Mendengar pertanyaan itu terlontar dari diri Zalina, bapak itu langsung menoleh ke arah Zalina dan pandangannya terpaku pada Zalina. Hal itu entah mengapa membuat Zalina gugup dan spontan menundukkan kepalanya. Beberapa detik kemudian, bapak itu kembali menolehkan pandangannya ke arah jalan raya di depannya lalu berkata, “Bapak udah kenal kamu sejak dulu. Dari kamu masih bayi.” Zalina terkejut mendengar jawaban bapak itu. Segera ia meminta penjelasan maksud dari perkataan bapak itu tadi, “Maksudnya, Pak? Kok bisa? Aku ngerasa baru kenal Bapak akhir-akhir ini.”
Bapak itu terlihat menarik napas panjang lalu menghembuskannya dengan mata yang terpejam. Setelah itu baru lah ia mulai menjelaskan semuanya pada Zalina dengan perlahan.
“Bapak ini sahabat baik Ayah kamu. Pertemuan pertama Bapak sama Ayah kamu itu waktu Ayah kamu nolongin Bapak yang mau bunuh diri karena Bapak gak sanggup lagi dengan banyaknya beban hidup yang Bapak tanggung. Bapak dihibur, disemangati, dikasih pekerjaan sama Ayah kamu di studio lukisnya. Walau pun gaji yang bisa Ayah kamu kasih jumlahnya gak besar, tapi kebaikan Ayah kamu melebihi uang-uang itu. Bapak inget banget, setiap sore Ibu kamu dateng ke studio sambil ngegendong kamu. Kamu yang waktu itu masih bayi dikenalin semua lukisan yang ada disana sama Ayah kamu. Beliau sayang banget sama kamu dan selalu bilang kalau kamu akan jadi pelukis hebat melebihinya.”
Bapak itu berhenti sejak. Ia menoleh kembali ke arah Zalina. Di sana, ia mendapati bayi mungil, anak sahabat baiknya itu, kini telah menjelma menjadi seorang gadis yang beranjak dewasa. Zalina masih terdiam di sana. Kemudian, bapak itu melanjutkan,
“Sampai akhirnya kebakaran di studio itu terjadi waktu menjelang magrib. Waktu itu Bapak gak disana karena harus nemenin istri yang mau lahiran. Bapak tau info kebakaran itu beberapa jam setelah kejadian dan langsung ke lokasi. Ternyata studio itu udah gak bersisa dan Ayah kamu gak selamat. Sepeninggal Ayah kamu, tiga hari kamu terus-terusan nangis. Kamu gak mau minum, gak mau tidur, cuma nangis. Walau pun kamu masih bayi, tapi kamu udah bisa ngerasain sedihnya kehilangan. Akhirnya Ibu kamu mutusin buat pindah ke luar kota, ke tempat orangtua Ibu kamu. Dan waktu Ibu kamu pamit ke Bapak itu lah pertemuan terakhir Bapak sama kamu saat itu. Makanya Bapak kaget banget waktu liat nama kamu di bank waktu itu. Bapak sama sekali gak nyangka bisa ketemu kamu lagi. Awalnya Bapak mau langsung ngenalin diri Bapak sebagai sahabat Ayah kamu, tapi karena Bapak keinget kalau kamu pernah begitu menderita waktu ditinggal Ayah kamu, Bapak gak jadi ngelakuinnya. Bapak takut ingatan itu bikin kamu terluka lagi.”
Setelah lama terdiam mendengarkan penjelasan bapak itu, Zalina pun bersuara, “Ibu hampir gak pernah bahas tentang Ayah. Mungkin Ibu juga takut kalau aku bakalan sedih kayak dulu.” “Iya, mungkin seperti itu. Tapi percaya sama Bapak, Pak Adya Narata, Ayah kamu itu, orang baik. Banyak banget kebaikan Pak Nata yang dari dulu pengin banget Bapak balas. Makanya waktu Bapak dikasih kesempatan buat ketemu anaknya lagi, Bapak berusaha buat menuhin janji Bapak itu. Yah, meski pun Bapak tau kalau Bapak gak bisa sepenuhnya membalas semua kebaikan Ayah kamu, tapi setidaknya Bapak mau berusaha. Dan meski pun bukan membalas langsung ke orangnya, tapi setidaknya ke anak yang beliau sangat sayangi.”
