Ku pandangi sebuah rumah yang tak berpenghuni itu dengan tatapan hampa, seharian aku menunggu. Di depan rumah itu, berharap ada seseorang yang membukakan pintu, terkadang aku tertidur di depan rumah itu, sehingga dinginnya malam membangunkanku dari tidur panjang, namun yang ku lakukan terasa sia-sia. Ya, pintu rumah itu terkunci rapat lengkap dengan gembok besarnya yang memasung kedua benda yang bewarna kekunigan itu.
“Ah, mungkin sampai hari ini mereka belum pulang.” pikir batinku lalu bergegas melangkahkan kaki.
Sudah seminggu, aku terus mengunjungi rumah itu, terus mengharapkan agar pintu rumah itu terbuka lebar, supaya aku dapat masuk dan bermanja dengan dia. Hari ini adalah hari kedelapan aku merasakan kesepian, segera aku melangkahkan kaki dan bergegas menuju tempat yang biasa ku lakukan selama seminggu ini, ku rebahkan tubuhku di atas kursi panjang yang ada di teras rumah ini, kursi ini terbuat dari kayu jati, namun sudah usang dan lapuk, tempat di mana aku selalu menghabiskan waktu tidur siangku bersama dia yang selalu duduk di sampingku dan setia menemani tidurku.
“Grrrttt,” suara perutku yang sejak pagi belum diisi makanan sedikit pun. Aku segera bangun dan turun dari kursi ini. “ah, sebaiknya aku cari makanan dulu dan kembali lagi ke sini.” pikirku dalam hati sambil terus malangkahkan kaki menuju sebuah kedai yang tidak jauh dari rumah ini. Ku lihat orang-orang sudah memenuhi kedai itu, ada yang membeli makanan, dan ada juga beberapa orang yang hanya duduk dan mengobrol dengan temannya sambil menyeruput kopi panas yang telah dipesannya, langsung ku hampiri seseorang yang sudah sejak lama aku kenal, Bi Sani, itulah nama khas untuknya.
“Wah, kamu lagi ya,” sahutnya pelan sambil tersenyum kecil melihatku, tanpa pikir panjang, ia langsung pergi ke dapur dan mengambil sepiring kecil makanan untukku. “Kasihan kamu, terus mengunjungi rumah kosong itu.” kata Bi Sani sambil mengelus-elus kepalaku, aku hanya diam dan terus melahap makanan yang diberikan Bi Sani.
Sudah hampir sebulan aku terus mengunjungi rumah itu, namun pintu itu belum juga terbuka, malah hanya menyisakan serpihan-serpihan kayu yang dimakan rayap berserakan tepat di depan pintu itu, “Mungkin dia tidak menginginkanku lagi dan meninggalkanku untuk selama-lamanya.” pikirku yang merasa kecewa dan putus asa, ku balikkan badan kemudian beranjak pergi dari halaman rumah itu. Rasa kecewa merasuki pikiranku di sepanjang perjalananku yang tak tentu arah tujuan aku pergi menjauhi tempat di mana aku merasakan kasih sayang darinya. Sudah 2 hari ku berjalan menyusuri jalan beraspal ini, aku berjalan tanpa tujuan, rasa kecewa masih terasa dalam hatiku, aku berhenti dan duduk di kursi taman sejenak untuk melepas penat yang menyelubungi tubuh ini.
“Ma, aku bawa pulang kucing ini ya? Biar aku pelihara.” kata anak kecil yang membuyarkan lamunanku. “Tapi ini kucing siapa? Siapa tahu kucing ini punya orang yang ada di taman ini!” tegas mama anak kecil itu. “Tapi Ma, dia lucu, aku pengen memeliharanya.” rengek anak kecil itu manja. “Ya udah, bawa dia pulang!” kata mama anak kecil itu. Segera diraihnya tubuhku dan dibawa ke dalam mobil besar bewarna silver itu.
