Panas terik terasa membakar kulit, tapi itu tidak menyurutkan tekad beberapa pemuda yang tengah berlatih memanah.
Salah seorang pemuda bertubuh tinggi terlihat memasang wajah serius. Ia memejamkan sebelah matanya, mencari titik sasaran yang tepat.
Pemuda itu menghela nafas perlahan lalu mulai menarik busur untuk melepaskan anak panahnya.
CTAK! Pemuda itu menghela nafas kasar karena anak panahnya tidak tepat sasaran. Ia menjatuhkan dirinya di tanah yang beralaskan rumput dan meletakkan panahnya di sebelahnya.
“Hei sobat, kau sudah mau istirahat?” Tanya salah seorang temannya. “Ya, kupikir begitu. Tapi di sini yang lelah adalah batinku, bukan fisikku. Sungguh, tertekan batin itu sangat menyebalkan.” Temannya itu tertawa dan ikut duduk di sebelahnya.
“Katanya ingin menjadi pemanah yang hebat, tapi baru latihan sebulan sudah tekanan batin. Memanah memang kadang butuh kesabaran yang lebih besar daripada memancing.”
Pemuda tinggi itu merenung memandang papan sasaran untuk latihan memanah. Memang baru sebulan ini ia ikut sekolah memanah di kotanya. Awalnya ia pikir itu mudah, tapi ternyata tidak semudah itu.
Ia suka memanah karena ia suka membaca cerita Robin Hood dan Hawkeye. Dulunya ia memiliki cita-cita untuk menjadi seorang dokter forensik, tapi cita-cita itu tergeser oleh dunia panahan.
Awalnya dia berlatih sendirian, tapi ia merasa kurang efektif. Jadilah ia mendaftar di sekolah memanah, sekaligus agar mendapat teman yang memiliki kegemaran yang sama.
“Ifan! Salman! Kalian mau ikut ke kantin sekarang atau tidak!” Teriak salah seorang rekan mereka. “Tidak!” Jawab keduanya kompak.
Kedua pemuda itu—Ifan dan Salman—kembali mengobrol. “Saat aku membaca cerita Robin Hood atau Hawkeye, aku merasa panahan itu mudah dan menyenangkan,” ucap Ifan. “Kedua tokoh itulah yang membuatku menyukai panahan, meski aku sering mengeluh dengan kesulitan dalam memanah.” “Awalnya aku juga sering mengeluh karena kesulitan memanah,” balas Salman. “Aku hampir putus asa dan berpikir untuk melupakan kegemaranku ini. Tapi semangatku muncul kembali setelah membaca kisah tentang Sa’ad bin Abi Waqqash.” Ifan mengerutkan keningnya sembari menatap Salman. “Aku tidak pernah menemukan buku fiksi tentang panahan yang tokohnya bernama Sa’ad bin Abi Waqqash. Dimana kau membeli buku itu?” Salman tertawa dan membalas, “Aku tidak membaca cerita fiksi, kawan. Sa’ad bin Abi Waqqash itu salah seorang pemanah muslim di zaman Rasulullah.” “Benarkah?” Tanya Ifan dengan penasaran, “Apakah dia lebih hebat dari Robin Hood atau Hawkeye?” Salman menjawab, “Dari beberapa kisah yang aku baca, aku takjub saat dia berhasil melepaskan tiga anak panah sekaligus dan mengenai tiga target yang berbeda. Dia rajin berlatih memanah sendiri, tanpa guru atau pun rekan di sisinya saat latihan.”
Salman berhenti bicara dan menatap Ifan yang masih menatapnya penasaran. Kemudian Salman melanjutkan ucapannya, “Jika kau bertanya kepadaku siapa yang lebih hebat, maka jawabanku adalah Sa’ad bin Abi Waqqash. Maaf sebelumnya, tapi Robin Hood dan Hawkeye hanyalah tokoh fiksi. Kehebatan mereka hanyalah karangan dalam buku atau imajinasi semata. Sedangkan kehebatan Sa’ad bin Abi Waqqash adalah kisah nyata.” Ifan terdiam sesaat sebelum kemudian kembali bertanya, “Dimana aku bisa membaca kisahnya?” “Carilah di internet, dan kau akan mendapatkannya. Dia adalah pemanah yang sering ikut bertempur, dan dia juga pemanah kepercayaan Rasulullah.” Ifan mengagguk mengerti. Dirinya memang jarang sekali—atau bisa dibilang hampir tidak pernah—membaca kisah-kisah sejarah atau tokoh islam, meski dirinya sendiri adalah orang islam.
Malamnya—sesuai yang disarankan oleh Salman tadi—Ifan tengah mengotak-atik laptopnya. Ia menuliskan judul ‘Pemanah Muslim Bernama Sa’ad bin Abi Waqqash’ di mesin pencarian. Tak lama kemudian muncullah berbagai laman web atau blog yang tertera nama Sa’ad bin Abi Waqqash. Ifan membuka salah satu satu blog dan membaca isinya yang menerangkan tentang Sa’ad Bin Abi Waqqash.
Ifan membaca dengan serius dan beberapa kali berdecak kagum. Apa yang Salman bicarakan tentang Sa’ad bin Abi Waqqash benar-benar sesuai dengan apa yang Ifan baca saat ini.
Puas membaca, Ifan segera mematikan laptopnya. Isi kepala Ifan penuh dengan keberanian dan kehebatan dari pemanah muslim itu. Hal itu cukup membakar kembali semangat Ifan, membuatnya tak sabar untuk kembali berlatih memanah besok.
“Inilah panutan baruku dalam belajar memanah. Semoga aku bisa sehebat dirinya. Sehebat dan seberani Sa’ad bin Abi Waqqash.” Ifan kemudian menyimpan laptopnya dan berbaring untuk tidur. Besok dirinya benar-benar akan membakar semangat baru.
Esoknya, Ifan benar-benar menanamkan semangat baru. Ia berlatih sangat keras dan tak lagi mengeluh meski berulang kali gagal. Ia terus mencoba dan mencoba.
“Kawan, kau benar-benar semangat hari ini.” Ucap Salman yang cukup terkejut dengan semangat Ifan. “Ya, tentu. Saran darimu tentang membaca kisah Sa’ad bin Abi Waqqash telah menyulut semangatku kembali.” Salman tersenyum dan ikut berlatih dengan semangat yang sama.
“Jadi, apa kita akan sama-sama berlatih untuk menjadi pemanah sehebat Sa’ad bin Abi Waqqash di masa kini?” Tanya Salman tanpa menoleh ke arah Ifan. “Ya,” jawab Ifan yang juga tidak menatap Salman. “Kita akan menjadi sehebat dirinya.”
Mereka pun menarik busur dan melepas anak panah secara bersamaan. CTAK! CTAK! Dua-duanya tepat sasaran. Senyum puas nampak tergambar di wajah mereka.
“Ini adalah permulaan yang bagus,” ucap Salman. “Hari berikutnya kita akan berlatih dengan lebih lagi.” “Tentu saja.”
END
By: Emeral Almonia
Cerpen Karangan: Emeral Almonia Facebook: Han Al Nama (Pena): Emeral Almonia Hobi: Terserah, I’m free ’bout it Instagram: Beastlock_Wolfie Wattpad: Hemlock_Epsilons Facebook: Han Al
“Kau tidak perlu tau banyak tentangku dan kau tidak perlu melihatku, intinya aku hidup. Cogito ergo sum.” Emeral Almonia.