Belum selesai buku “Tentang Kamu” Tere Liye kubaca, aku sudah terinspirasi dengan Sri Ningsih, dia salah satu tokoh yang membuatku terinspirasi dengannya. Dia gadis kecil, hitam, dan gempal. Saat kubaca aku langsung terinspirasi dan menjadikan dia salah satu inspirasiku, sayangnya Sri Ningsih di dalam novel dia sudah meninggal, tapi carita ceritanya semasa muda membuatku terinspirasi.
Sekitar tahun 1940-an Sri Ningsih lahir di Pulau Bugin. Saat Sri Ningsih lahir ibunya tidak selamat. Hari berganti bulan, bulan menyulam tahun. Sri Ningsih tumbuh dan berusia delapan tahun, sama seperti anak lain, Sri Ningsih memiliki warna kulitnya gelap, pendek, gempal, dan rambutnya panjang sepunggung.
Sri Ningsih dikirim ayahnya bersekolah dia belajar berbahasa asing, ayah Sri perlahan bisa melupakan Ibu Sri, Ayah Sri bernama Nugroho. Nugroho perlahan bisa melupakan ibu Sri dan Nugroho kembali jatuh cinta, dia jatuh cinta dangan gadis di Pulau Bugin. Tak perlu lama mereka saling jatuh cinta, dan keluarga mereka setuju dengan pernikahan mereka.
Sri Ningsih paling menyukai pelajaran berbahasa, sepulang dari sekolah, Nugroho bertanya kepada Sri Ningsih “Bapak lihat sepatumu semakin robek Sri?” Sri mengangguk. Pada zaman itu hanya Sri yang menggunakan sepatu ke sekolah. Nugroho berjanji akan memberikan sepatu pada saat Sri Ningsih berusia sembilan tahun.
Tak terasa ibu tiri Sri Ningsih tak lama lagi melahirkan adik untuk Sri Ningsih, Sri Ningsih sangat menunggu kehadiran adiknya. Nugroho sangat menjaga Nusi saat Nusi mengandung, Nusi ibu tiri Sri Ningsih, meski pun Sri bukan anak kandungnya rasa sayang Nusi terhadap Sri seperti anak kandungnya sendiri. Nusi dengan selamat melahirkan Tilamuta, Tilamuta adalah bayi laki lagi yang menggemaskan.
Pagi hari setelah 14 hari kelahiran Tilamuta, Nugroho berangkat melaut untuk mencari uang dan membelikan sepatu untuk Sri Ningsih, sebenarnya Nusi sudah membujuk Nugroho agar tidak pergi melaut dikarenakan ombak tinggi, tapi Nugroho bersikeras untuk melaut karena semiggu lagi ulang tahun Sri Ningsih. Normalnya perjalanan melaut Nugroho empat hari saja, tapi sudah sembilan hari Sri Ningsih menunggu, laut kosong tidak ada kapal bapaknya yang menepi.
Pada hari kesepuluh kepala kampung memberitahukannya bahwa Nugroho telah meninggal. Sri Ningsih nangis sejadi jadinya, yang aku suka dari kepribadian Sri Ningsih adalah dia berusaha untuk tidak menangis didepan orang lain.
Semenjak meninggalnya Nugroho, sikap Nusi terhadap Sri berubah. Nusi mendadak amat benci terhadap anak tirinya. Kondisi Sri semakin memburuk, Nusi terus menerus menyuruh Sri mencari duit dengan menjual teripang dan bulu babi, terkadang Sri mendapatkan hasil yang sedikit, karena Sri mendapatkan hasil yang sedikit Nusi pun marah pada Sri, sampai sampai Sri dicap sebagai anak terkutuk. Sri berusaha untuk tidak sedih karena Sri berjanji untuk menjaga Nusi dan Tilamuta.
Karena Sri mendapat hasil uang yang sedikit, dia dihukum Nusi untuk tidur diluar rumah dengan keadaan dinginnya malam dan hujan yang deras, bangun dipagi hari wajah Sri pucat, tetangga Sri yang menyadari itu berusaha untuk bilang kepada Nusi, tpi Nusi tidak peduli. Selama Sri sakit Sri diurus tetangganya.
Suatu hari Sri ingin melepas rindu dengan ibunya, dia pun ke makam ibunya di sisi timur Pulau Bugin. Sementara itu di rumah Sri, Tatimula bermain sendiri tanpa diawasi Nusi, tak sengaja menyenggol lampu teplok yang dia nyalakan. Minyak menggenangi lantai api menyambar cepat. Tilamuta terkejut, dia bergegas mengambil ember dan menyiram api, karena takut ketauan Tilamuta pergi ke kamar Ibunya. Tilamuta tidak tau kalau api membesar dan semakin menyebar. Dari sisi timur Pulau Bugin, Sri melihat asap hitam yang mengebul dari Pulau Bugin. Sri cepat cepat mendayung sampan dan kembali ke Pulau Bugin. “Apa yang terbakar?” Sri bertanya kebingungan, seorang menjawab “rumah milik Nugroho.” Tubuh Sri membeku seketika. “Dimana Tilamuta?” Sri bertanya tanya. Tidak ada yang menjawab Sri.
