Udara dingin subuh ini mulai terasa sampai menusuk tulang disertai rintik air hujan yang turun begitu deras. Bangunan rumah joglo yang tampak sederhana dengan ciri khas jawa, berdinding batu bata dan beralaskan semen yang terlihat tenang. Latar rumah yang cukup luas diterangi dengan lampu kuning yang memberi kesan kuno serta pohon kelapa yang tumbuh menghiasi halaman depan dan belakang rumah ini, tak ketinggalan berjejer bunga mawar di sisi halaman sebelah kanan dan bunga matahari di sisi halaman sebelah kiri.
Di dapur sudah ada seorang pria lanjut usia yang terlihat sibuk menggoreng pisang goreng kesukaannya. Pisang itu di dapat dari kebun belakang rumahnya. Ia menggoreng dengan tungku tua, peninggalan sang istri tercinta yang sudah menghadap Sang Pencipta empat tahun yang lalu. Pria lanjut usia kini tinggal bersama dengan anak semata wayangnya yang sudah bekerja sebagai guru, sama seperti dirinya dulu. Namun ia hanyalah pensiunan guru honorer yang digaji dengan seadanya. Ia menyadari tinggal di kota kecil yang pedalaman seperti ini membuatnya banyak bersyukur karena gaji pensiun yang ia terima cukup untuk kebutuhan sehari-harinya.
Ia mengangkat gorengan kedua dan mencelupkan pisang yang sudah dilumuri tepung ke wajannya lagi, duduk menunggu sampai matang didepan tungku sambil menghangatkan dirinya di udara dingin yang terasa menusuk tulang. Sayup-sayup ia mendengar langkah kaki yang masuk ke dalam dapurnya. Tanpa ia menoleh pun, ia sudah tahu pemilik langkah kaki ini, ya pemilik langkah kaki ini adalah Janitra, putra semata wayangnya.
“Pak, aku buatkan teh hangat nggeh?” tanya Nitra yang duduk di samping bapaknya. Yang dipanggil pun menoleh, mengalihkan atensinya menghadap wajah putranya yang sudah rapi pagi ini. Ia melihat putranya sudah memakai seragam.
“Ya le, tolong buatkan, sekalian kamu juga” balas dirinya. Janitra langsung beranjak, mengambil panci lalu air didalam gentong disebelahnya. Setelah itu ia berjalan kembali menuju tungku dan menaruh panci disebelah gorengan bapaknya. Tak lama ia mulai meracikkan teh untuk bapaknya juga untuk dirinya.
“Le, mumpung masih hujan sarapan dulu biar tidak lemas. Sarapan seadanya ya le” ucapnya lagi saat mengangkat gorengan ketiganya. Pisang goreng di piring terlihat sudah menumpuk. Ia berjalan membawa pisang goreng buatannya ke meja teras lalu ia tutup dengan kertas minyak. Janitra yang mendengar pun menganggukkan kepala.
“Pak buat pisang gorengnya tidak perlu banyak-banyak. Tenggorokan bapak nanti kering loh”, Janitra memberi nasihat kepada bapaknya sambil mengangkat panci berisi air yang sudah matang. Ia menuangkannya ke dalam dua gelas teh yang sudah diracik tadi dan mengaduknya.
Bapak yang mendengar perkataan Janitra pun tertawa, “Hahaha tenang le, bapak tidak mengoreng banyak kok, itu cukup buat kita berdua. Kamu nanti bawa bekal pisang gorengnya ya” ucapnya sambil menepuk-nepuk pundak Janitra, ditangannya juga membawa cobek berisikan sambal.
Janitra yang melihatnya pun bertanya, “Pak, bapak bawa sambel mau buat apa?”. Bapak hanya tersenyum, “Sudah kamu sarapan dulu, bapak tunggu di teras” lalu ia berjalan melewatinya sambil membawa cobek berisi sambel. Janitra tersenyum, ia melangkah mengambil lauk ikan pindang, tempe dan kecap untuk sarapannya. Walau begitu ia bersyukur Bapak dan dirinya masih diberi kesehatan. Setelah mengambil lauk ia segera menghampiri Bapaknya tak lupa membawa dua gelas teh hangat yang sudah diaduk lalu ia duduk disampingnya. Terlihat Bapaknya mengunyah pisang goreng kesukaannya sambil melihat pemandangan sawah yang bisa dinikmati dari latar rumah.
