Pagi itu udara sangat segar. Matahari sudah agak tinggi. Embun di atas dedaunan sudah mulai mengering. Seekor kupu-kupu terbang kesana-kemari. Ia berusaha mencari bunga-bunga yang mekar. Maklum, sudah beberapa hari ia tidak mendapatkan bunga yang segar. Setelah agak lama berputar-putar, ia melihat sebuah bunga yang sangat indah. Ia pun bergegas menghampiri bunga itu dengan rasa suka cita. “Oh… indahnya bunga ini,” kata kupu-kupu dengan girang. “Baru kali pertama aku melihat bunga seperti ini. Baunya haruuum. Warnanya menarik. Rasanya pun pasti sangat manis. Ow… luar biasa,” serunya lagi. Tanpa berpikir, kupu-kupu menghisap bunga itu dengan segera. Ia sangat menikmatinya. Sambil mengepak-kepakkan sayapnya, ia menghisap sari bunga itu dengan puasnya. Ia belum pernah merasakan sari sesegar bunga itu. Karena asyiknya, ia terlena dengan keadaan sekelilingnya. Seekor ular merayap mendekatinya. Ular tersebut adalah ular hijau yang sombong. Ular itu menganggap dirinya paling kuat di antara hewan-hewan lain yang hidup di daerah itu. Maklum di daerah itu, hanya hidup hewan kecil-kecil. Setiap bertemu dengan hewan yang lain, ular itu berusaha membunuhnya. “Ini dia mangsaku,” desahnya. Sambil mendesis kecil, ular itu merayap pelan mendekati kupu-kupu. Lidahnya dijulurkan, siap memangsa kupu-kupu itu. Ketika sudah dekat, ia mematukkan kepalanya ke arah kupu-kupu. “Krek” sebuah ranting pun patah. Ternyata, kepala ular itu membentur sebuah ranting kering. Kupu-kupu terkejut. Ia terbang dengan hati berdebar-debar. “Selamaaat.., selamaaat…,” guman kupu-kupu itu. Di sisi lain, ular itu sangat marah. Ia kecewa karena tidak dapat membunuh mangsa yang diincarnya. “Sial! Awas kau!” kata ular itu dengan geram. Kupu-kupu mendengar ucapan ular hijau. Karena merasa penasaran, ia berusaha mendekat. Hinggap di atas daun pada sebuah pohon di dekat bunga itu. “He, Ular! Mengapa kau ingin membunuhku. Apa salahku?” seru kupu-kupu lantang. “Apa salahmu? Ha…ha…ha…,” sahut ular hijau. “Ya, apa salahku?” kata kupu-kupu. “Salahmu?… Salahmu adalah kamu ditakdirkan sebagai binatang kecil. Binatang kecil sepertimu harus musnah dari daerah ini,” jawab ular hijau. “Mengapa?” tanya kupu-kupu. “Karena akulah yang paling berkuasa di daerah ini. Aku tidak ingin diganggu oleh siapa pun. Termasuk kamu. Tahu?” ucap ular hijau dengan sombongnya. “Tetapi, aku tak pernah mengganggumu,” sanggah kupu-kupu. “Tapi… aku merasa terganggu dengan kehadiranmu, kupu-kupu jelek!!!” “Terganggu oleh kehadiranku? Justru, aku penolongmu, meskipun tidak secara langsung,” jelas kupu-kupu dengan sungguh-sungguh. “Menolongku, kapan? Aku binatang paling kuat. Jadi, aku tidak mungkin butuh bantuanmu,” sahut ular hijau. “Bukankah kau makan buah itu?” tanya kupu-kupu sambil menunjuk ke arah sebuah pohon kecil yang berbuah lebat. “Aku membantu pohon itu dalam penyerbukan, sehingga pohon itu bisa berbuah,” terang kupu-kupu lagi. “Ha…ha…ha…. Makananku tidak hanya buah itu. Aku bisa makan yang lain. Katak dan cicak juga bisa jadi santapanku,” jawab ular tidak mau kalah. “Itu tidak boleh. Kasihan mereka. Mereka juga ingin hidup. Mereka juga butuh kebebasan.” “Persetan dengan semua itu. Pokoknya, semua hewan dalam kekuasaanku. Kapan pun kuinginkan harus menuruti,” sergah ular membela diri. “Kejam sekali, kamu. Coba, lihat manusia! Mereka hidup berdampingan. Mereka saling menghormati. Mereka tidak saling membunuh. Apakah kamu tidak