Pada zaman dahulu, di sebuah desa di pinggir hutan, hiduplah seorang anak lelaki bersama Ibunya. Anak itu bernama Kicip. Ibunya bekerja sebagai seorang petani. Pada suatu hari, sang Ibu pergi ke sawah. Ibunya berkata, “jangan ikut, nak. Sawah kita jauh, nanti kamu capai. Sebaiknya kamu menjaga rumah.” Kicip pun menuruti apa kata Ibunya. Karena bosan di rumah, Kicip pergi memancing. Tak lama kemudian, datanglah seekor kera.
“sedang apa kamu Kicip?” tanya kera. “mancing” kata Kicip. “apa umpannya, cip?” tanya kera. “cacing” jawab Kicip. “apa gagangnya, cip?” tanya Kera lagi. “bambu” jawab Kicip.
Kera terus saja bertanya, hingga kicip pun kesal. Maka ketika kera bertanya lagi, ia menjawab. “sedang apa kamu, cip?” tanya kera. “mancing” jawab Kicip. “apa umpannya cip?” tanya Kera lagi. “hati kera” jawab Kicip. “apa gagangnya cip?” tanya kera. “tangan kera” jawab Kicip.
Si kera pun marah. Ia menggigit kicip habis-habisan. Kicip pun pulang ke rumah dengan menangis. Ia menceritakan semuanya kepada Ibunya. “Kasihan sekali kamu, nak.” ucap sang Ibu. “Bu, saya ikut ya jika Ibu ke sawah,” pinta Kicip.” “Jangan nak, sawah kita jauh,” cegah Ibunya.
Keesokan harinya sang Ibu pergi lagi ke sawah. Kicip ditinggal kembali oleh sang Ibu. Namun ia disembunyikan Ibunya di dalam gulungan tikar. Tak lama kemudian, si Kera usil mendatanginya. “Kicip.. Kicip..” panggilnya. “main, yuk. Aku nggak gangguin kamu kok.” Kicip hanya berdiam diri di dalam gulungan tikar. Namun ternyata kera tahu bahwa Kicip berada di sana. “aku ingin membantu Ibu Kicip menjemur gabah,” kata Kera. Saat itulah ia menjumpai Kicip di sana. Kicip kembali manjadi bulan-bulanan si Kera.
Esoknya Kicip disembunyikan di kandang ayam. Kera juga mengetahuinya. Ia berkata “Aku ingin melepaskan ayam-ayam Kiciplah. Kasihan terkurung terus,” Ia kembali mendapati Kicip di sana. Kicip dicakar, dipukul, digigit sepuas hati oleh kera itu. Kicip disembunyikan oleh Ibunya di dalam air pun, kera tersebut memancingnya ke luar. Sampai akhirnya Ibu kicip pun marah. Ia berkata, “Besok engkau tidak usah bersembunyi lagi.” Sang Ibu memberitahukan sesuatu yang harus ia kerjakan esok hari.
Keesokan harinya. “Sudah berani ya, Kicip?” ujar Kera. “Tidak, aku hanya ingin BAB saja, Kera,” jawab Kicip seraya mengipasi pantatnya dengan sebilah pedang yang telah diasah tajam-tajam oleh sang Ibu. “Apa itu Kicip?” “Ini kipas peninggalan Nenek moyangku.” “Boleh dong aku pinjam?” kata Kera. “eh.. Tidak boleh, nanti Ibuku marah,” tolak Kicip. “Kamu berani sama aku, ha? Mau ku hajar kamu?” “tidak, tidak. Baiklah, menghadaplah ke belakang,” kata Kicip. “Nah, begitu dong.”
Saat Kera menghadap ke belakang, maka Kicip pun memenggal kepala Kera tersebut. Sejak saat itu, Kicip pun hidup dengan tenang karena Kera usil itu telah tiada.
The End
Cerpen Karangan: Rahmi sarita Facebook: Sari Libra Sambas Riau