Hujan sekarang tidak sederas tadi, hanya tersisa rintik. Tapi sang mentari belum jua berani mengusir gugus awan yang menghalangi kilau sinarnya. Agaknya ia benar-benar ingin rehat, setelah sepekan terakhir kerja lembur di musim yang tak seharusnya.
Satu bunga kamboja luruh, tangkainya terlepas dari dahan pohon yang berdiri kokoh menjulang. Tanah pekuburan belum lagi kering. Semerbak wangi yang tak bisa kujelaskan baunya masuk ke rongga hidungku. Aku tak tahu pasti apa nama wangi ini. Tidak pernah sekali pun aku menjumpai sebelumnya. Entahlah.
Beberapa menit yang lalu sebenarnya pemakaman telah usai. Iring-iringan manusia sudah sejak tadi meninggalkan makam, termasuk keluarga dekatnya. Tapi kakiku rasanya tak kuasa untuk sekedar melangkah dari gundukan tanah baru, yang nisannya bertuliskan nama orang paling kuhormati sepanjang hidup. Bukan hanya olehku, tapi juga oleh masyarakat di kampungku.
Sosoknya sangat bersahaja. Sinar wajahnya menyorot teduh, dengan senyum yang selalu tersungging di sana. Ya, seingatku jarang sekali beliau marah. Mungkin pernah satu dua kali saat memergoki beberapa pemuda desa yang sibuk nongkrong di warung, menyesap secangkir kopi, padahal hari itu bulan puasa. Di luar itu, beliau adalah orang yang menyenangkan bagi siapapun. Lebih-lebih saat mengajar di surau petang hari. Beliau menjelma menjadi teman yang seru bagi kami, murid-muridnya yang tengah tertatih menapaki kedewasaan hidup.
“Di mana kawan-kawanmu yang lain?” tanya beliau padaku suatu kali.
Sore itu hujan deras, gelegar guntur terdengar bersahutan. Jalanan kampung yang becek ditambah hawa dingin semakin menguatkan diri untuk berdiam saja di rumah. Kami yang biasanya mengaji bersepuluh hanya menyisa tiga orang. Banyak yang absen.
“Mungkin karena hujan, banyak yang tidak hadir, Guru,” jawabku apa adanya.
Beliau mengangguk, tidak mencela apalagi marah. Dan tetap saja mengajar dengan penuh energi seperti biasanya. Tapi sungguh, dalam hati kami sering malu padanya. Di usia yang tak bisa dibilang muda lagi, semangatnya tak pernah menjingga senja. Gurat wajahnya boleh saja menunjukkan tanda-tanda menua dari hari ke hari, tapi terang pikirnya tak turut melemah dimakan usia. Justru yang ada semakin bening memancar melampaui zaman.
“Kalian kenal Muhammad Al-Fatih?” tanya beliau di kesempatan yang lain. Kami mengangguk serempak. “Ah, sejak kapan kalian bertemu dan berkenalan dengannya?” Guru kembali menanyai kami. Sedetik kami terdiam saling tatap, lantas derai tawa pecah memenuhi ruang.
“Cita-cita Al-Fatih amat luar biasa,” sambungnya menyudahi tawa kami, “Menjadi sebaik-baik pemimpin, membebaskan Konstantinopel.” Lalu mengalirlah kisah epik milik sultan yang berjuluk Al-Fatih itu. Gaya bercerita beliau meliuk indah, terlihat amat nyata. Kami seolah hadir di depan megahnya Konstantinopel yang dilindungi benteng maha raksasa di daratnya, dan rantai panjang besar di lautannya. Kami juga seperti benar-benar melihat puluhan kapal yang ditarik menyeberangi bukit dengan tenaga manusia dalam satu malam! Sungguh, meski aku yakin kami telah beberapa kali mendengar cerita yang sama di telinga, kali ini rasanya berbeda. Kami takjub luar biasa.