Tabir kini telah tersingkap. Cukup lah semua ini sebagai jawaban atas pertanyaan yang selama ini bersarang di pikirannya. Sedari tadi selama bapak itu menjelaskan banyak hal yang baru ia ketahui, ia hanya duduk terdiam mendengarkan dan meresapi apa yang disampaikan. Ekspresi wajahnya terlihat tenang. Sepasang matanya yang sayu tetap terlihat bersahaja. Mata sayu nan bersahaja itu juga lah yang dimiliki oleh ayahnya. Mata itu juga lah yang membuat bapak itu tak sanggup menahan gejolak di hatinya yang sudah sangat merindukan Zalina, anak dari sahabat baiknya yang tak pernah dilupakannya.
“Anak Bapak laki-laki atau perempuan?” Hanya itu lah pertanyaan yang terlontar darinya setelah semua penjelasan panjang itu terurai. “Perempuan, namanya juga Zalina.” “Zalina?” Tanyanya lagi. “Iya, namanya Zalina. Dia lahir empat hari setelah peristiwa kebakaran itu. Nama itu Bapak kasih ke anak Bapak sebagai bentuk kerinduan Bapak ke Ayah kamu dan kamu.” Lalu bapak itu mengelus kepala Zalina dan melanjutkan, “Jadi lah anak yang baik ya, Nak. Mudah-mudahan Bapak bisa ngejaga kamu sama Ibumu, seperti dulu Ayah kamu ngejaga Bapak.”
Sesampainya di rumah, ia langsung menceritakan pertemuannya hari ini dengan Pak Ardi, bapak security yang merupakan sahabat baik Ayahnya itu, kepada Ibunya. Ibunya pun tak menyangka bahwa anaknya ternyata dipertemukan kembali dengan Pak Ardi. Terkenang kembali momen-momen saat dulu ia dan suaminya sering kali menghabiskan waktu dengan Pak Ardi yang sangat humoris itu. Usai bercerita, ia dan Ibunya berpelukan erat dengan diselimuti oleh perasaan haru yang mendominasi petang itu.
“Besok Ibu mau ketemu Pak Ardi ya, Lina. Ibu juga rindu sahabat baik Ayah kamu itu.” Ujar Ibu Zalina yang lalu mengusap kedua matanya yang berair itu dengan ibu jari kanannya.
Saat ini Zalina sedang duduk termenung menghadap ke jendela yang terbuka di kamarnya. Angin malam masuk dari jendela yang terbuka itu dan menerpa tubuhnya yang berbalut piyama berwarna putih. Pandangannya tertuju pada sebuah lukisan yang ia gantung di dekat jendela itu. Lukisan yang menggambarkan pemandangan sebuah gedung bank tempat pertemuannya dengan Pak Ardi lengkap dengan latar belakang pesona senja itu baru saja dibuatnya dan ia sengaja menggantungnya agar cepat kering.
Atas semua hal yang terjadi hari ini, ia sangat bersyukur. Ia dapat dipertemukan kembali dengan orang yang menjadi sahabat baik Ayahnya semasa Ayahnya hidup. Ia juga dapat mengetahui apa yang selama ini belum pernah ia ketahui, terutama tentang betapa eratnya persahabatan Ayahnya dan Pak Ardi itu yang bahkan dapat membentuk sebuah persahabatan baru antara dirinya dengan Pak Ardi kini. Ia sering kali mendapatkan nasihat-nasihat kehidupan dari Ibunya, termasuk nasihat untuk berbuat baik. Ibunya menasihatinya untuk selalu berusaha berbuat baik pada siapa pun dan kapan pun. Karena menurut Ibunya, kebaikan akan selalu dibalas oleh kebaikan. Jikalau bukan kita yang merasakan manfaat dari kebaikan itu, maka orang sekeliling kita lah yang akan merasakannya, termasuk juga anak cucu kita nantinya. Dan kini ia membuktikan nasihat yang disampaikan Ibunya itu. Atas kehendak Allah, kebaikan-kebaikan Ayahnya itu mampu mengantarkan dirinya merasakan manfaat dari kebaikan itu lewat persahabatan Ayahnya dengan Pak Ardi.
Setelah sekian lama termenung di ujung kamarnya sana, ia akhirnya menutup jendela lalu menuju tempat tidurnya. Ia mengambil smartphone yang tergeletak di atas tempat tidur itu lalu mencari kontak Mitha di aplikasi WhatsApp dan mengetikkan sesuatu untuk teman akrabnya itu.
“Mit, bapak security itu ternyata sahabat baik Ayah gue yang udah meninggal.”
Cerpen Karangan: Risya Nurcholis Facebook: Risya Nurcholis Saya adalah seorang penulis cerpen dan puisi. Karena berbicara lebih melelahkan dari pada menulis, jadi saya lebih suka bercerita lewat karya tulis.