ingin seperti manusia? Sadarlah, teman!” pinta kupu-kupu. “Sadar? Aku sadar melakukan ini semua.” “Tapi itu merugikan bangsa kita.” “Aku hewan kuat. Semua harus tunduk padaku. Hukum rimba berlaku. Siapa yang kuat itulah yang menang. Jadi, akulah yang menang,” sanggah ular. “Itu dulu. Sekarang tidak. Bicara kuat-lemah, semua punya kelebihan. Semua punya kekurangan. Kalau aku boleh sombong. Aku lebih baik dari kamu. Tetapi aku tak pernah menunjukkan di depanmu. Karena apa pun di dunia ini masih ada yang melebihi,” jelas kupu-kupu. “Kamu lebih baik dari aku? Buuech…” kata ular dengan nada mengejek. “Ya. Coba kamu lihat warna indahku!” jawab kupu-kupu. “Lantas, ada apa dengan warnamu?” sahut ular hijau. “Sebelum aku memiliki rupa seindah ini, aku merupakan hewan yang menakutkan. Bahkan, bulu-buluku membuat manusia gatal-gatal. Semua manusia takut padaku.” “Lalu…?” tanya ular tak sabar. “Lalu, aku menjadi kepompong. Aku ditempa untuk dapat mengendalikan diriku. Tidak minum, juga tidak makan. Dalam kehidupan manusia, tahap menjadi kepompong adalah puasa untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Semua agama manusia pasti mengenal ini. Setelah itu, kita harus lebih baik.” “Selanjutnya?” tanya ular hijau penasaran. “Setelah aku menjadi kepompong, akhirnya aku menjadi kupu-kupu yang menakjubkan. Manusia tidak takut lagi padaku. Bahkan, aku dikejar-kejar untuk dijadikan hiasan. Jadi, kita berusaha berubah dari tidak baik menjadi baik. Bukankah seperti itu yang kita harapkan?” jelas kupu-kupu. “Terus?” sergah ular penasaran. “Seterusnya, kita lihat kamu. Bentuk kamu menakutkan. Semua manusia juga takut padamu. Setelah kamu bersemedi, bertukar kulit melalui puasamu. Tidak makan juga tidak minum. Kamu tidak bisa mengambil hikmahnya. Kamu tetap jadi ular yang menakutkan. Bahkan, kamu lebih buas. Bukankah itu bukti bahwa aku lebih baik daripada kamu,” kata kupu-kupu dengan mantab. “Teman, kebaikan kita bukan diukur dari besar-kecil, kuat-lemah badan kita, tetapi bagaimana kita bisa baik dengan sesama kita. Kamu kuat. Seharusnya kamu bisa membantu teman kita yang lemah,” nasihat kupu-kupu. Mendengar penjelasan kupu-kupu, ular hijau tertegun. Nasihat itu menyentuh hati ular hijau. Ia sangat malu. Hewan sekecil kupu-kupu mampu menunjukkan kelebihannya. Bahkan, kelebihan yang kupu-kupu miliki mampu meruntuhkan hatinya yang sombong. Dengan agak malu, ular itu berkata, “Maafkan aku ya, kupu-kupu. Aku telah khilaf. Tidak sepantasnya aku sombong seperti itu. Seharusnya, aku mampu melindungi teman-temanku yang lemah, bukan malah menakutinya.” “Sudahlah. Saling mengingatkan sudah menjadi kewajiban kita. Sekarang semua binatang di tempat ini boleh menjadi bawahanmu. Kamu yang memimpin tempat ini. Tetapi jadilah pemimpin yang bijak,” pinta kupu-kupu.
Akhirnya, semua binatang di daerah itu tidak takut lagi pada ular hijau. Bahkan, mereka hidup rukun. Ular hijau dapat memimpin daerah itu dengan baik. Berkat kejujuran, keuletan, dan kebaikannya, daerah itu menjadi daerah yang aman dan damai.
Karya: Adjie HA
Cerpen Karangan: Karjiyadi, M. Pd. Facebook: Karjiadi MPd Nama penulis adalah Karjiyadi, M. Pd. Tinggal di sebuah kota kecil di daerah Gunungkidul. Aktif menulis sejak mahasiswa. Beberapa kali menjuarai lomba esai guru. Penulis adalah staf pengajar di SMP N 1 Karangmojo Gunungkidul. Tinggal di Karangmojo RT 06 RW 07 Karangmojo, Gunungkidul Yogyakarta. No hp 081328308128.