Ku berdiri menatap rumah megah di depanku. Ya, rumah tuan baruku. Begitu indah, “Gery.. Gery..” suara itu tak asing memanggil namaku. Segera ku palingkan wajahku dan berlari menuju sumber suara itu, diulurkan tangannya yang memegang sebuah mangkok berisi makanan, segera ku lahap makanan itu. “Dina, udah dikasih makan kucingmu Nak?” tanya mama Dina. “Nih Gery lagi makan, Mah!” sahut Dina sambil mengelus-elus badanku. Semua orang di rumah ini baik kepadaku, kecuali papa Dina yang selalu menatap sinis dan bengis kepadaku, terkadang aku takut dan menjauhinya. Aneh, mungkin hanya dia yang tidak menyukai kehadiranku di rumah ini, sehingga membuatku tidak betah.
Minggu ini, hari dimana keluarga Dina sedang tidak sedang bekerja dan berlibur mamah Dina dan Dina sedang pergi entah ke mana. Hanya aku dan papa Dina yang ada di rumah, ku lirik papa dina yang tengah bermalas-malasan di atas sebuah sofa sambil menikmati acara tv. Aku hanya termenung di depan pintu utama bercat hijau ini, cahaya matahari menantang dengan silaunya menembusku dan menerangi sebagian isi rumah yang ada di belakangku. Tiba-tiba, ku tersadar dari lamunanku oleh sebuah bayangan besar, ku tolehkan kepalaku ke belakang, ternyata papa Dina telah siap dengan sebuah sapu sambil tersenyum iblis kepadaku. Aku terkejut dan dengan sigap mengelak, tapi sapu itu mengenai salah satu kakiku sehingga membuatku lari terpincang-pincang.
“Pergi kamu!” bentak papa Dina.
—
Malam ini, tekadku sudah bulat untuk pergi dari rumah ini. Ku telusuri jalan yang telah aku lalui dulu. Dengan kaki gentai berharap pintu rumah tuanku yang lama telah terbuka. Tapi, kenyataan tidak mengabulkan harapanku. Pintu rumah itu masih terkunci rapat, ku baringkan tubuhku ke kursi lapuk itu. Ku ingat saat terakhir tuanku meninggalkanku, bunyi sirine ambulans menggema waktu itu ditambah suara tangis perempuan yang menggotong tubuh seseorang. Tubuh tuanku, terbujur lemas di atas tandu.
“Dia semakin lemah! Cepat!” teriak salah seorang yang mengotong tandu itu. “Aku tak akan makan sebelum tuanku pulang.” ku niatkan dalam hatiku telah 3 minggu telah berlalu, belum ada tanda-tanda pintu rumah tuanku akan terbuka, sedangkan badanku semakin lemah di atas kursi lapuk ini, malam telah datang, menghembus angin dinginnya menembus buluku yang berwarna loreng ini. Terdengar olehku sayup-sayup suara mobil berhenti di halaman rumah.
“Colly.. Colly..” suara yang tak asing bagiku itu memanggil nama lamaku. Aku tak bergeming, ku pikir suara itu hanya mimpi saja. Aku tersentak lemah, sebuah tangan mengelus-elus buluku dengan lembut, nyaman. “meongg..” parau suaraku, aku tatap wajahnya yang tak asing bagiku dengan mata berbinar, aku senang. “Ma, kayaknya dia sakit!” ujarnya. “Cepat bawa dia ke rumah. kasih dia makan, Deka!” jawab mama tuanku. Digendongnya tubuhku yang sudah kurus dan dibawanya ke tempat tidur yang telah kumuh, segera diambilnya sereal kucing di dalam mobil, tampaknya dia membawa oleh-oleh untukku, diberikan kepadaku, ku tatap wajahnya sayu, dia tersenyum kecil. Lalu ku lahap sereal yang disodorkannya sejak tadi.
Satu bulan telah berlalu, aku telah sehat, gemuk dan ceria kembali, begitupun dia, tuanku. Aku bahagia, setelah 5 bulan ditinggalkan olehnya aku tak ingin lagi ditinggalkannya, tuanku. Seandainya aku manusia, aku ingin sekali mengungkap rasa kecewaku, rasa kesalku, putus asaku dan bahagiaku kepadanya. Tapi, tak bisa ku lakukan, karena aku hanyalah seekor kucing yang berbahagia.
Meong!
Cerpen Karangan: Radek Gusti Arisy Facebook: Radek Gustiarisy Salam aja buat para pembacanya ya, ini cerpen pertamaku. Nantikan cerpenku selanjutnya ya!