“Pak, ini minum teh hangatnya. Udara dingin seperti ini, bapak harus minum banyak teh hangat”, ucap Janitra sambil menyerahkan gelas teh hangat ke Bapaknya. Yang dipanggil pun menoleh. Ia menatap putranya dengan senyum, “Iya taruh saja le. Kamu juga harus makan banyak, apalagi kamu mau berangkat mengajar kasian murid-muridmu nunggu kamu. Ingat kamu itu guru, harus bisa jadi contoh buat muridmu”.
Janitra tersenyum mendengar nasihat dari Bapaknya. “Iya Pak, ini mau sarapan” ucapnya. Bapaknya juga ikut tersenyum, mengambil teh hangat yang ditaruh Janitra tadi dan menyeruputnya. Teh hangat buat Janitra memanglah kesukaannya setelah teh buatan istrinya. Ia menatap Janitra lama sambil memikirkan masa depan Janitra sebagai guru honorer, sama seperti dirinya. Ia ingin Janitra bisa diangkat pegawai sipil apalagi sekolah tempat Jan mengajar jauh dari kata layak. Ia sedih namun ia percaya bahwa suatu saat takdir mengubah hidup anaknya kelak.
Keheningan pun melanda keduanya diiringi mulai turunnya gerimis dan bau tanah setelah hujan yang khas menusuk indra penciuman mereka. Masing-masing bergelut dengan isi pikirannya sendiri. Walaupun mengunyah makanan, Jan masih memikirkan bagaimana kehidupannya sebagai seorang guru honorer.
Tak berselang lama suapan terakhir mengakhiri kegiatan makan Janitra. Ia menyeruput segelas teh hangat disampingnya dan segera bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju ke dapur untuk mencuci piring. Janitra melihat jam dinding di dapur, terlihat pukul 05.40 pagi. Ia mengambil tas dan sepatu lusuhnya dengan tergesa. Setelah mengambil keduanya, ia duduk di teras dan memasukkan sepatunya kedalam kresek.
Bapak terkekeh melihat Janitra dan berkata, “Tidak usah terburu le, hati-hati. Ini masih gerimis”. Sedangkan Janitra masih sibuk memakai jas hujan yang ada didalam tasnya. “Bawa motornya hati-hati. Jalan ke tempatmu mengajar juga tidak bagus”, ucap Bapak khawatir. Janitra yang sudah selesai memakai jas hujan, segera ia mencium tangan Bapaknya dan berkata “Iya Bapak tenang saja”. Bapak tersenyum melihat Janitra yang sudah menaiki motornya. Tak lama Janitra dan motornya perlahan menghilang dari pandangan Bapak.
Janitra kini sudah berada di ruang guru setelah menempuh jarak yang cukup jauh dari rumahnya dengan jalan yang tidak beraspal. Ia terlihat sudah memakai sepatu namun seragam bawahnya basah akibat jalanan yang becek setelah hujan reda. Menyadari hal itu, Janitra mengambil kain kecil untuk mengelap seragamnya yang basah.
“Tra, hujan sudah reda sebaiknya kita segera mengajar murid-murid. Lagipula murid-murid sudah mulai datang” ucap seorang guru kelas 12. Janitra yang mendengar hal itu langsung menyiapkan dirinya. Ia harus professional saat mengajar murid-muridnya walau dengan keadaan yang terbatas.
Bangunan sekolah yang terlihat rapuh, kayu-kayu yang sudah lapuk dan beralaskan tanah, hal itu yang sehari-hari dirasakan oleh Janitra. Apalagi sekolah ini hanya memiliki 4 ruang kelas yang masing-masing keadaannya tidak jauh berbeda dengan lainnya. Sedangkan guru disini hanya 8 orang termasuk kepala sekolah yang merangkap guru. Fasilitas sekolah ini juga minim dan jauh dari jangkauan teknologi.
Janitra berjalan menuju ke ruang kelas 11, tempatnya mengajar. Saat memasuki ruang kelas, ia melihat beberapa siswa yang sudah duduk ditempatnya masing-masing.
