat ke arah kanan. Seperti tengah menunggu seseorang.
Widya tertarik ingin menghampiri mereka. Dimatikannya laptop di hadapan. Isi gelas yang tinggal setengah diteguk sampai habis. Buku dan pena ia masukkan kedalam ransel. Yang kemudian laptop ia lipat dan dimasukkan pula ke dalam ransel. Sebelum beranjak ia memastikan rambut sebahunya rapi. Kemudian melangkah menuju kasir hendak membayar segelas moccachino tadi. Pelayan kasir tersenyum dan mengucapkan terimakasih. Widya tersenyum dan mulai melangkah keluar area kafe. Sambil menoleh ke kanan mencari kesempatan untuk menyeberang.
Berhasil menyeberang, Widya berjalan sepuluh langkah ke kiri. Menghampiri kedua anak kecil dengan senyum menawan. Duduklah ia di samping kanan anak lelaki. Sementara si adik berada di samping kirinya. Sekarang terlihat jelas baju dan celana mereka kurang layak. Beberapa tambal kain menutupi sobekan. Lusuh dan kotor hasil terpaan polusi udara. Rambut mereka pun kusut dengan sedikit gimbal seperti telah lama tak keramas. Diawali senyuman berharap anak-anak manis itu tak takut pada dirinya.
“Kalian nungguin siapa? Udah jam segini kok belum pulang? Rumah kalian jauh ya?“ Widya melihat jam di tangan kiri. Jarumnya menunjukkan pukul delapan lebih tujuh belas menit. Mereka sambil berpandangan. Sang kakak membalas senyumannya. “Nunggu Bapak kami kak. Masih cari botol di taman sana kayaknya. Bapak nyuruh kami nunggu di sini.” Ia menunjuk ke arah utara, seratus meter lagi taman kecil berada di sana. “Oh jadi biasa nunggu di sini ya? Itu adik kamu ya? Hai adik manis!” Widya mencoba menyapa si adik. Namun yang disapa menyembunyikan tubuhnya di belakang kakaknya. Sepertinya adik itu malu. Widya mengajak si kakak mengobrol. Akhirnya ia sedikit tahu tentang mereka. Mereka terbiasa menunggu Bapak sekitar pukul delapan dan akan dijemput pada pukul sembilan. Kedua anak itu tidak bersekolah. Angga berusia sembilan tahun, sementara adiknya dua tahun lebih muda. Semestinya ia tengah berada di bangku Sekolah Dasar kelas tiga. Serta Anggi duduk di kelas satu.
Ibu mereka telah tiada lima tahun silam. Meninggalkan tiga orang karena penyakit kanker rahim. Bapak mencoba mencari pekerjaan apapun demi hidup kedua buah hatinya. Buruh pabrik, kuli bangunan, kuli pasar, dan pekerjaan kasar lainnya. Berangkat di pagi hari dan pulang di malam hari. Bapak hanya memberinya beberapa helai uang kepada anak sulungnya. Meyerahkan urusan makan dan kebutuhan adiknya pada Angga. Anak laki-laki itu tak tega melihat Bapak bekerja sendirian. Tak ingin memberatkan Bapak, Angga memaksa untuk berhenti sekolah. Memilih untuk mencari botol bekas yang kemudian dijual pada pengepul. Ia mengajak Anggi adiknya yang berusia enam tahun untuk mencari rongsokan.
“Jadi Angga ga sekolah lagi? Bantu Bapak cari uang sambil jagain Anggi ya?” Angga mengiyakan pertanyaan Widya dengan anggukan. Ia terenyuh mendengar kisah hidup mereka. Merasa masa kecilnya jauh lebih baik dari mereka. Dulu ia sempat bersekolah walaupun harus jauh dari orangtuanya dan tinggal bersama nenek.
Ia melihat sekeliling mencari pedagang kaki lima yang masih mangkal. “Eh disana ada yang jual nasi goreng. Temenin kakak makan yuk! Kakak traktir kalian sambil nunggu bapak kalian jemput kesini.” Widya menarik tangan Angga dan Anggi untuk berdiri. Kakak beradik tersebut saling berpandangan. Ragu untuk mengikuti ajakan wanita asing yang sedari tadi ingin tahu tentang hidup mereka. Tetapi rasa lapar mengalahkan ragu. Angga menggendong kembali karungnya. Melihat gerakan si kakak, Widya mengambil alih karung Anggi. “Ga papa cantik, biar kakak yang bawa karungmu ya? Ayo!” Ia memimpin langkah di depan kakak beradik.
Hanya ada satu pembeli yang sedang duduk menunggu di kursi plastik. Widya meletakkan karung di sebelah tikar yang digelar penjual nasi goreng. Kemudian menuju penjual hendak memesan empat porsi. “Pak tolong nasi gorengnya empat porsi, yang satu dibungkus aja. Semuanya gurih aja pak. Ga pedes.” Ujarnya pada bapak penjual. “minumnya apa Neng?” Widya yang tengah melihat lauk pauk di meja menjawab, “teh anget tiga gelas ya pak!” Ia mengambil tiga tempe goreng tepung dan tiga sate telur burung puyuh. Diletakkannya di atas piring plastik.
