Sore itu aku telah menghabiskan seember rumput, hingga akhirnya mataku terasa berat saat malam menjelang. Sebelum aku tidur, mataku masih memandang gelapnya keadaan sekitar. Aku melihat ibuku tengah berbincang dengan teman-temannya. Badan ibu tampak lebih kecil dari mereka.
Malam semakin pekat warna hitamnya, benar-benar menggodaku untuk istirahat lebih cepat. Ku lihat mata ibu memandang ke arahku, dan mengisyaratkan agar aku segera tidur. Aku membalasnya dengan anggukan. “Selamat malam ibu..”
“Naakk… ayo cepat larinya yang kencang!” teriak Ibu yang tengah berlari kencang, melintasi rumput-rumput tebal.
Siang itu semakin terik rasanya, keringat membanjiri tubuhku. Nafasku sudah tak beraturan. Kakiku yang besar mencoba terus melangkah lebih lebar dari biasanya. Sesekali aku mengeluh dalam hati, “Tuhan! Kenapa mereka mengejar kami.. Tuhan! Aku takut..”
Keluhanku hanya ku utarakan dalam hati. Sebab, ibu pernah bilang kalau mengeluh itu tak ada gunanya. Karena, yang lebih berguna saat terdesak seperti siang ini adalah berlari!
“Ibu… tunggu..” teriakku.
Aku melihat saudara-saudaraku juga ikut berlari, sekencang mungkin. Hingga membuat tanah itu bergetar, karena badan kami yang besar. Aku benar-benar kelelahan, hampir saja putus asa lalu berhenti. Tapi, aku takut tertangkap oleh jaring besar ataupun peluru yang diarahkan padaku oleh mereka. Mereka yang selalu saja mengejar untuk mengambil gading kami.
“Ibu… ibu, ibu dimanaa..?”
Aku mulai panik. Aku tak mendapati ibuku. Ia menghilang dari pandanganku. Apa karena kakiku yang tak sanggup mengejarnya, atau mereka terlalu banyak yang ikut berlari.
*tar!
Aku tersentak, saat mendengar suara letusan yang menggema di langit tengah hutan. Aku semakin panik, karena arah suara itu persis di saat terakhir aku masih melihat ibuku. Aku masih bersembunyi di balik semak yang lebat, walau tetap saja sebagian badanku masih tampak. Di sini, aku hanya bertiga dengan saudaraku. Wajah kami pucat pasi.
Suara orang-orang itu perlahan menghilang, aku mulai mengatur nafas lalu kami bertiga berjalan menuju kerumunan lain. Hutan tampak sunyi, berbeda dari 20 menit yang lalu saat kami melakukan adegan kejar-kejaran, mempertahankan hidup.
Sama seperti yang lain, setelah keluar dari tempat persembunyian kami mencari ayah, ibu ataupun saudara. Aku, hanya aku yang tidak dapat menemukan ibuku. Aku berlari cepat, menuju tempat suara letusan. Dan … “Ibuuuu…” aku berteriak, air mataku deras keluar membasahi pipiku hingga belalai.
“Heii… banguunn!” suara yang ku kenal mendadak membuatku terkejut.
“Hah, Ibu?” tanyaku tak percaya.
“Malam-malam kok teriak-teriak? Ibu ada di sini nak, disampingmu.. Minumlah ini dulu” pinta Ibu sambil menyodorkan air yang ada di dalam tempurung kelapa.
“Aku mimpi?” tanyaku dalam hati.
“Kenapa kamu teriak nak?” tanya Ibuku.
“Ah tak apa-apa bu..” Aku tak berani mengatakan soal mimpiku, karena itu terlalu buruk bagiku. Aku bangkit dari tempat tidurku, lalu merebahkan diri lagi persis di samping ibuku. Aku meraih belalainya, lalu menyatukannya dengan belalaiku.
“Tuhan, jangan biarkan ibuku pergi terlebih dahulu, sebelum aku bisa mencari makan sendiri..” gumamku dalam hati, lalu kembali memejamkan mata.
GeeR Palangkaraya, Juni 2013.
Cerpen Karangan: Gilang Rahmawati (GeeR) Facebook: Gilang Aghil Rahmawati GeeR. Itu saja.. ^^