Kabut belum berganti dengan aroma sukma. Matahari tampak mengintip dari balik gumpalan-gumpalan awan kelabu, seperti berusaha memberikan sedikit demi sedikit kehangatan di pagi yang terasa dingin ini. Hujan di sore hari kemarin terus berlanjut hingga tengah malam dan baru mereda dini hari. Udara dingin serta merta menerpa tubuhnya saat ia membuka jendela kamarnya dan membuatnya segera menutup jendela itu kembali. Hari ini kelas pertamanya dimulai pukul delapan dan ia harus berangkat lebih awal untuk mengembalikan payung milik bapak security itu sebelum memulai kelas. Pagi ini Ibunya pun akan pergi mengantarkan baju jahitan pesanan dari beberapa pelanggannya. Oleh karena itu, ia harus membantu Ibunya merapikan rumah sebelum mereka berangkat.
Jalanan tampak masih basah sisa hujan yang mengguyur hampir setengah hari kemarin. Beberapa anak kecil tengah berdiri mengelilingi sebuah pohon. Satu anak yang badannya lebih besar dari yang lain berada di atas pohon itu dan berusaha menggapai sebuah dahan yang cukup besar kemudian menggoyang-goyangkannya. Percikan-percikan air pun keluar dari dahan itu dan mengenai anak-anak yang ada di bawahnya. Namun bukannya menghindar, mereka malah menengadahkan kepala dan mengangkat kedua tangan setinggi-tingginya lalu melompat-lompat kegirangan. Ia melewati anak-anak itu sambil tersenyum. Ia dulu pernah merasakan pengalaman yang sama dengan anak-anak itu. Kala itu, ia yang memanjat pohon sementara teman-temannya menunggunya di bawah. Sayangnya, belum ada lima menit mereka bersenang-senang, ia sudah jatuh dari pohon itu dan teman-temannya pun memapahnya untuk pulang karena kakinya terkilir.
Ia sudah sampai di depan bank tempatnya berteduh kemarin untuk mengembalikan payung milik bapak security itu. Bank itu sudah buka. Bapak security itu terlihat sedang bertugas dibalik pintu kaca depan bank. Melihat kedatangan Zalina, bapak itu pun segera membukakan pintu untuknya,
“Silakan, Mbak” Ujarnya pada Zalina. “Ini, Pak. Saya mau ngembaliin payung yang kemarin. Makasih banyak ya, Pak.” Zalina menyerahkan payung itu kepada bapak security. “Salam dari Ibu saya buat bapak. Katanya terima kasih atas bantuannya.” Ujarnya lagi. Bapak security itu mengambil payung miliknya dari tangan Zalina, “Waalaikumusalam. Sama-sama.” Ia menoleh sebentar ke arah kanan lalu berkata, “Sebentar ya.”
Bapak security itu berjalan ke meja di ujung kanannya dan kembali dengan menenteng sebuah plastik hitam kecil. “Kamu sarapan dulu sebelum kuliah. Tapi kalau udah sarapan, ini bisa buat makan siang nanti.” Ia memberikan bungkusan itu kepada Zalina. Zalina terdiam sebentar namun setelah itu segera menerima bungkusan tersebut. “Makasih banyak, Pak. Saya kuliah dulu ya, Pak.” “Iya, hati-hati.”
Sepanjang perjalanan menuju kelasnya, Zalina terus memikirkan apakah alasan dibalik sikap dan perilaku bapak security itu. Bagaimana pun juga, ini terasa ganjil baginya karena ia belum pernah mengenal bapak itu sebelumnya. Tapi mengapa bapak itu berperilaku begitu baik padanya sejak awal pertemuan mereka? Tiba-tiba perkataan Mitha kemarin terlintas begitu saja dibenaknya. “Jangan-jangan bapak itu beneran suka sama gue?” Ujarnya dalam hati. Ia pun bergidik antara geli dan ngeri. Ia segera menyingkirkan pikiran itu saat sudah sampai di ambang pintu kelasnya.
Hari terus berganti. Sudah hampir dua minggu sejak pertemuan pertama ia dan bapak security itu, sampai sekarang bapak itu masih bersikap sama kepadanya. Karena bank tempat bapak itu bertugas adalah tempat yang selalu dilewatinya tiap kali ia berangkat dan pulang kuliah, maka bapak itu pun jadi lebih mudah untuk menghampirinya meski pun sekedar memberikan sarapan saat ia berangkat kuliah pagi, makan siang saat ia berangkat kuliah siang, atau makan malam saat ia pulang usai kuliah. Memang hal itu tidak terjadi setiap hari, karena ia pun kuliah hanya empat hari dalam seminggu. Dan juga, meski pun mereka sering kali bertemu, namun komunikasi antara mereka tidak pernah lebih dari ungkapan pemberian makanan-makanan itu, ungkapan terima kasih darinya, dan tanya jawab mengenai kabar masing-masing di hari itu.