“DIMANA TILAMUTA DAN IBUKU!!!” Sri berteriak. “Sepertinya mereka didalam Sri.” Kata salah satu pemuda yang membantu menyirami rumah itu. Gadis usia 14 tahun, tanpa pikir dua kali dia ingin menerobos api itu. “Apa yang kamu ingin lakukan Sri?” Kata salah satu pemuda. “Lepaskan aku! Aku harus naik.” Kata Sri. “Tidak ada yang boleh kesana Sri, api sudah terlalu besar.” Kata salah satu warga. “Lepaskan!! AKU HARUS SEGERA KESANA.” Sri membentak.
Sri berhasil berlari kedalam dan berusaha menyelamatkan adiknya dan ibu tirinya. Gerakan Sri lincah melewati nyalanya api, sesekali melewati kayu yang terjatuh. Sri berusaha mendobrak pintu, setelah sekian percobaan dia berhasil. Asap hitam menyambut Sri. “IBUU, TILAMUTAAAA!!” Sri berteriak memanggil.
Tilamuta sedang meringkuk ketakutan. Api sudah membakar dinding yang menghadap ke luar, menyisakan satu pojok yang aman. Sementara Nusi terbaring di dipan, kakinya tertimpa potongan papan. Dia tidak bisa ke mana-mana.
Sri berlarian mengambil adiknya.
“Kamu tidak apa-apa.” Tilamuta meringis.
“Naik. Tilam Berpegangan erat.” Sri menggendong adiknya di punggung. Kemudian mendekati dipan, berusaha menarik Ibunya”
“Pergilah, Sri” Nusi berkata lemah. “Ikut aku, Ibu! Kita harus segera keluar.” “Ibu tidak bisa ke mana-mana Sri.” Nusi menggeleng menunjuk pahanya yang tertimpa potongan papan, dipan juga mulai terbakar.
“Selamatkan adikmu. Sri” Suara Nusi bergetar Sri menatap wajah Ibu tirinya.
Setelah sekian lama, sore itu, Nusi untuk pertama kalinya bisa menatap secara utuh wajah Sri Ningsih Menyaksikan dengan akurat ekspresi wajah Sri yang selama ini lebih banyak menunduk. Lihatlah, tidak ada kebencian di mata Sri, tidak ada dendam. “Pergilah. Sri. Bawa adikmu, Aku hanya menghambat kalian. Aku sudah tidak bisa ke mana-mana lagi.”
“Maafkan Ibu yang selama ini memperlakukanmu amat kasar, Sri. Sungguh maafkan Ibu. Bertahun-tahun Ibu benci sekali dengan takdir perginya Bapakmu, hingga Ibu abai, ada cara terbaik sebaliknya untuk menerima takdir kejam itu dengan memeluknya. Persis seperti yang kamu lakukan.” Sri berusaha membongkar papan di atas tubuh Ibu tirinya.
“Maafkan Ibumu, Nak… Ibu sungguh keliru… Kita seharusnya lebih banyak bicara satu sama lain, agar bisa melewati masa-masa sulit bersama. Seperti seorang Ibu yang bicara dengan anak gadisnya”
“Pergilah, Sri. Selamatkan adikmu, jaga dia.” Sia-sia, papan itu terlalu besar, Sri tidak berhasil menggerakkannya. Tilamuta yang berada di punggung Sri mencicit ketakutan.
Sri menoleh, api juga telah membakar pintu kamar. Dia tidak punya waktu lagi, sekarang atau tidak sama sekali. Sebelum benar-benar amat terlambat, dia harus memilih, tetap ngotot membebaskan Ibu tirinya tapi itu berisiko mereka bertiga tidak selamat, atau membawa Tilamuta keluar rumah secepat mungkin. Nusi tak berdaya, dan menyuruh Sri pergi dan menyelamatkan Tilamuta.
Belum selesai buku ini kubaca, aku terinspirasi dengan kisah Sri. Bagaimana dengan kalian? Aku suka sekali dengan sikap Sri yang tidak dendam, sungguh sungguh menepati janjinya, dan mau menolong meskipun sudah disakiti juga dia tidak suka bersedih didepan orang lain. Aku harap kalian bisa meniru sikap Sri ya!
Cerpen Karangan: Nehemia Aku seseorang yang sangat terinspirasi dengan Sri Ningsih, salah satu tokoh di Buku Tere Liye. Semoga kalian juga bisa terinspirasi ya!!!