“Assalammualaikum murid-murid, selamat pagi”, sapa Janitra yang sudah berdiri di depan murid-muridnya. “Waalaikumsalam Pak Nitra”, jawab murid-murid serentak. Janitra tersenyum mendengar salam dari murid-muridnya.
“Pagi ini hujan turun dan semestinya kita mengadakan upacara untuk memperingati hari guru tapi lapangan kita tidak memungkinkan untuk upacara. Hari ini bertepatan dengan hari guru se-Indonesia, apa kalian tahu?” tanya Janitra kepada murid-muridnya tapi hanya 2 orang yang mengangkat tangan pertanda ia tahu yang dimaksud Janitra.
Janitra pun melihat 2 muridnya mengangkat lalu menunjuk salah satu diantaranya dan bertanya, “Beno, apa kamu tahu hari guru itu?”. Beno pun menjawab dengan anggukan mantab. “Kamu tahu tentang apa, Beno?” “Guru adalah pahlawan kita dalam mendapatkan ilmu pengetahuan dan perjuangannya patut di apresiasi, Pak”, jawab Beno. Janitra pun mengangguk mendengar jawaban dari muridnya. “Lalu adakah guru favorit dari kalian semua?” ucap Janitra dengan rasa penasaran. Murid-murid mengangguk serentak. “Siapa?” tanya Janitra sekali lagi. “PAK NITRRRAAAA…” jawab murid serentak. Hal itu membuat Janitra melongo beberapa detik dan menyadarinya. Lalu ia tersenyum bangga karena murid-muridnya mengingatnya.
“Bapak tunjuk ya, dan beritahu bapak alasannya mengapa kalian menyukai bapak?”, dan Janitra menunjuk murid perempuan. “Luna…” panggilnya. Luna bersiap menjawab, “Bapak berjasa bagi kami, tidak pernah lelah memberikan ilmunya kepada kami dan perjuangan bapak untuk ke sekolah kami, itu membuat kami sadar bahwa bapak menyayangi kami”, ucap Luna diakhiri senyuman. Hati Janitra luluh mendengar pendapat muridnya. “Bapak jadi luluh mendengarnya” ucap Janitra sedikit kikuk.
“Apa kalian ada harapan atau doa untuk hari guru tahun ini?” sambungnya. Beno kembali mengangkat tangannya. Ia ingin mengungkapkan pendapatnya, “Beno berharap semua guru di Indonesia mendapatkan haknya sebagaimana mestinya Pak. Kami tahu, gaji bapak kecil di sekolah kami, karena itulah kami berharap Bapak dan guru-guru disini mendapatkan haknya melalui pemerintah” jelas Beno. Luna pun ikut mengangkat tangannya, “Saya pak…”. Janitra melihatnya dan mempersilahkan Luna memberikan pendapatnya lagi. “Saya berharap, guru-guru dan murid-murid diberikan fasilitas yang layak sebagai media penunjang pembelajaran yang bisa membantu kami dan pemerintah lebih peduli dengan guru. Karena bagaimana pun guru adalah salah satu pilar negara, Pak”, jelas Luna. Janitra lagi-lagi tersenyum mendengar pendapat murid-muridnya. Ia melihat masih ada muridnya yang mengangkat tangannya, ingin menyampaikan pendapatnya juga.
“Saya Pak, saya berharap Pak Nitra dan guru-guru disini selalu semangat dalam mengajar untuk memberikan ilmunya pada kami. Kami senang, Pak”, Ayu menyampaikan harapannya. “Wah kalian benar-benar murid yang hebat. Kalian berani mengangkat tangan serta mengungkapkan pendapat dan harapan masing-masing. Bapak senang sekali”, papar Janitra.
Murid-murid pun bertepuk tangan dengan semangat setelah mendengar pujian dari Janitra. Begitu juga dengan Janitra yang tak kalah senang dengan perhatian mereka kepadanya. Namun ada murid satu lagi yang mengangkat tangannya dan Janitra berkata, “Ada apa Laksa?”. Yang dipanggil segera menjawab. “Saya ingin bertanya pada Pak Nitra, apa bapak ada harapan juga untuk hari guru terlebih dari sudut pandang Bapak sendiri?” tanya Laksa padanya. Janitra pun terdiam sejenak setelah mendengar pertanyaan muridnya. Ia mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu.