Selesai memilih lauk, Widya kembali ke Angga dan Anggi yang sedang duduk di tikar. Meletakkan piring itu di hadapan mereka. Lalu menawarkan sebagai camilan sembari menunggu pesanan mereka tiba.
Anggi dengan malu-malu mengambil satu tusuk sate telur puyuh. Giliran Angga yang bertanya letak tempat tinggal wanita baik hati itu. Widya menjawab ia tinggal di kos lima ratus meter di belakang kafe yang ia kunjungi. Widya telah tinggal selama enam tahun di sana dengan empat tahun awal untuk kuliah. Tempat asalnya jauh, tiga ratus kilo meter menuju barat. Ia bercerita pernah mempunyai adik perempuan seusia Anggi. Rambutnya ikal sebahu, pipi gembul di kanan kiri, ditambah lesung pipi di sebelah kanan, dan mata yang mirip dengan milik Anggi. Sayangnya telah meninggal satu tahun yang lalu karena kecelakaan mobil. “Ah maaf kak, Angga ga tau.” Widya tersenyum, menjawab bahwa Angga tak salah dengan hal itu.
Bapak penjual mengantarkan teh hangat dalam gelas kaca. Kemudian menyusul tiga piring berisi nasi goreng yang masih mengepulkan uap. Baunya yang harum membuat mata anak-anak manis itu berbinar. Suwiran daging ayam, potongan tomat kemerahan, taburan bawang goreng membuat Angga menelan liur sendiri. Widya yang melihat tingkah Angga lantas tertawa kecil. Menyodorkan dua piring yang tak kunjung diambil mereka karena rasa sungkan. Anggi melihat kakak yang baik hati di depannnya, dengan harap meminta ijin untuk memakan makanan yang terlihat sedap itu. Menyadari hal itu, Widya mengangguk. “Iya makan aja, kakak yang bayar kok tenang aja.”
Widya mengeratkan kedua tangan mulai berdoa dalam hati. Tuhan, terimakasih atas kebahagiaan kecil ini. Hamba sadar, masih banyak yang tiada lebih beruntung dariku. Semoga Angga dan Anggi senantiasa dalam rengkuhan kasih-Mu. Berilah mereka hidup yang lebih baik Tuhan. Kemudian ia membuka mata melihat kedua anak kecil yang bingung melihatnya. Angga menurunkan tangkupan tangannya dan mengambil seporsi nasi goreng. Meletakkan pada paha adiknya lalu diambil porsi lainnya untuk diri sendiri. Lapar yang tak tertahankan membuat mereka Lahap menghabiskan nasi goreng. Widya menyusul ikut makan
Lima belas menit berlalu, piring masing-masing telah tandas. Dilanjutkan meminum teh yang tak telalu hangat lagi. Setelahnya, mereka bertiga tertawa. Bahagia atas nikmat sederhana dari Yang Kuasa. “Makasih ya kak. Udah nraktir kami. Tau aja kalo Angga sama Anggi kelaperan, hehehe.” Widya kembali tersenyum. Ia merasa bukanlah mereka yang senang mendapat mekanan gratis. Namun dirinyalah yang bahagia melihat tawa manis mereka.
Widya beranjak hendak membayar kepada bapak penjual. Ia menyerahkan satu lebar uang berwarna biru. Ia mendapatkan satu kantung plastik berisi sebungkus nasi goreng dan uang kembalian. Dimasukkan uang itu ke dalam dompet. Serta dikeluarkan tiga lembar uang kertas merah. Menyelipkan di bawah bungkus nasi goreng. Widya kembali ke arah kakak beradik. “Angga, ini nasi goreng buat Bapak ya! Buat makan malam Bapak. Bilang aja tadi Kak Widya yang traktir kalian.” Ia menyerahkan plastik hitam itu pada Angga. Anak itu berterimakasih kepadanya. Lalu pamit ingin menungu kembali di titik awal mereka menunggu Bapak. Takut jika beliau telah menunggu lama disana.
Widya mengangguk mengiyakan ucapan Angga. Ia juga pamit pulang ke kosnya. Namun masih berdiri di sana. Melihat punggung dua anak manis yang semakin menjauh. Ia berbalik dan melangkah dengan rasa bahagia yang membuncah di dada. Rasa syukur terus menerus diucapkan dalam hati. Menguatkan hati yang tadinya bingung dengan sekelumit masalah di kantor.
Benar adanya, terkadang kita terlalu sibuk memikirkan masalah sendiri. Merasa yang paling menderita sebagai makhluk Tuhan. Merasa Tuhan terlalu kejam memberi ujian hidup. Padahal bila mau membuka mata, masih banyak yang tak bisa mencicipi kenikmatan sebagaimana yang telah kita terima.
Cerpen Karangan: Fadilah Amalia Jamilah Blog / Facebook: Fadilah Hasil tuang ide-ide dalam kepala oleh perempuan yang hampir menginjak usia kepala dua. Segala saran dan kritik sangat diterima. Bila ingin mengenal ada baiknya mencari saya di twitter dengan mengetik @bonangjawa. Terimakasih.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 28 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com