Dalam sebuah gua dalam sungai di negeri yang bernama papua hiduplah seekor ikan arwana yang baru saja lahir. Seperti kebiasaan para ikan di sana, mereka harus keluar gua untuk mencari serangga yang hidup di darat atau dunia atas.
Ikan yang baru saja melihat dunia atas yang besar sangat takjub dengan apa yang ia temui. Ikan-ikan lain yang sangat unik, pepohonan di setiap sisi sungai, dan serangga yang ternyata sangat lezat. Namun yang paling membuatnya aneh dan takjub adalah seekor burung yang mencari cacing di lumpur-lumpur sungai tersebut.
Dengan hati-hati ia mendekati sang ikan kecil mendekati burung yang sedang asik mencari cacing. Dengan takut ia menyapa burung tersebut.
“hai burung, ibuku bilang kalian adalah mahluk yang mengesankan”.
Burung itu pun berkata, “kami bisa terbang wahai ikan kecil. Apa kau pernah melihat samudra di mana banyak ikan berenang bebas?”.
Sambil berteriak dengan bangganya burung itu berkata “aku telah menjelajahi semua langit di alam ini”.
Kemudian burung itu terbang ke langit yang tinggi hingga tidak terlihat lagi. Dan kemudian ikan kecil itu pun kembali ke guanya karena hari sudah malam sambil memikirkan apa yang telah dikatakan sang burung.
Di pagi yang cerah ia, ikan kecil itu, kembali ke sungai besar itu untuk mencari makan namun tidak ia dapati burung yang kemarin ia temui. Dalam pikirannya ia membayangkan bahwa burung tersebut sedang terbang gembira menyusuri lorong-lorong langit dan menembus awan di atas tujuh samudera. Dan ikan kecil kita berharap suatu hari nanti ia bisa berenang di samudera yang luas bersama ikan–ikan lain dari berbagai sisi dunia.
Ikan kecil kita yang selalu saja mengingat dan membayangkan apa yang dikatakan sang burung yang telah lama pergi pada suatu hari ketika ia sedang mencari makan, tanpa ia sadari ia telah terjebak dalam jaring seorang nelayan dan ikan kecil itu dimasukkan ke dalam kantong plastik kecil yang sangat sempit baginya dan ikan-ikan lain yang juga ikut tertangkap.
Entah sudah berapa tempat yang sudah ia lewati dan entah sudah berapa jauh ia dari kehidupannya di sungai. Dan Nampak sekali ikan kecil itu masih memikirkan impiannya akan samudera luas dan indahnya seekor burung dan ia kini sadar bahwa ia telah kehilangan kebebasannya dan ia tersiksa akan apa yang ia impikan.
Kini ikan arwana kecil itu telah hidup dalam sebuah akuarium besar dan kini ia menjadi peliharaan seorang anak kecil. Berbeda dengan kehidupannya di sungai dulu, ia tidak perlu mengkuatirkan makanan untuk perutnya karena anak kecil yang memeliharanya sangat rajin memberi makanan kepada ikan tersebut.
Pada suatu sore yang agak mendung, terjadilah peristiwa yang takkan dilupakan ikan kecil kita itu. Ikan kecil itu terlepas dan masuk ke dalam saluran air ketika sang anak sedang menguras akuarium tempat ikan tersebut tinggal. Dan ikan kitu kini sedang mengarungi gelapnya selokan yang kotor dan gelap menuju cahaya. Apakah ini sebuah harapan untuk sebuah kebebasan dan impian?
Ternyata hari sudah gelap. Dengan hujan yang turun deras dan sampah yang padat ikan kecil itu berjuang mencari nafas ke permukaan. Sebuah perjuangan yang sangat berat bagi ikan kecil kita itu. Tak terbayangkan bagaimana tubuh kecil itu bisa menahan sakitnya terhimpit tumpukan sampah yang besarnya melebihi besar badannya. Dan kini ya kelelahan dan tertidur di dunia antah berantah hingga pagi menjelang.
Malam yang gelap pun kini telah berganti. Namun tubuh kecil ikan itu sudah tidak bisa lagi menikmati indahnya matahari karena ia terlalu lelah untuk itu. Dari kejauhan dia melihat seekor burung yang sedang hinggap di rerumputan pinggir sungai. Dengan tenaga yang tersisa ia mendekati burung tersebut dan ia tidak menyangka bahwa burung tersebut adalah burung yang ia temui di tempat kelahirannya.
Dengan terpernjat kaget ia menyapa burung itu
“wahai burung, apakah kau masih mengingat aku? Di manakah aku ini wahai burung?”
Dengan agak ragu burung itu pun membuka mulutnya
“oh wahai ikan kecil, aku mengenalmu, kenapa kau berada di sini?”
Ikan itu pun kembali mengulangi perkataanya dan menayakan kenapa sungai ini begitu kotor.
“ini sungai ciliwung wahai ikan. Begitu sial nasibmu hingga berada di sini?”. Dan sang burung pun terdiam agak lama. Lama ia terdiam dan berfikir. Lalu nampaklah keharuan dari mata burung yang telah lama mengenal langit tuhan ini. sambil menatapi ikan kecil yang mulai terlihat lemah ia berkata.
“sungai ini begitu kotor untukmu wahai ikan. Cepat atau lambat kau akan mati”
Ikan itu pun membantak sang burung yang seakan suaranya membelah langit
“bagaimana aku bisa mati sedangkan hidup sepertimu adalah angan-anganku dan samudera luas telah menjadi dambaanku?”.
Burung itu kini terdiam dan tak bisa menjawab. Dari matanya keluar air mata yang seakan meleleh dan mengalir bagai air sungai. Dengan terisak-isak ia mengadah ke langit. Seakan kini ia berbicara dengan sang penguasa alam.
“mengapa setiap mahluk ingin hidup seperti mahluk yang lain?” kemudian ia menundukkan kepalanya yang seakan telah berat dengan pikiran kekecewaan.
“samudra luas adalah bukan duniamu, di sana tidak ada serangga untukmu dan kau tidak bisa hidup walau sehari di air asin wahai anakku”.
“aku telah membuang impianku untuk bisa berenang seperti kalian wahai ikan. Aku telah mengambil hikmah”.
Kemudian ikan kecil itu pun terlihat melemah dalam sungai yang sangat hitam itu. Secara perlahan ia menutup mata untuk terakhir kalinya.
“tidurlah dengan tenang wahai ikan. Kau telah mendapat pelajaran besar, tidurlah dan impikan sungai tempat kelahiranmu”
Dan tinggilah terbang burung itu. Dari paruhnya yang diterpa angin ia berbisik
“tak seharusnya aku berikan impian semu bagi ikan itu”
selesai
Cerpen Karangan: Hidayat Facebook: Riyan Rangga Hidayat Nasution