“Ku mendengar tangisan bayi mungilku yang semalam menetas, kurasa dia sedang kedinginan dalam dekapan lembut Ibunya.” Kataku dalam hati sambil merentangkan sayap putih bercorak kuning oranyeku lebar-lebar mencari makanan untuk anak dan betinaku.
Tiga puluh menit sudah aku meninggalkan betinaku, anakku dan calon anak-anakku yang masih di dalam cangkang telur di sarang. Ketika aku kembali ke sarangku, aku terkejut karena satu telur telah menetas lagi, ya tentu saja anakku ada dua sekarang. Aku bahagia melihat kedua anakku yang sudah berhasil melihat dunia fana yang penuh dengan kemegahan, kekayaan, kamuflase dan kebebasan ini. Aku juga senantiasa tersenyum melihat betinaku yang dengan telaten dan manisnya memberi makan anak-anakku secara bergantian.
Esok harinya ketika aku baru saja terbangun dari tidurku hendak mencari makanan untuk anak-anakku dan betinaku, aku terkejut karena telur calon anakku sudah menetas semua, ya tentu saja kini anakku ada lima, serasa melayang di alam surga dengan dikelilingi banyak peri kecil nan imut ketika melihat mereka menganga membuka mulutnya ingin minta makan. Dan tentu saja, aku akan makin giat mencari makan untuk mereka anak-anakku.
Satu minggu kemudian, anak-anakku membangunkanku dengan suara mungilnya meminta makan, tentu saja dengan rasa yang semangat aku langsung merentangkan sayapku lebar-lebar terbang ke alam bebas kesana kemari meninggalkan sarang masuk ke dalam hutan mencari makan untuk mereka. Namun naas nasibku pada hari ini, ranting yang ku hinggapi ternyata melekat erat tak mau lepas dari bantalan kakiku, lembek namun rekat sekali ya apa lagi kalau bukan lem jebakan dari para pemburu burung.
“Wah, indah nian burung ini. Tak salah aku taruh jebakan ini di sini” Kata salah satu pemburu burung itu seraya memegang badanku dan memasukanku ke dalam kandang “Hey manusia, tidakkah kau tahu, aku sedang mencari makan untuk anak dan betinaku.” Kataku teriak pada manusia itu, namun tak ada satu pun dari mereka yang mendengar celotehanku, ya tentu saja mereka tak mendengarku, mereka tak seperti Nabi Sulaiman yang mengerti bahasa binatang. “Ahh, sial anak-anaku dan betinaku belum makan, betinaku pasti bingung dan kecewa denganku.” Gerutuku dalam hati, namun apalah daya, hanya bisa ku terima nasib burukku ini.
Tak jauh, dari tempatku terjebak tadi ada seekor burung betina yang terjebak pula, lalu dimasukkan ke dalam kandang bersamaku “Hei, kenapa kau tak memberontak?” Tanyaku pada burung betina itu “Percuma saja menurutku, mereka tak akan dengar. Oh Tuhan lindungi buah hatiku, kasihani mereka bapaknya telah hilang satu minggu lalu.” Katanya padaku sekaligus berdoa pada Tuhan yang akhirnya mengetuk pintu hatiku untuk berdoa semoga betinaku tidak terjebak sepertiku juga, agar bisa merawat dan membimbing anak-anakku.
Sampailah aku di rumah pemburu burung itu, aku melihat banyak berbagai jenis burung disini. Mereka bersiul seolah ada pembeli datang hendak menawar salah satu dari mereka.
“Hai Bung, janganlah kau bermuram durja selalu. Dua hari sudah kau disini adaptasikan dirimu Bung. Kalau tidak kau akan depresi lalu mati kaku macam burung Beo itu” Kata salah satu burung berwarna coklat pirang kehitaman yang tampak cukup lama berada di ruangan bagai neraka ini seraya menunjuk arah burung beo yang telah mati tadi pagi. “Bagaimana tidak aku bermuram durja, aku memikirkan betinaku dan juga anak-anakku yang baru menetas. Pasti betinaku kecewa padaku” Kataku menjelaskan padanya “Sama lah, macam aku, aku pun meninggalkan betinaku dan juga anak-anakku yang baru menetas.” Kata burung berwarna hijau tosca kemerahan yang tertangkap bersamaku kemarin. Ya, mungkin mulai hari ini, menit ini dan detik ini pula aku harus menerima kenyataan ini, aku harus bangkit dan kuat meski pahit namun harus aku terima adanya. Berhari-hari sudah aku disini bersamaan dengan kawan-kawan seperjuanganku, memang disini aku mendapatkan makanan yang layak dan enak, “Namun bagaimana dengan betina dan anak-anakku? Apakah mereka sudah makan?” Gerutuku lagi dalam hati ketika ingat mereka.
Berhari-hari aku disini, aku merasa bosan dan muak, sering aku mendengar kawan-kawan seperjuanganku bersiul-siul ketika orang asing datang menawar salah satu dari kita. “Hey Bung bersiulah dengan baik, agar kau bisa laku dan keluar dari sini. Bukankah kau sudah sangat muak disini? Kau tak mau mati disini kan?” Kata salah satu teman seperjuanganku “Untuk apa kita harus bersiul, kalaupun laku kita juga tetap dikerangkeng.” Kataku dengan lesu padanya.