Sesaat ia melihat murid-muridnya satu persatu. Ia menemukan jawabannya. “Bapak berharap, guru-guru honorer, guru yang ada di daerah tertinggal, terdepan, terluar apalagi pedalaman di seluruh Indonesia mendapatkan keadilan dan kesempatan yang merata haknya sebagai guru. Pembangunan fasilitas yang memudahkan guru untuk mengajar dan memberikan siswa kesempatan untuk menggali ilmu pengetahuan lebih banyak lagi. Setidaknya pemerintah memfokuskan dan memerhatikan di daerah yang seperti itu.” ungkap Janitra kepada murid-muridnya.
Para murid-murid bertepuk tangan kembali dengan riuhnya. Mereka bangga mempunyai guru seperti Pak Nitra. Di mata murid-murid yang selama ini diajarkan oleh Janitra, mereka menilai bahwa Janitra memiliki pembawaan yang luwes, tegas, disiplin dan terkadang humoris. Selain itu Janitra mengajarkan mereka untuk lebih mencintai diri sendiri, fokus pada diri sendiri dan peduli dengan kesehatan mental masing-masing.
“Bapak juga berharap kalian harus mencintai diri kalian sendiri, mengenal diri kalian sendiri karena jika kalian tahu siapa diri kalian yang sebenarnya maka kalian bisa mengendalikan diri dari hal apapun dan hidup kalian jauh lebih bermakna. Jangan pernah membandingkan hidup kalian dengan siapapun, kalian fokus pada jalan hidup masing-masing dan salinglah menghargai sesama manusia. Dan kalian jangan menyerah sedikit pun akan kehidupan kalian” sambung Janitra memberi nasehat kepada murid-muridnya. “BAIK PAK…” ucap seluruh siswa serempak. Tidak ada kata lagi selain kata bangga yang terlintas di hati mereka dengan nasehat Janitra.
“Karena hari ini tidak ada upacara, kita bisa mulai pelajarannya kan murid-murid?” tanya Janitra. Murid-murid menjawab dengan serempak sekali lagi, “Bisa Pak…” sambil mengangguk penuh semangat. Semua murid mulai membuka tas dan menyiapkan buku pelajarannya. Mereka harus terus belajar demi kehidupan yang lebih baik.
Pelajaran pada hari ini pun dimulai dengan penuh semangat dan tekad dari murid-murid begitu juga dengan Janitra yang selalu penuh tekad setiap hari demi mendidik murid-muridnya. Biasanya Janitra mengajar murid-muridnya sampai pukul 14.00 siang dan setelah itu ia langsung pulang ke rumah.
Mendung berganti dengan sinar matahari yang menyapa di siang hari. Janitra dan murid-muridnya sedikit lagi menyelesaikan jam belajar yang hampir selesai. Saat ini pukul 13.45 siang, kurang 15 menit lagi mereka akan pulang. Jarum jam terus berputar dan detik pun terus berjalan, sesaat sudah pukul 14.00 tepat, Janitra mengakhiri pelajaran hari ini. Murid-murid juga mulai membereskan dan mengemasi buku-bukunya.
“Hari ini sudah selesai kegiatan belajar kita. Ingat pesan bapak ya dan silahkan membereskan buku-buku kalian. Jangan patah semangat dan teruslah berjuang” tutur Janitra sekali lagi. Murid-murid mengangguk mantap dan setelah itu mereka memberikan salam kepada Janitra.
Setelah kelas nampak kosong Janitra mulai membereskan dan mengemasi isi tasnya, mulai buku-buku pelajaran, latihan soal, absensi dan penilaian harian mereka. Tiba-tiba perkataan Bapaknya membuatnya terlintas di kepalanya.
“Walaupun kamu guru honorer dan tinggal di pedalaman, kamu harus tetap tabah le. Bapak selalu berdoa suatu saat pemerintah peduli dengan nasibmu dan guru honerer lainnya. Jangan patah semangat dan teruslah jadi pelita di tengah kegelapan le. Murid-muridmu membutuhkanmu. Ibaratnya kamu lilin yang rela terbakar demi murid-muridmu menggapai masa depan yang lebih baik”. Itulah perkataan Bapaknya yang terlintas di pikirannya.
Cerpen Karangan: Aulia Aryono Blog: auliaaryono18.blogspot.com
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 13 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com