“Kamu, saya tempatkan di 3T, Syifa” ucap lelaki gendut berdasi yang sedang duduk berhadapan dengan Syifa. “Saya harap kamu melakukan yang terbaik untuk program ini. Karna inilah yang menentukan kelulusanmu,” Lanjutnya.
Syifa, gadis cantik berhijab yang kini menempuh pendidikan sarjananya yang memasuki semester delapan jurusan kedokteran. Dan beberapa waku kedepan ia akan bermalam selama satu bulan di desa 3T. Daerah itu hampir tidak dikenali dunia sebab teknologi dan fasilitasnya yang sangat tertinggal. Yang benar saja, seorang Syifa yang anak kota dikirim ke sebuah tempat terpencil? Lebih baik Ia mati saja.
“Apa tidak ada tempat lain, Pak?” Tanyanya dengan hati-hati. Lelaki tua itu hanya menggeleng malas kemudian menunjuk pintu dengan tangannya, mempersilahkan lawan bicaranya untuk keluar dari ruangan itu. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain keluar dan menuruti perkataan sang dosen.
Gadis berhijab phasmina itu melangkahkan kaki keluar dan menutup pintu dengan berat. Ia menghela napas, memikirkan atas keberangkatan itu. Apakah lebih baik ia tak usah ikut saja? Sepertinya itu bukan ide bagus. Perjalanan ini berpengaruh besar atas bobot nilainya. Yang mana kelulusannya pun bergantung pada angka diatas kertas tersebut. Lagi pula, ia sudah sejauh ini. Tidak mungkin ia mundur begitu saja hanya karna alasan satu itu.
Keinginannya menjadi seorang dokter sudah ada sejak dirinya masih kecil. Banyak orang bilang, Syifa mewarisi darah mendiang neneknya. Nenek dari ibunya adalah seorang dokter handal dimasanya. Beliau wafat tepat setelah mendengar kabar bahagia bahwa cucunya diterima di universitas impiannya.
“Syifa harus jadi orang yang manfaat, ya, Nduk. Kamu bakalan jadi orang sukses besok.” Ucap mendiang neneknya didetik-detik menjelang masa istirahatnya.
Syifa kecil pun sudah menjadi dokter di masanya. Ia sangat gemar bermain dokter-dokteran. Menyembuhkan boneka-bonekanya yang sakit di dalam dunianya sendiri. Ia juga sangat suka dengan serial kartun Disney ‘Mcstuffins’, dokter cilik yang selalu berhasil menyembuhkan mainan-mainannya. Hingga Syifa tumbuh dewasa, ia yang gemar menonton film, ia sangat suka pada film yang berhubungan dengan dunia kedokteran. Ia sangat kagum pada tokoh Kang Mo-Yeon pada serial drama korea ‘Descendats Of The Sun’. Caranya mengobati pasien dengan savage-nya lah yang membuat ia kagum.
Hari keberangkatan pun tiba. Syifa dengan memberanikan diri, bertekad untuk memenuhi panggilan tugasnya. Berharap di sana tak seburuk yang dipikirkannya. Ia melangkah menyusuri bandara dengan menarik koper peninggalan mendiang neneknya. Koper berwarna coklat itu tidak terlalu kuno dan masih bagus, layak digunakan.
Setelah terbang diatas awan selama lima puluh menit, Syifa harus berjalan diatas air selama empat puluh menit. Kemudian ketika sampai diatas tanah, ia menaiki becak selama lima belas menit. Daerah itu memang layak disebut terpencil. Lihatlah, jarak ke tempat itu tidaklah dekat dari pusat kota. Ditambah, membutuhkan usaha yang tak mudah untuk menuju tempat tersebut.
Hingga sampailah Syifa didepan sebuah rumah yang lumayan besar. Rumah tersebut terlihat kuno, seperti peninggalan zaman Belanda. Hanya dengan melihat beranda bangunan tersebut, sudah bisa membuat bulu kuduknya berdiri.