Dan ada satu hal ganjal yang aku dan teman-teman rasakan. Semenjak kami mengenal guru dan bergabung menjadi murid binaan beliau, setiap pagi di depan rumah kami masing-masing terdapat sebuah nasi kotak yang dibungkus plastik hitam. Awalnya kami tak saling memberitahu, hingga akhirnya beberapa teman menceritakan hal tersebut. Kami menaruh dugaan jika guru yang telah melakukannya.
“Wallahu a’lam, Allah yang lebih tahu tentang segala hal yang tidak kita ketahui.” Begitu jawab beliau saat kita tanyai waktu itu, tentu saja sambil tetap menyungging seyum di wajah.
Sekali dua kali, kami sempat ragu jika si empunya kotak nasi salah menaruh di rumah kami. Tapi kejadian itu berulang terus tiap hari. Baiklah, jika terjadi berkali-kali artinya pemberinya memang tak salah alamat. Siapapun itu, kami hanya bisa mendoakan kebaikan untuknya.
Tentang guruku, yang sangat kukagumi dari beliau adalah pengorbanannya sebagai seorang guru itu sendiri. Aku tahu, beliau hidup sangat sederhana. Di rumahnya hanya ada satu motor tua yang sudah sering ‘batuk-batuk’. Dan motor itulah, yang menjadi saksi perjuangannya menyusuri kampung demi kampung, mengajarkan ilmu yang diamanahkan pada beliau bagi umat. Ongkos bensin? Beliau ambil dari saku sendiri, sama sekali tak mengharapkan gaji dari apa yang telah beliau lakukan.
“Berdakwah itu kewajiban bagi setiap muslim, bukan pekerjaan yang bisa beroleh bayaran. Karena semua muslim adalah da’i, sebelum ia menjadi apapun.” Masih kuingat dengan jelas nasehat beliau di surau dulu.
Allah Mahatahu betapa aku sangat bersyukur dipertemukan dengan sosok bersahaja itu. Guruku adalah contoh nyata bagaimana dunia tak mampu menempat di hatinya. Beliau adalah guru bagi kami, bagi keluarganya, dan bagi masyarakat. Beliau adalah guru, dengan segala makna yang dapat dicakup oleh kata itu.
—
Rasa sesak tiba-tiba saja memenuhi rongga dadaku ketika memoriku memutar ulang kenangan tentang guruku itu. Mataku kembali memanas, seperti saat pertama kalinya kudengar kabar wafatnya guru fajar tadi.
Sholat shubuh yang basah. Usai imam mengucap salam keduanya, seorang jamaah tiba-tiba memekik tertahan. Guruku yang berada tepat di sampingnya tak kunjung bangun dari sujud terakhir. Merasa ada yang salah, jamaah itu memeriksa beliau, dan ternyata tak ditemukan lagi detak jantung di sana. Akhir hidup yang indah, ketika sholat berjamaah.
Banyak yang merasa kehilangan. Aku tak sanggup mengira berapa ribu orang yang turut bertakziyah. Kerumunan manusia itu menjadi saksi bagaimana besarnya kisah hidup beliau.
Kuhela napas panjang. Pandanganku menatap lekat gundukan tanah yang bertabur bunga di hadapan. Beberapa jenak pandanganku masih terpaku, lalu tak lama kuputuskan untuk pulang ke rumah.
Dengan langkah gontai aku berbalik badan, setelah sebelumnya membisikkan salam perpisahan, lirih, “Selamat jalan, Guru. Kini kau telah menghadap pada Dzat, yang engkau ridha kepada-Nya, dan in syaa Allah Ia juga ridho kepadamu.”
Di bawah rintik hujan yang semakin jarang, kakiku menapak patah-patah. Meniti jalan setapak yang menghampar di tengah pemakaman.
Setelah sampai di depan rumah aku termenung, baru menyadari jika memang ada sesuatu yang berbeda. Ya, sekotak nasi yang terbungkus plastik hitam, tak lagi kutemui ia di meja kecil depan rumah.
Cerpen Karangan: Fatin Humairo’ Blog / Facebook: fatin humairo Fatin Humairo’. Mahasiswa semester dua jurusan Agronomi dan Hortikultura.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 24 Februari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com