“Kayaknya lo jadi suka ngebungkus makanan ya sekarang. Beli dimana sih?” Tanya Mitha yang lagi-lagi melihat Zalina datang ke kelas membawa bungkusan makanan yang biasanya akan dimakannya siang nanti. Zalina mengambil bangku dan duduk disamping Mitha. Ia lalu mengintip isi bungkusan yang sedari tadi dipegangnya itu dan berkata, “Dari bapak security yang waktu itu.” Mendengar jawaban teman akrabnya itu, Mitha pun terkejut, “Hah? Jadi selama ini lo bawa-bawa bungkusan makanan tuh dari bapak itu?” Zalina hanya mengangguk lalu mengeluarkan sebuah binder di tasnya. “Lo gak ngerasa aneh apa? Kok baik banget sih itu orang.” Ujar Mitha lagi. “Ya gimana? Kata Ibu, kita jangan mencegah orang lain yang mau berbuat baik ke kita, karena sama aja kita mencegah pahala yang tadinya mau dikasih ke orang itu.” “Tapi emang lo udah kenal sama bapak itu?”
Mendengar pertanyaan Mitha, Zalina tersadar akan satu hal. Selama ini ia ternyata belum mengetahui nama bapak security itu. Jangan kan bertanya langsung, berinisiatif untuk melihat name tag di seragam bapak itu saja tidak ia lakukan.
“Udah belum ya? Tapi gue belum tau namanya sih.” Jawabnya. Mitha tercengang mendengarnya. Ia menenggelamkan wajahnya di meja sebentar lalu mengangkatnya kembali, “Heran gue sama lo. Padahal hampir tiap hari lo nerima bungkusan makanan dari bapak itu, tapi namanya aja lo gak tau.”
Lalu ia menenggelamkan wajahnya lagi, entah apa yang ada di pikirannya melihat tingkah teman akrabnya itu. Mendengar pengakuan Zalina tadi sepertinya membuatnya tak bisa berkata apa-apa lagi.
Berjalan di tengah keramaian suasana kampus sore ini justru membuat Zalina merasa sunyi. Bising yang dihasilkan keramaian itu seolah tidak terdengar olehnya karena ia sedang tenggelam dalam bising di pikirannya sendiri. Setelah Mitha membuatnya tersadar tadi, ia bertekad untuk benar-benar berkenalan dengan bapak security yang selama hampir dua minggu terakhir ini selalu memberikannya bekal makanan dan selalu disertai dengan uang. Biasanya, bapak itu akan menghampirinya saat ia melewati bank itu untuk pulang. Saat itu lah nanti ia akan mengajak bapak itu untuk berbincang.
Benar saja, melihat Zalina yang melewati bank tempatnya bertugas, bapak itu segera keluar untuk menghampirinya. Masih dengan kebiasaannya, yaitu menenteng sebuah bungkusan untuk diberikan kepada Zalina.
“Pak, aku mau ngobrol sama Bapak, bisa?” Tanyanya setelah mengucapkan terima kasih atas bungkusan makanan yang diberikan bapak itu. Bapak itu terlihat sedikit terkejut namun segera menutupi keterkejutannya itu dengan senyum tipisnya. “Bisa. Tapi tunggu, ya. Sebentar lagi bank mau tutup. Kamu bisa tunggu di depannya.” Ujar bapak itu. “Iya, Pak, gapapa.” Jawabnya yang lalu memusatkan pandangannya ke name tag di seragam bapak itu. Disana tertera, “ARDI K. NASUTION”.
Setelah lebih dari setengah jam menunggu, akhirnya bapak itu muncul dan menghampiri Zalina yang sedang duduk di kursi panjang depan bank tersebut. Ia datang membawa sebotol teh dingin untuk Zalina dan langsung duduk di sebelahnya.
“Dek, maaf ya nunggunya lama. Ini minum dulu.” Ujar bapak itu seraya memberikan botol itu kepadanya. “Makasih banyak, Pak.” Ia menerima botol itu lalu membukanya.
Kini, ia dan bapak itu duduk bersama menghadap ke arah jalan raya yang sore itu ramai dan riuh oleh bising kendaraan. Beberapa detik kemudian, ia membuka percakapan,
“Bapak tinggal dimana, Pak?” “Gak jauh dari sini, Dek.” “Tinggal di rumah atau kost, Pak?” “Di rumah, sama istri. Anak Bapak kuliah di luar kota, dia ini yang nge-kost.” “Oh gitu. Bapak sering kangen dong sama anak Bapak?” “Ya kangen, tapi kan dia lagi belajar disana. Ya kayak kamu gini, kuliah. Usianya juga sebaya lah sama kamu.” Tiba-tiba, sebuah pertanyaan yang terlintas dibenaknya mengalir begitu saja dari mulutnya, “Bapak kok baik banget sama aku? Padahal sebelumnya kita gak saling kenal.”
Cerpen Karangan: Risya Nurcholis Facebook: Risya Nurcholis Saya adalah seorang penulis cerpen dan puisi. Karena berbicara lebih melelahkan dari pada menulis, jadi saya lebih suka bercerita lewat karya tulis.