Ia menelan ludah, kemudian memberanikan diri untuk masuk ke rumah itu dengan menarik koper warisan mendiang neneknya. Pintu utama yang kini tepat dihadapannya terbuka setengah. Diketuknya dan ia mengucap salam. Beberapa detik sesudah itu, pintu kayu tersebut terbuka. Muncul dari balik pintu itu gadis berhijab seumuran dengannya, menguraikan senyum untuknya dan mempersilahkan masuk.
Ternyata, ia adalah teman satu kamar sekaligus satu tim Syifa, dari universitas lain. Ia juga dikirim ketempat ini untuk program itu demi kelulusannya. Dina, namanya. Ia mengantar Syifa menuju kamarnya kemudian pamit pergi karna ada urusan. Dina memberi tahu bahwa malam ini ia bisa beristirahat. Barulah esok pagi akan dimulai serangkai kegiatan. Mendengar itu, ia segera menghamburkan badannya diatas tempat tidur. Hanya dalam hitungan menit, ia sudah berada di alam bawah sadarnya. “semoga hari-hari esok akan berjalan lancar,” Batinnya.
Pagi, Syifa sudah harus bangun untuk sarapan dan mandi. Perlu perjuangan untuk membersihkan badannya. Ia harus menimba air dari dalam sumur. Untuk pertama kali seumur hidup ia melakukan hal ini. Tak seperti di tempat tinggalnya, hanya perlu memetik keran, air pun mengalir. Disini pipa air hanya untuk orang-orang kaya saja.
Kemudian Syifa dan timnya, termasuk Dina, mendapat perintah untuk mengecek dan mendata status Kesehatan penduduk setempat. Dengan membawa stetoskop, alat tensi, dan beberapa alat Kesehatan lainnya Syifa and the team mulai menyusuri pemukiman itu.
Namun ternyata semua diluar rencana. Semuanya kacau. Hal ini tak semudah yang direncanakannya. Tak ada satu pun nama yang ada di dalam data mereka. Semua manusia disini sangat anti dengan dunia medis. Mereka tidak percaya akan hal itu. Mereka masih memengang budaya dan kepercayaan nenek moyang mereka. Yang mana sedikit banyak kepercayaan itu mengarah pada hal mistis. Mereka menghindar saat melihat Syifa dan timnya yang menggunakan jubah putih sebagaimana dokter biasanya dan membawa alat-alat medis. Bahkan beberapa anak kecil spontan berlari ketika melihat mereka bak melihat monster, zombie, atau semacamnya. Ditambah beberapa tahun yang lalu, jauh sebelum Syifa datang, terdengar cerita bahwa orang-orang yang sama seperti Syifa saat ini, mereka gagal menyelamatkan nyawa seorang ibu dalam persalinannya beserta bayinya. Mereka menyimpan semacam ‘dendam’ kepada dokter.
Beberapa hari berjalan, Syifa dan timnya tak menghasilkan apapun. Mereka berjalan kesana-kemari menyusuri pemukiman sedari sang surya bangun hingga tertidur lagi. Mengetuk setiap pintu, mempromosikan program mereka, menyebarkan brosur, menawarkan secara langsung kepada setiap manusia yang ada di tempat itu, sudah mereka coba segala cara. Namun hasilnya tetap nihil. Kertas data mereka masih bersih. Tak ada satupun nama yang terukir disana. Ini sangat melelahkan. Sampai kapan ia harus sperti ini? Menjadi monster yang ditakuti semua orang.
Malam hari, Syifa merebahkan tubuhnya di atas kasur. Melepas penat seharian ini. Memandang kosong ke langit-langit kamar tua itu. Tiba-tiba siluet wajah mendiang Neneknya terukir disana. Berliau tersenyum. Syifa mulai meneteskan air matanya, ia rindu. “Maafkan Syifa, Nek..” lirihnya. “Syifa belum jadi seperti Nenek. Syifa belum bisa jadi yang nenek harapkan. Syifa ga sekuat yang nenek pikir.
