“Happy father’s day, Kek!” Kakek sedang sibuk dengan hobi barunya di halaman belakang rumah. Berkebun. Ada tujuh pohon pisang berukuran sedang yang kemaren lusa kakek pesan pada tetangga sebelah datang ba’da subuh tadi. Dua pohon pisang sudah berhasil ia tanam. Kali ini kakek berlanjut dengan linggisnya menggali tanah dengan terampil dan cekatan. Tubuhnya yang renta tidak kalah oleh semangatnya yang menggebu. Begitulah, kalau sudah hobi, bekerja dengan senang hati.
Kakek memang termasuk orang yang selalu menekuni hobinya. Hobinya berganti-ganti. Karena disikapi secara tekun dan serius, kebanyakan hobi kakek menghasilkan. Dulu sekali, hobi kakek adalah memasak. Setiap hari menu masakan di rumah selalu bervariasi mengikuti selera masak kakek. Bahkan kakek sendiri yang pergi ke pasar untuk belanja bahan-bahannya. Tidak berhenti di situ, sebagai “pelampiasan” hobinya itu, kakek mengajak keluarga besar kami untuk membuka restoran. Alhasil, sukses besar. Sekarang, restoran itu dikelola oleh bibi dan pamanku. Sejak nenek meninggal, kakek sudah tidak mau lagi memasak, tidak mau mengurus restoran itu. Tiap mau menghidupkan kompor, selalu ingat nenek katanya.
Barangkali karena tidak mau larut dalam meratap, kakek mengalihkan hobinya dari memasak menjadi bersepeda. Setiap pagi dan sore, ia bersepeda keliling kompleks. Orang tua atau pemuda-pemudi yang ia jumpai di jalan disapanya dan diajak bersepeda. Begitu setiap hari. Hingga akhirnya orang-orang yang ia sapa itu ikut juga bersepeda. Barangkali tidak enak sendiri karena diajak setiap hari, atau gengsi, masa iya mereka kalah sama kakek-kakek untuk urusan bersepeda. Gara-gara hobi bersepedanya, kakek dinobatkan sebagai ketua komunitas bersepeda di kompleks kami.
Belakangan, hobi bersepedanya menurun. Wajar. Kakek semakin bertambah tua. Tenaganya boleh surut dimakan usia, kendati begitu, komunitas bersepeda di kompleks tetap aktif berjalan. Kakek sudah berhasil menciptakan masyarakat bersepeda di kompleks kami. Kakek berhasil menyadarkan masyarakat betapa bersepeda itu tidak hanya menyehatkan, tapi juga menyenangkan. Kakek memulai dari diri sendiri kemudian memberikan pengaruh pada orang sekitarnya. Kakek bahagia dengan itu.
Hari ini tepat 21 Juni. Barusan, aku membuka instagram dan banyak menjumpai postingan ucapan selamat hari ayah. Karena sejak setahun yang lalu aku sudah yatim piatu, maka aku iseng saja mengucapkan selamat tersebut pada kakek.
“Ucapkan sana pada ayahmu yang sudah berkalang tanah itu! Saya bukan ayahmu!” Kakek menggerutu. Linggis yang ada di genggamannya ia lempar. Pohon ketiga kakek angkat untuk ditanam. Aku yang setengah kaget dengan ucapan kakek, reflek memegang batang pisang itu, sementara kakek mengubur akarnya dengan tanah hasil galian tadi. Tidak lama, pohon pisang itu sudah tegak berdiri. Tersisa empat pohon pisang lagi.
Aku tidak tahu ke mana alur keberhasilan hobi baru kakek ini tertuju. Barangkali kakek akan buka pabrik produksi keripik pisang, atau membuka stand minuman es pisang ijo atau yang lainnya. Yang jelas, berkebun ini tidak akan berhenti menjadi hobi saja. Pasti ada kelanjutannya nanti. Aku tahu itu. Kakek tidak pernah main-main dengan setiap hobinya.
“Istirahat dulu, Kek! Kakek marah?” Aku menggelar alas, memberi isyarat pada kakek untuk berhenti sejenak dari pekerjaannya. Kulihat tubuhnya basah, penuh dengan peluh. Nafasnya sudah ngos-ngosan. Sekeras apapun kakek menolak tua, tua tidak akan pernah mau berkompromi. Semangat boleh menggebu, tapi usia tidak pernah menipu. Semakin tua usia, semakin lemah kita. Itu sudah hukum alam. Bedanya terletak pada produktivitas kita. Bertambahnya usia, belum tentu bermanfaat. Kakek sepertinya paham betul hukum alam ini. Maka, ia tidak mau umur panjang yang ia miliki saat ini berlalu tanpa manfaat yang berarti. Hidup, kemudian mati. Begitu? Sudah? Ah, itu yang kakek tidak mau.