Tiga minggu berlalu, aku bersiul dengan merdunya, sengaja memang aku mencoba saran dari kawan-kawanku. Sukses… aku terbeli dengan harga yang tinggi, tentu saja burung setampan diriku ya harus terjual dengan harga tinggi. Paling tidak aku keluar dari kandang neraka ini, syukur-syukur jika secara perlahan waktu aku bisa bebas dengan mudahnya. Oh sungguh majikanku ini terlihat macam orang yang teledor, mantap sungguh, tak salah duga lagi aku pada majikanku ini, lihat saja, pintu kandangku dibiarkan terbuka setelah dia memberiku makan. Tapi aku masih belum mau kabur, aku masih berpura-pura untuk mencari muka pada majikanku yang konyol ini. Agar dia percaya bahwa aku adalah peliharaan yang baik. “Oh Tuhan, lupa tidak aku tutup kandang ini. Untung saja burung ini tak kabur, oh sungguh burung pandai, tau saja kalau aku ini sudah sering pikun.” Kata majikanku seraya menutup pintu kandangku
Oke cukup, dua minggu sudah aku hidup di dalam kandang megah ini. Aku sangat merindukan betinaku yang cantik dan juga anak-anakku yang mungil. Ahh, mungkin anak-anakku sudah menjadi burung yang hebat dan tegar seperti induknya. Ahh, kapan kandang megah terkutuk ini dibuka, biasanya jam segini sudah dibuka lebar-lebar. Mantap, tak perlu waktu lama, hanya beberapa detik dari gerutuanku tadi, majikanku membuka pintu kandang ini, lalu seperti biasa, majikanku tak menutup kembali pintu kandang ini karena majikanku menerima telfon dari entah siapa itu. Tanpa fikir panjang dan waktu lama, aku segera saja terbang meninggalkan kandang megah nan terkutuk itu untuk kembali ke sarangku di alam bebas terbuka.
Dari kejauhan aku melihat sosok burung betina yang sangat mirip dengan betinaku terbang bersama empat burung kecil, tampak betina itu mengajari anak burung itu terbang bebas di alam bebas. Beberapa meter kemudian, ya tentu saja dia adalah betinaku yang cantik jelita, “Namun mengapa anak-anakku hanya empat?” Tanyaku dalam hati “Ahh, mungkin yang satu sedang di sarang, atau di ranting pohon sedang malas latihan.” Jawabku pula dalam hati. Aku biarkan mereka terbang dengan bebas kesana kemari, aku akan kembali ke sarang membuat kejutan untuk mereka. Hampir dua jam sudah aku menunggu mereka di sarang, dekorasi baru dan makanan sudah aku siapkan untuk menyambut mereka semua.
Tak lama dari keluhku menanti mereka, akhirnya mereka kembali juga ke sarang, ku sambut mereka dengan senyuman tampanku yang pasti sudah cukup lama mereka rindukan. “Kau? Mau apa kau disini ha?” Kata betinaku dengan nada tinggi dan tampak marah padaku. “Aku kembali sayang, aku kembali untukmu dan anak-anak kita. Tunggu, anak-anak kita kenapa hanya ada empat?” Kataku pada betinaku yang bola matanya tampak memerah “Apa? Segampang itu kau bercakap di hadapanku dan anak-anakku? Kemana saja kau selama ini? Aku mencari nafkah meninggalkan mereka di dalam sarang tanpa ada pelindungnya, aku pula yang melindungi mereka dari serangan predator, dan bahkan kau tak tahukan kalau anak kita hilang satu dibawa oleh predator.” Kata betinaku benar-benar marah padaku “Apa? Dia dimakan oleh predator?” Kataku terkejut dan mulai menyesal “Kenapa kau kaget? Makannya, jika kau tak sanggup jadi bapak, harusnya dulu jangan kau minta diriku pada orangtuaku. Kalau sudah begini kau seolah menyesal, ahh bapak macam apa kau!” Kata betinaku makin marah dan mencaciku “Tenanglah sayang, dengarkan aku, aku terjebak ketika mencari makan saat itu, aku di bawa ke kota lalu di jual dan aku tak bisa kabur. Lalu…” Kataku menjelaskan dengan nada lesuku “Ahh, simpan saja nada lesumu itu, jangan kau labuhi aku. Pergi saja sana kau dengan betina barumu itu. kami tak membutuhkanmu, kau adalah jantan yang tak bertanggung jawab pada anak-anak dan betinamu.” Kata Betinaku makin marah padaku “Betina yang mana? Aku tak memiliki betina lain di luar sana kecuali kau.” Kataku turut dengan nada tinggi karena kesal “Mana mungkin, sudah tentu kau memiliki betina lain yang mungkin jauh lebih cantik dan menawan dari pada aku.” Kata betinaku mulai menurunkan nadanya namun tetap pedas, berulang kali aku menerangkan semuanya pada betinaku, namun kita tak kunjung selesai adu pembicaraan, ya wajar saja menurutku jika dia memang kecewa dan menuduh yang tidak-tidak padaku.
Aku merasa bersalah pada mereka semua, namun apalah daya semua telah terjadi begitu saja. Kini betinaku pun mengusirku seolah tanpa ada rasa berat dalam hatinya “Ayah.” Kata salah satu anakku dengan nada rendah ketika aku hendak terbang pergi meninggalkan mereka semua, ketika aku hendak menghampirinya, betinaku mendorongku dan tetap menyuruhku untuk pergi dari kehidupan mereka.
Dengan berat hati aku pergi meninggalkan mereka, aku tak pergi jauh dari mereka, hanya aku membuat sarang kecil seukuranku di pohon lain, agar aku masih bisa melindungi dan memantau mereka dari sini. Ku tempuh hari-hariku dengan lembaran baru tanpa betinaku dan anak-anakku di sekelilingku.
TAMAT
Cerpen Karangan: Bella Indik Nata Blog: www.beblueberry.blogspot.com Facebook: Bella Indik Nata Nama: Bella Indik Nata TTL: Tulung AGung, 11 Mei 1996 Sekolah: SMK Farmasi Jember Hobby: Membaca, menulis, volly ball