Itu benar. Sang Nenek adalah dokter ternama. Nama beliau dikenal banyak orang. Menyembuhkan dan menyelamatkan banyak jiwa menjadi keahlian pribadinya. Sedangkan Syifa? Hal seperti ini saja ia tak becus. Ini baru permulaan. Ini belum apa-apa jika dibandingkan dengan segala kisah neneknya. Hanya untuk mendapat sebuah gelar sarjana di belakang namanya saja ia tak mampu. Bagaimana tentang menyelamatkan nyawa orang? Tak perlu berpikiran terlalu jauh.
Kini wajahnya bengkak. Hidungnya semerah buah tomat. Kerudungnya basah terkena hujan air matanya sendiri. Walau sekuat tenaga ia sudah berusaha menyudahi tangisnya, namun tetap saja ia terisak. Ia kecewa. Kecewa dengan dirinya sendiri yang hanya mengatasi masalah seperti ini saja tak becus. Apa kata sang Nenek? Melihat cucu tersayangnya gagal mewujudkan impiannya. Mengapa ia tak bisa sehebat sang Nenek yang menjadi idolanya sendiri selama ini? Ia kagum pada mendiang neneknya dengan segala cerita hebat perjalanannya. Semua langkah telah ditapakinya hingga menjadi dokter hebat. Semua tantangan dilewatinya dengan sempurna. Semua berjalan mulus seolah tak ada hambatan. Kalaupun ada, beliau selalu bisa memecahkannya. Tak sepertinya, baru dare seperti ini saja rasanya ia seperti mau mati menyelesaikannya. Ia buntu. Merasa tak ada jalan, tak ada tujuan lagi. Tak ada bayangan akan hari esok. Sebentar, Syifa merasakan pusing di kepalanya. Mungkin karna ia terlalu lama menangis terisak. Yng benar saja, Sembilan puluh menit sudah ia berlarut dalam kesedihan. Ia lalu bangkit menuju kopernya untuk mencari obat sakit kepala. Syifa merogoh-rogoh kopernya. Kemana perginya benda itu? Seingatnya ia menyimpan obat-obatannya di tempat itu. Masih belum menemukannya, kemudian ia membuka koper bagian depannya. Nihil, ia tak menemukannya. Ia malah menemukan benda lain. Sebuah buku jurnal berwarna coklat yang mulai pudar. Benda itu sudah usang. Terlihat sekali sudah lama usia benda itu. Milik siapa benda kuno ini? Ini bukan milik Syifa. Namun mengapa ada di dalam koper miliknya?
Penasaran, ia membukanya. Ah, ternyata buku ini adalah buku jurnal milik mendiang neneknya. Terukir nama beliau di halaman pertama. Di halaman berikutnya, terselip selembar foto lama yang telang usang. Seorang wanita berusia sekisaran usia Syifa saat ini. Mengenakan kerudung ala-ala jaman dulu. Berdiri di depan sebuah rumah kuno sambil membawa setumpuk kertas dan tersenyum ceria.
Tunggu. Rumah yang ada di belakang beliau.. seperti tidak asing. Bangunan tua itu seperti familiar baginya. Tempat apa itu? Oh! Rumah ini! Rumah ini adalah yang kini ia tiduri. Rumah yang menampungnya selama ada di tempat ini. Ah, apa iya? Bisa jadi itu bukan bangunan yang sama. Hanya bentuk dan modelnya yang mirip.
Tapi tidak. Di pojok bawah fotoitu tertulis disana “3T, 16 Nopember 1982” itu tempat dimana ia berada saat ini. Tapi, dari sekian banyak kisah Sang Nenek yang didongengkan kepadanya, tak pernah beliau bercerita pernah datang ke tempat ini. Apa yang dilakukan beliau di tempat terpencil ini? Penasaran, Syifa membaca catatan harian Sang Nenek.