“Tidak cucuku. Kakek tidak marah. Hanya tidak suka dengan ucapan selamat semacam itu. Ambilkan kakek segelas air. Kita istirahat dulu.” Kakek berselonjor di atas alas yang kugelar. Kaos oblongnya ia lepaskan lalu diusapkan ke seluruh tubuh untuk mengusir basah yang mengalir tanpa mau dicegah.
“Airnya, Kek!” Aku ikut berselonjor di sampingnya. Berharap kakek memberikan penjelasan tentang ketidaksukaannya pada ucapan happy father’s day tadi. Kakek menghabiskan air putih itu dalam lima tegukan. Keringatnya masih mengucur. Kaos oblong putih itu sudah basah sebasah-basahnya, juga kotor di mana-mana, bekas debu yang menempel di kulit.
“Masyarakat kita ini terlalu sibuk mengenang, Cucuku.” Kakek menarik nafas. “Terlalu banyak ucapan selamat. Sebentar selamat hari ini, sebentar selamat hari itu. Dua minggu lalu ramai selamat hari lahir pancasila. Aku Indonesia, aku pancasila. Semuanya bersorak aku Indonesia, aku pancasila. Bahkan kata ‘aku pancasila’ sibuk diperdebatkan. Tidak sesuai dengan kaidah ini lah, kaidah itu lah. Nilai filosofisnya berkurang, maknanya ambigu. Duh, taik.” Kakek nyerocos. Aku hendak menyela, tapi tidak bisa. Kakek terus nyerocos, mengutarakan kekesalannya entah kepada siapa. “Mereka memperdebatkan pancasila tanpa sadar sudah melukai nilai-nilai pancasila itu sendiri. Tingkahnya seolah-olah sudah bersumbangsih banyak untuk negeri, aku pancasila, aku pancasilais. Hadeh! Memalukan! Padahal kerjaannya memecah belah umat. Heran deh heran!” Seperti kakek-kakek tua pada umumnya, bicara kakek mungkin terlihat mau menang sendiri. Merasa yang paling benar. Merasa paling paham sejarah. Tapi kalau dipikir-pikir, apa yang kakek sampaikan kebanyakan benarnya.
“Ucapan selamat itu harus tulus, Cucuku!” Masih berlanjut, “harus benar-benar tulus dari hati. Buktikan dalam bentuk tindakan nyata, bukan hanya kata-kata klise yang kedengarannya tidak efektif dan sangat menyebalkan. Happy father’s day, selamat hari pahlawan, selamat hari pancasila. Udah? Itu saja? Haha…” Kakek beranjak dan mulai melanjutkan menggali tanah dengan linggisnya.
“Dengan kesadaran, Cucuku! Dimulai dari kita sendiri.” Kedua tangan kakek bekerja cepat mengambil bongkahan tanah. Pohon pisang keempat hampir siap ditanam. “Melakukan apapun yang terbaik dan tidak membuat buruk nama ayahmu. Itu lebih membanggakan dari sekedar ucapan happy father’s day. Ayo, bantu kakek mengangkat pohon pisang itu.” Aku bergegas mengikuti arahannya.
“Mereka yang sibuk memperdebatkan aku pancasila atau aku pancasilais itu mengonfirmasi,” kali ini kakek yang memegang batangnya dan aku yang mengubur akar pohon pisang itu, “bahwa mereka bukan Indonesia. Kayak tidak ada pekerjaan lain saja. Sehingga pekerjaan menyejahterakan umat menjadi terlupakan.” Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Sebagai laki-laki dengan usia yang terbilang matang, aku merasa malu. Di usia 25 ini, aku merasa tidak tahu apa-apa.
—
Pohon pisang kakek berbuah lebat. Buahnya menjuntai ke bawah hampir mencapai tanah. Warnanya sudah banyak yang kuning dan siap panen. Pagi-pagi buta, dengan raut wajah sangat bahagia, kakek mengajakku memanen buah pisang itu. Setiap satu tandan, dipotong satu sisir-satu sisir, lalu dimasukkan ke dalam kresek hitam berukuran sedang.
“Ini mau dijual, Kek?” Aku hanya menerka-nerka saja. “Sudah. Jangan banyak tanya. Nanti kamu ikut kakek keliling kompleks.”
Matahari sepenggalahan naik. Kami keliling kompleks, mendatangi setiap rumah, mengekspor secara gratis buah pisang kakek ke tetangga-tetangga. Mereka sangat senang menerima buah pisang itu. Dan kakek lebih senang lagi, hobi berkebunnya menghasilkan. Senyumnya tampak tak mau berhenti tiap kali menyerahkan bungkusan berisi satu sisir pisang itu ke penghuni rumah. Aku juga ikut senang.
“Kek, ini rumah terakhir. Pas banget. Tinggal satu.” Pak Santoso di halaman rumahnya tampak sibuk memberikan makan pada ayam peliharaannya. “Cucuku!” “Iya, Kek?” “Adakah tanah di samping rumah kita untuk lahan peternakan? Sepertinya kakek ingin berternak ayam.”
Cerpen Karangan: Mohammad Rifai
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 11 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com