Selesai menghabiskan bacaan itu, Syifa percaya tak percaya tentang apa yang tertulis di lembaran kertas itu. Ia mencoba mencerna segalanya. Mendiang neneknya datang ketempat ini dengan tujuan yang sama seperti yang dilakukan cucunya saat ini. Satu hal besar lagi yang amat sangat membuatnya terkejut : Neneknya sendiri adalah penyebab mengapa saat ini ia dijauhi oleh orang-orang disana. Salah satu penyebab yang membuat mereka melihat petugas medis seperti melihat monster. Salah satu penyebab yang membuat mereka tidak percaya kepada orang-orang seperti Syifa dan Neneknya.
Jauh bertahun-tahun lalu sebelum hari ini, tepat saat Sang Nenek datang ke tempat ini, seorang Ibu hendak melahirkan bayinya. Orang yang biasa dipercaya untuk membantu persalinan sedang bepergian. Tak ada yang bisa membantu, beberapa orang datang kepada Sang Nenek dan timnya meminta bantuan. Mereka pun mengiyakan.
Hal yang sama sekali tak diinginkan terjadi. Bayi yang baru keluar ke dunia ini tak terdapat hembusan napas darinya. Bayi itu lahir tak bernyawa. Tak hanya sampai disitu, beberapa menit setelah lahirnya bayi tersebut, Sang Ibu menghembuskan napas terakhirnya. Ia kehabisan darah dan fasilitas disana tak memadai.
Semua orang kecewa. Bahkan Sang Nenek sekalipun. Namun warga setempat tak tahu dan tak mau tahu tentang apa yang terjadi. Yang mereka tahu hanyalah Sang Ibu meninggal saat melahirkan bayinya. Mereka menyimpulkan itu semua karna para dokter muda ini yang tidak becus. Mereka tidak mau mendengarkan penjelasan dari Sang Nenek dan teman-temannya. Mereka tidak percaya dengan hal medis. Apa maksud semua ini? Apa ini kebetulan? Apa yang direncanakan oleh Tuhan?
“Syifa!” Seru Dina sembari membuka pintu, membuyarkan lamunannya. “Ada apa, Din?” “Cepat bersiap!” “Hah? Memang mau kemana?” “Ada seorang Ibu yang akan melahirkan bayinya. Mereka butuh kita! Orang yang biasa membantu persalinan disini tidak ada di rumahnya.” Ucap Dina sambil bersiap-siap dengan terburu-buru.
Deg! Seperti déjà vu, hal ini mengingatkan dengan cerita Sang Nenek yang baru dibacanya. Lupakan sejenak tentang itu, Syifa harus bergegas pergi. Semua ada di tangan Syifa. Apakah ia akan berhasil akan kesempatan ini? Atau ia akan gagal sama seperti yang terjadi pada Neneknya dahulu? Ia berharap besar keberhasilan atas hal ini.
Ini sudah pukul satu malam. Syifa berserta timnya menyusuri jalanan malam yang sepi. Di bawah sinar rembulan, seorang Ibu berjuang setengah mati mengantar anaknya ke dunia. Dibantu oleh Syifa and the team. Keadaan begitu tegang. Doa terbaik terpanjat selalu dari hati Syifa. Ia mencurahkan usaha terbaiknya atas kesempatan emas ini.
Usaha tak mengkhianati hasil. Atas segala usaha dan doa Syifa dan timnya, lahir bayi perempuan cantik pada malam itu. Bayi itu sangat lucu dan yang terpenting ia terlahir sehat, tak terdapat cacat sedikitpun. Sang ibu pun tetap kuat hingga saat ini. Senyum bahagia terukir pada setiap orang yang ada disana. Ucapan syukur tak henti-hentinya dilangitkan. Gol besar untuk Syifa dan timnya.
Berkat malam itu, Syifa pergi dari 3T dengan sayonara baik dari penduduk setempat. Anggapan buruk atas dunia medis perlahan terhapuskan. Kekecewaan mereka terhadap Sang Nenek pun mulai tersamarkan. Syifa mendapat gelar sarjana dengan nilai sempurna. Mimpi Sang Nenek pada cucunya selangkah terwujud. “Aku ingin menjadi seperti nenek”
Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir.
Cerpen Karangan: Salwa Nailatul Izzah @salwa_nayz